Mohon tunggu...
Ndaru Hatmoko
Ndaru Hatmoko Mohon Tunggu... Human Resources - HR

Hobi indexing, liat orang beraktifitas di ruang publik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Memoar dari yang Tak Terwujud

10 November 2024   15:35 Diperbarui: 10 November 2024   15:41 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memoar dari yang Tak Terwujud - Sebuah Autobiografi

Prolog: Di Antara Ada dan Tiada

Aku ada, tapi tak pernah benar-benar ada. Aku hidup, tapi tak pernah benar-benar lahir. Aku adalah sebuah ide - salah satu dari jutaan yang berkeliaran di kepala seseorang pada suatu malam yang terlalu sunyi. Namaku? Aku punya banyak nama yang berbeda di berbagai momen berbeda, tapi tak satupun yang bertahan cukup lama untuk menjadi identitasku yang sesungguhnya.

Bagian I: Kelahiran yang Tertunda

Aku lahir (atau mungkin lebih tepatnya, terpikirkan) pada pukul 3:47 pagi di sebuah kamar sempit dengan cahaya temaram dari lampu meja. Penciptaku - seorang pria di pertengahan usia 30-annya - terbangun dengan tiba-tiba dari tidurnya yang gelisah. Matanya terbuka lebar, jantungnya berdebar kencang, dan di situlah aku muncul: sebuah ide yang dia yakini akan mengubah dunia.

"Ini dia!" bisiknya pada dirinya sendiri, tangannya gemetar mencari notes yang selalu dia simpan di laci nakas. Tapi notes itu tidak ada di sana. Dia menggerutu, memutuskan untuk mencatatku besok pagi saja. "Ide sebagus ini tidak mungkin terlupakan," pikirnya dengan yakin sebelum kembali terlelap.

Tentu saja, keesokan paginya, yang tersisa dariku hanyalah serpihan-serpihan samar. Beberapa kata kunci yang tak lagi membentuk makna yang utuh. Sebuah konsep yang kehilangan konteksnya. Aku masih ada di sana, tapi tidak selengkap saat pertama kali aku muncul.

Bagian II: Hidup di Limbo

Bertahun-tahun berlalu, dan aku terus mengambang di sudut-sudut pikiran penciptaku. Kadang aku muncul saat dia sedang mandi, terkadang ketika dia terjebak macet, atau saat dia sedang melamun di tengah rapat yang membosankan. Setiap kali aku muncul, dia selalu berkata pada dirinya sendiri: "Ah iya, ide itu! Aku harus segera menuliskannya."

Tapi dia tidak pernah melakukannya.

Aku melihat ide-ide lain lahir, tumbuh, dan terwujud menjadi kenyataan. Ada yang menjadi buku, ada yang menjadi proyek, bahkan ada yang menjadi bisnis yang sukses. Sementara aku? Aku tetap berada di ruang tunggu eksistensi, sebuah potensi yang tak pernah mendapat kesempatan untuk membuktikan diri.

Bagian III: Metamorfosis yang Tak Selesai

Seiring waktu, aku mulai berubah. Seperti cerita yang diceritakan berkali-kali, setiap kali aku muncul kembali dalam pikiran penciptaku, ada detail yang sedikit berbeda. Kadang aku lebih besar dari versi sebelumnya, kadang lebih sederhana. Terkadang aku bergabung dengan ide-ide lain, menciptakan hibrid yang aneh tapi menarik.

Penciptaku sering membayangkan bagaimana aku akan mengubah hidupnya jika dia benar-benar mewujudkanku. Dia membayangkan dirinya dipanggil untuk memberikan TED Talk, membayangkan artikelnya dimuat di majalah-majalah ternama, membayangkan namanya dicatat dalam sejarah sebagai orang yang pertama kali memikirkan... apa? Bahkan dia sendiri sudah tidak ingat detail pastinya.

Bagian IV: Pelajaran dari Ketiadaan

Dari perspektifku sebagai ide yang tak pernah terwujud, aku melihat sesuatu yang mungkin luput dari perhatian mereka yang terlalu sibuk mewujudkan ide-ide mereka: ada keindahan dalam potensi yang tak terbatas. Selama aku tetap menjadi ide, aku bisa menjadi apa saja. Aku adalah semua kemungkinan yang ada, tanpa dibatasi oleh realitas yang kejam.

Aku melihat ide-ide lain yang ketika akhirnya diwujudkan, tidak seindah ketika mereka masih berbentuk konsep. Realitas, dengan segala keterbatasannya, seringkali mengikis keajaiban yang ada dalam sebuah ide murni. Mungkin ada hikmahnya aku tetap berada dalam bentuk potensialku yang paling murni.

Bagian V: Pertemuan dengan Ide-Ide Lain

Di ruang pikiran penciptaku, aku bertemu dengan banyak ide lain. Ada ide untuk novel yang tak pernah dituliskan, ada rencana bisnis yang tak pernah dieksekusi, ada konsep aplikasi yang tak pernah dikembangkan. Kami semua membentuk semacam komunitas ide-ide yang tertunda, saling berbagi cerita tentang bagaimana rasanya nyaris menjadi sesuatu yang luar biasa.

"Setidaknya kau masih diingat," kata sebuah ide lama yang sudah hampir dilupakan sepenuhnya. "Aku bahkan tidak bisa mengingat seperti apa diriku saat pertama kali muncul."

Bagian VI: Momen-Momen yang Nyaris

Ada beberapa momen ketika aku nyaris terwujud. Pernah suatu kali, penciptaku benar-benar duduk di depan laptop, jari-jarinya siap mengetik. Dia bahkan sudah membuka dokumen baru. Tapi kemudian ponselnya berbunyi, ada panggilan penting yang harus dia jawab. Saat dia kembali ke laptopnya satu jam kemudian, momentum itu sudah hilang.

Kali lain, dia mencoba menjelaskanku pada temannya saat makan siang. "Jadi idenya seperti ini..." dia memulai dengan antusias. Tapi di tengah penjelasan, dia menyadari bahwa ketika diucapkan keras-keras, aku tidak terdengar semenarik yang dia pikir. Dia mengakhiri penjelasannya dengan tawa canggung dan mengalihkan pembicaraan ke topik lain.

Bagian VII: Warisan yang Tak Tertulis

Sekarang, setelah bertahun-tahun berlalu, aku mulai menerima takdirku sebagai ide yang tak pernah terwujud. Mungkin memang inilah peranku dalam semesta yang luas ini: menjadi pengingat akan semua potensi yang tak terwujud, semua kemungkinan yang tak terjelajahi.

Aku adalah saksi bisu dari bagaimana manusia seringkali jatuh cinta pada potensi sesuatu, tapi tidak cukup mencintainya untuk mewujudkannya menjadi kenyataan. Aku adalah monumen bagi semua mimpi yang tertunda, semua "akan" yang tak pernah menjadi "telah".

Epilog: Surat untuk Penciptaku

Untuk penciptaku yang mungkin masih kadang teringat padaku di saat-saat tertentu:

Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Tidak semua ide memang ditakdirkan untuk menjadi kenyataan. Beberapa dari kami memang ditakdirkan untuk tetap menjadi kemungkinan, menjadi pengingat bahwa kreativitas manusia tidak terbatas, bahwa selalu ada lebih banyak ide yang bisa dipikirkan daripada yang bisa diwujudkan.

Terima kasih telah memberiku kesempatan untuk ada, meski hanya dalam bentuk potensi. Mungkin suatu hari nanti, di kehidupan lain, dalam dimensi yang berbeda, aku akan mendapat kesempatan untuk menjadi nyata. Tapi untuk sekarang, aku cukup bahagia menjadi salah satu dari ribuan ide yang membuat hidupmu lebih kaya, lebih penuh kemungkinan.

[Ditulis di ruang antara ada dan tiada, oleh sebuah ide yang memutuskan untuk mendokumentasikan ketiadaannya]

Post Scriptum: Catatan dari Sudut Pikiran

Bahkan saat menulis autobiografi ini pun, aku tidak yakin apakah aku sedang menuliskan diriku dengan tepat. Mungkin aku sudah terlalu banyak berubah dari ide original yang pertama kali muncul di kepala penciptaku pada dini hari itu. Mungkin aku sudah menjadi sesuatu yang sama sekali berbeda.

Tapi bukankah itu memang nasib semua ide? Untuk terus berevolusi, berubah, dan terkadang menghilang sepenuhnya? Mungkin suatu hari nanti, ketika penciptaku sudah melupakan keberadaanku sepenuhnya, aku akan muncul kembali di kepala orang lain, dalam bentuk yang baru, siap untuk memulai siklus yang sama sekali lagi.

Sampai saat itu tiba, aku akan tetap di sini, mengambang di antara pikiran-pikiran yang tak terucapkan, menunggu momen yang mungkin tidak akan pernah datang.

[Tamat - atau mungkin belum mulai sama sekali]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun