Â
Seorang wanita berjalan melewati pintu gerbang yang dipenuhi gemerlap cahaya dan langsung disambut oleh deretan sepatu berkilauan di rak-rak kaca. Dia sedang berada di sebuah pesta peluncuran Palessi di LA, merek sepatu baru dari desainer mewah Italia, Bruno Palessi. Harga yang tertera membuat mata Anda terbelalak, sepatu dengan harga 5 juta, 7 juta, bahkan ada yang mencapai 26 juta rupiah!."Wow, ini bagus sekali! Saya rela membayar 5 juta, 7 juta rupiah. Pasti semua orang akan bertanya, 'Darimana kamu mendapatkan sepatu itu? Mereka luar biasa,'" kata seorang wanita sambil mencoba sepasang sneakers berwarna emas cerah dengan motif leopard
Namun, tunggu sebentar. Tidak ada seorang pun bernama Bruno Palessi. Tidak ada merek sepatu yang disebut Palessi. Semuanya adalah bagian dari prank dari Payless, Â Iya, toko yang biasanya kamu lewati karena terlalu 'biasa-biasa aja'. pengecer sepatu yang bisa anda temukan di mall2 di Jakarta dan kota besar lainnya, yang berusaha mengubah citra mereka menjual sepatu murah dan tidak modis. Lelucon ini berhasil gara-gara Payless memanfaatkan bias kognitif yang ada dalam diri kita. Eksperimen ini memanfaatkan berbagai bias kognitif, mari kita ulas :
Anchoring Effect atau Efek Jangkar: Sepatu dengan harga asli sekitar 450 ribu rupiah ini dipasarkan dengan harga yang sungguh fantastis, ada yang mencapai 26 juta rupiah. Harga ini berperan sebagai jangkar, membuat konsumen percaya bahwa ini adalah produk mewah.
Confirmation Bias atau Bias Konfirmasi: Ketika kita percaya bahwa sepatu Palessi adalah produk premium, kita mencari dan mempercayai informasi yang mendukung keyakinan ini. Semua detail, dari harga hingga pengemasan dan pemasaran, memperkuat keyakinan ini.
Halo Effect atau Efek Halo: Branding dan pemasaran Palessi sebagai merek mewah mempengaruhi persepsi konsumen tentang kualitas sepatu. Bahkan sebelum mencoba sepatu tersebut, konsumen sudah percaya bahwa produk ini berkualitas tinggi.
Price-Quality Heuristic atau Heuristik Harga-Kualitas: Konsumen cenderung menghubungkan harga tinggi dengan kualitas tinggi. Sepatu seharga 10 juta rupiah pasti berkualitas tinggi, bukan?
Scarcity Bias atau Bias Kelangkaan: Produk yang langka memicu keinginan untuk memilikinya. Konsumen yang berpikir bahwa sepatu Palessi hanya diproduksi dalam jumlah terbatas merasa perlu untuk membelinya secepatnya.
Namun, ketika mereka mengetahui bahwa sepatu "mewah" yang mereka beli sebenarnya hanyalah produk dari toko diskon, reaksi mereka sungguh tak terduga. Meski begitu, mereka masih bisa membawa pulang sepatu tersebut secara gratis dan membawa pulang cerita yang luar biasa.Â
Nah, pelajaran yang bisa kita ambil dari semua ini? Jangan biarkan otak kita nipu kita! Selidiki dulu, coba produknya, dan jangan selalu percaya pada label harga dan branding. Seperti yang kita lihat dari lelucon Payless, bias kognitif bisa bikin kita bayar 7 juta rupiah buat sepatu yang seharusnya cuma 300 ribu.
Eksperimen ini membuka mata kita tentang bagaimana bias kognitif dapat mempengaruhi persepsi kita tentang nilai, kualitas, dan kebutuhan kita. Ingatlah bahwa dalam dunia belanja, penampilan bisa menipu. Seperti yang kita lihat dari prank Palessi, asalkan dipasarkan dengan cara yang benar. Jadi, berbelanja lah dengan bijak, dan jangan biarkan bias kognitif Anda mengambil alih dompet Anda!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H