Suatu pagi, Sarah memutuskan mengunjungi salah satu pusat Program Harapan di pinggiran Jakarta. Di sana, ia melihat langsung dampaknya:
Seorang ibu yang akhirnya bisa tersenyum lagi setelah kehilangan suami karena Covid.
Sekelompok anak muda yang menemukan tujuan hidup melalui program pemberdayaan.
Komunitas yang bangkit dari keterpurukan berkat semangat kolektif.
"Mbak Sarah?" sapa Ibu Marni, koordinator program. "Saya kenal Mbak dari artikel-artikel fact checking-nya. Mbak tau? Program Harapan ini yang bikin saya percaya lagi sama masa depan. Bukan karena angka-angkanya, tapi karena semangatnya."
Sarah tertegun. "Jadi bukan datanya yang penting?"
"Data mah angka, Mbak. Yang penting kan dampaknya. Lihat itu," Ibu Marni menunjuk ke arah sekumpulan anak yang sedang belajar. "Mereka punya harapan lagi. Itu yang nggak bisa diukur dengan angka."
Malam itu, Sarah membuat keputusan yang mengubah hidupnya. Ia menulis dua artikel:
Yang pertama, sebuah expos tentang pentingnya integritas data dan sistem yang lebih baik untuk program-program sosial - tanpa menyebutkan Program Harapan secara spesifik.
Yang kedua, sebuah feature mendalam tentang dampak nyata program-program sosial dalam membangun resiliensi masyarakat - fokus pada cerita manusia di balik angka-angka.
"Sometimes," ia menulis dalam jurnalnya, "the biggest truth isn't in the data, but in the lives it transforms."
Setahun kemudian, Sarah sudah tidak lagi bekerja sebagai fact checker. Ia mendirikan lembaga "Ethics in Truth" - sebuah organisasi yang fokus pada keseimbangan antara kebenaran faktual dan dampak sosial.
Di kantornya yang sederhana, ada sebuah dinding dengan tulisan: