Mohon tunggu...
Ndaru Hatmoko
Ndaru Hatmoko Mohon Tunggu... Human Resources - HR

Hobi indexing, liat orang beraktifitas di ruang publik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mbah Satinem: Lupis, Cerminan Budaya dan Peta Jalan Menuju Kebahagiaan

20 Juli 2023   17:25 Diperbarui: 20 Juli 2023   17:41 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam genggaman Mbah Satinem, lupis kenyal itu tampak sederhana. Tak lebih dari sekadar ketan dan gula merah. Namun, jika memperhatikan dengan saksama, Anda akan melihat sesuatu yang jauh lebih dalam. Di balik tangan keriput dan mata yang sudah mulai kabur, ada cahaya yang memancar, sebuah sinar kebahagiaan yang tulus dan sejati

Mbah Satinem bukan seorang jutawan, hanya pedagang lupis kecil yang berjualan di samping Hotel Khas Tugu, Jogja. Dia  dipandang tidak hanya sebagai penjual makanan, tapi juga sebagai simbol kearifan lokal dan kehangatan budaya Jawa. Pelanggannya bukan hanya datang untuk menikmati lupis kenyal buatannya, tetapi juga untuk menyerap hikmah dan filosofi hidup yang tersirat.

Orang-orang berbondong-bondong ke gerai kecilnya, antri sampai 1 jam adalah hal yang biasa. Tak hanya karena rasa lupisnya yang legendaris, tapi juga karena nilai-nilai yang ia wakilkan. Mereka mencintai Mbah Satinem bukan karena ia kaya atau sukses dalam arti modern, tapi karena ia adalah cerminan dari kebahagiaan sejati dalam keseharian yang sederhana. Ia diterima dan dihargai bukan karena apa yang dimilikinya, tapi karena siapa dirinya.

Masyarakat menghargai kehadiran Mbah Satinem karena ia menunjukkan bahwa kebahagiaan bukanlah tentang harta atau prestasi, melainkan tentang  menikmati setiap momen dalam hidup. Dalam setiap potong lupis dan setiap canda tawanya, Mbah Satinem mewakili sebuah filosofi budaya yang mendalam: bahwa kita semua, dalam segala kerumitan dan kesederhanaan kita, layak untuk dicintai dan dihargai. 

Kita semua, dalam segala kerumitan dan kesederhanaan kita, layak untuk dicintai dan dihargai

Lebih dalam lagi, mungkin tak ada yang lebih mencerminkan kebahagiaan sejati daripada kemampuan untuk menertawakan diri sendiri. Seperti dalam budaya dagelan Jawa, di mana orang-orang dengan bebas menertawakan kesalahan dan kekurangan mereka. Mereka mencintai diri mereka apa adanya, menerima kekurangan mereka, dan tertawa atas itu. Dan mungkin itulah kebahagiaan sejati.

Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah refleksi dari kebahagiaan sejati

Jadi, ketika Anda melihat sosok Mbah Satinem, atau mendengar tawa orang-orang di warung kopi, ingatlah bahwa kebahagiaan sejati bukanlah tentang harta atau keberhasilan. Pada akhirnya, cinta dan penghargaan masyarakat terhadap Mbah Satinem bukan hanya tentang lupis pasar melainkan  pengakuan bahwa kebahagiaan sejati berasal dari dalam diri kita, dari penerimaan diri dan apresiasi terhadap kehidupan yang kita miliki. Seperti Mbah Satinem dan lupis kenyalnya, kita semua memiliki keunikan dan kekuatan kita sendiri yang membuat kita berharga di mata dunia. Dan mungkin itulah, pada akhirnya, kebahagiaan sejati. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun