Setelah beberapa bulan tidak dapat pulang kampung karena PSBB untuk wilayah jabodetabek, pada long week ini agustus ini akhirnya dapat pulang kampung menengok orang tua di kampung. Daerah asal saya adalah dari kaki gunung sindoro di jawa tengah, tepatnya di kecamatan ngadirejo kabupaten temanggung. Daerah itu sangatlah subur, air melimpah meski musim kemarau dan curah hujan tinggi. Hampir semua tanaman semusim cocok ditanam di kampung saya. Dalam setahun biasanya ada tiga periode tanam.
Ketika bulan agustus ini mereka biasa tanam tembakau dengan tumpang sari sayuran seperti sawi, tomat, terong, seledri, maupun cabai. Bulan agustus biasanya adalah periode puncak panen dari usaha tani mereka selama setahun. Karena pada bulan kemarau ini mereka akan panen sayuran kemudian dilanjut panen tembakau.
Namun tahun ini berkata lain, meski cuaca mendukung dan tamanan mereka panen bagus namun harga pasar jatuh. Masa pandemi ini secara nasional memang menurunkan konsumsi masyarakat. Harga sayuran jatuh menjadi murah, cabai rawit merah hanya dihargai 5.000 rupiah per kilo. Harga itu bahkan tidak sampai BEP karena menurut petani sekitar rumah untuk BEP atau titik impas balik modal berada dikisaran 15.000 ribu rupiah.
Begitu pula sayuran seperti sawi, tomat, timun, terong semuanya jatuh. Tak ada yang dapat diharapkan dari hasil pertanian masa panen sekarang. Harapan satu satu nya petani mungkin hanya pada panen tembakau semoga harganya bagus dan cuaca mendukung ketika masa panen tiba.
Sisi lain jika penulis membaca berita nasional fokus pemerintah untuk bantuan percepatan pemulihan ekonomi hanya di sektor industri dan UMKM. Percepatan undang-undang omnibus law, keringanan kredit, BLT untuk umkm dan akhir-akhir ini bantuan langsung untuk pekerja yang terdaftar di BPJS.
Bantuan untuk sektor pertanian atau kelautan seperti diabaikan, menteri pertanian malah sibuk membahas kalung anti korona sedang menteri kelautan sibuk membela kebijakannya soal ekspor benih lobster.
Petani kecil, buruh tani seperti diabaikan, justru mereka adalah rakyat yang tak punya kartu BPJS ketenaga kerjaan maupun ikut iyuran BPJS kesehatan. Untuk makan saja sekarang mulai sulit, karena puncak panen telah gagal akibat harga komoditas yang murah, apalagi untuk usaha tani kedepan. Mereka harus sewa lahan, beli bibit, beli pupuk, dan sarana tani lainnya.
Hutang kredit ringan untuk pemulihan covid hanya untuk umkm, pinjaman ke bank akan sulit untuk di acc. Mereka para petani kecil tidak memiliki sertifikat sebagai jaminan kredit, mereka hanya petani penggarap dengan sewa tanah atau sistem bagi hasil pada pemilik tanah. Satu satunya cara untuk lanjut tanam lagi pada musim depan hanyalah utang dari lindah darat / juragan dengan bunga tinggi dan hasil bumi mereka harus dijual pada juragan tersebut yang biasanya juga punya usaha pengepul sayuran.
Setelah masa pandemi ini berakhir, pertanian di area lereng sindoro bukannya akan semakin baik, justru akan semakin memburuk karena akan semakin banyak petani yang terjebak pada lingkaran setan sistem rentenir pertanian.
Hanya juragan-juragan sayur atau pengepul yang akan bangkit ekonominya, namun petani akan makin berat karena hasil panen beberpa musim hanya untuk membayar utang.