Dr. Andhika adalah seorang dokter bedah jantung di salah satu rumah sakit ternama Jakarta. Setiap hari, ia menghabiskan rata-rata enam jam di ruang operasi, menyelamatkan jantung-jantung yang bermasalah. Namun ironisnya, satu jantung yang paling dekat dengannya - jantung putri tunggalnya, Kinara - justru yang paling sulit ia pahami.
"Papa hari ini nggak bisa dateng ke graduation SMP kamu ya, Kin. Emergency surgery," ucapnya lewat voice note WhatsApp, pagi itu.
Kinara, 15 tahun, hanya membalas dengan emoji thumbs up. Sudah biasa. Sejak ibunya meninggal lima tahun lalu karena kanker, komunikasi dengan ayahnya seolah hanya berupa titik-titik morse - terputus-putus, singkat, dan sering kali sulit diartikan.
Yang Kinara tidak tahu, setiap kali Dr. Andhika melakukan operasi jantung, ia selalu membayangkan pasiennya adalah putrinya sendiri. Setiap jahitan ia lakukan dengan presisi sempurna, seolah-olah ia sedang menjahit masa depan Kinara.
"Dokter Andhi," sapa Bi Minah, asisten rumah tangga yang sudah seperti nenek bagi Kinara, suatu pagi. "Nona Kinara dapat beasiswa dance ke Korea."
Dr. Andhika mengangguk sambil menyesap kopinya. "Sudah saya transfer uang untuk tiket dan akomodasinya."
"Bukan itu maksud saya, Dok. Nona Kinara... dia butuh tanda tangan persetujuan orangtua. Dan mungkin... sedikit dukungan moral?"
Malam itu, hal yang jarang srkali dilakukan, Dr. Andhika masuk ke kamar putrinya. Dinding-dindingnya dipenuhi poster grup K-pop dan foto-foto Kinara menari. Ada satu sudut yang menarik perhatiannya: sebuah papan mood board berisi timeline impian Kinara - dari kompetisi dance tingkat nasional hingga membuka academy dance sendiri.
Di mejanya, ada sebuah notebook terbuka. Dr. Andhika tidak bermaksud membaca, tapi satu kalimat menangkap matanya:
"Sometimes I wonder if Papa's heart is as precise as his surgical cuts."