Jaman sekarang mudah sekali menemukan pemuda yang apatis. Mereka peduli hal yang “tidak penting” asal berhubungan dengan kepentingan mereka. Mungkin mereka tahu berita terkini, tapi hanya sebatas judulnya saja. Mungkin juga mereka punya opini, bahkan ngotot ketika membahasnya, tapi itu opini bentukan media. Mereka hanya meneruskan berita TV tanpa mencernanya.
Rasanya seperti ironi. Saat ini justru perkembangan IPTEK dalam hal ini komunikasi sangat pesat. Sepuluh tahun yang lalu warnet tidak sebanyak sekarang, internet rumah juga masih mahal. Anak-anak tidak memiliki HP. Fitur komunikasi pada HP juga hanya sms, telpon, dan radio. Tapi mereka lebih peka akan keadaan sekitar. Peka disini bukan sekedar tahu, tapi juga peduli.
Pendidikan kewarganegaraan tidak hanya melulu tentang undang-undang, namun juga belajar menjadi negarawan. Negarawan cerdas yang selalu mengkritisi dinamika-dinamika sosial di sekitarnya. Negarawan yang tidak apatis. Negarawan yang tidak hanya menjadi pengamat, namun juga menganalisa dan memberikan sebuah solusi. Membentuk sikap peduli dan kritis bisa diwujudkan dengan menulis. Dengan menulis dan mengkritik, kita itu seolah terjun kedalam dunia nyata dan actual yang ada di sekitar kita.
Kita mulai memperhatikan perkembangan jaman dan peristiwa- peristiwa yang sedang terjadi. Kita juga bias menjadi peduli terhadap sekitar dan tergerak hatinya untuk membantu yang membutuhkan. Dengan hal ini juga menambah sudut sosialisasi kita . Kita akan merasa banyak kenalan dan diterima dalam masyarakat.
Masyarakat era globalisasi ini sosialisasi dengan orang disekitarinya sangatlah kurang. Hal sederhana ini merupakan akar dari munculnya apatisme. Orang cenderung hanya peduli terhadap keluarganya dan rasa kekeluargaan di masyarakat hilang. Semua itu juga merupakan dampak dari gadget dan internet. Orang memiliki kesibukan di berbagai media social dan hal itu banyak menyita waktu mereka. Hal-hal di media social tentu ada hubungannya dengan bersosialisasi. Namun ruang linkup nya terlalu luas.
Dan bersosialisasi lewat media social sangat berbeda dengan bersosialisasi secara langsung. Di media social orang hanya sekedar berbicara mencari kepentingan masing-masing. Orang bersosialisasi secara langsung di dalamnya mengandung makna yang membangun kekerabatan dan kepedulian.
Salah satu cara untuk ikut serta dalam kehidupan bernegar adalah mulai dari menulis. Kita contoh pada masa Soekarno. Pada waku itu belum ada internet dan gadget canggih. Hidup seorang remaja adalah nongkrong bersama teman dan banyak pemuda yang ikut serta dalam kegiatan-kegiatan bernegara seperti ikut serta mengkritik pemerintah. Mengkritik itu kebanyakan melalui tulisan. Media massa paling efektif adalah Koran sehingga orang yang pandai menulis akan mudah sekali untuk ikut serta dalam kegiatan bernegara. Untuk melatih kebiasaan menulis itu guru PKn kami, Eduardus Jowa Wedu, memberikan tugas menulis di media.
Awalnya kami bingung mau menulis apa, ditambah rasa malas menyebabkan pekerjaan tidak segera terlaksana. Kami terus menunda-nunda hingga tiba-tiba Bulan Februari sudah mau habis, deadline pun sudah dekat. Di kelas kami pun kayaknya sudah membuat semua, tinggal kami yang belum, lalu kami memutuskan untuk berduet dan menulis tentang tugas itu sendiri.
Sebenarnya tidak hanya di pelajaran PKn saja. Membuat karya ilmiah maupun sekedar opini adalah salah satu esensi pendidikan yang dapat diterapkan di berbagai level dan bidang. Saat proses menulis kita “dipaksa” untuk riset, berpikir, dan memberikan sesuatu yang bagus. Menulis melatih cara berpikir kita menjadi lebih sistematis. Kita juga tidak mau menulis sesuatu yang salah, saat mencari sumber kita juga dituntut untuk skeptis. Apalagi di jaman globalisasi dengan arus informasi yang sangat pesat banyak sekali berita-berita hoax.
Syarat membuat skripsi untuk lulus kuliah sebenarnya sangat bagus. Mahasiswa harus riset lalu berpikir mengenai topik skripsinya, menggunakan teori yang dipelajari saat kuliah. Hanya saja dalam penerapannya kurang, malah banyak mahasiswa yang menyerahkan sepenuhnya pada jasa pembuatan skripsi.
Jadi untuk memberantas apatis kita harus belajar mengkritisi hal-hal di sekitar kita. Salah satu caranya adalah dengan menulis. Jangan lupa, menulis dengan otak, tidak hanya mengungkapkan emosi tanpa pemikiran yang objektif. Sekian dari kami Albert Julianto dan Valentino Henry kelas XIIE SMA Kolese Loyola.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H