Mohon tunggu...
Komediana .com
Komediana .com Mohon Tunggu... -

Mengintip dunia dari celah humor.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[The Last FFK] Terapis Spa dan Suaminya

19 Maret 2011   11:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:38 3254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa sih susahnya mencuci celana dalam dan kutang? Apa sih susahnya menyeterika rok, blouse dan blazer? Apa pula susahnya membenahi genteng bocor, menyapu sampah, dan mengepel lantai? Buatku, semua itu bukan masalah. Aku seorang cleaning service bergaji pas-pasan dan istriku terapis spa yang tiap hari memegang uang jutaan. Itulah masalahnya, Kawan.

Sebagai orang nomor dua di rumah tangga, aku harus mengerti apa saja yang menjadi kewajibanku, sambil berusaha keras mengikhlaskan harga diriku raib entah ditelan kecoak atau dikremus tikus yang tiap malam bergentayangan di rumah kontrakan.

Aku baru saja pulang kerja, dan sebagai suami yang kurang normal, semua pekerjaan rumah yang normalnya menjadi tugas seorang istri harus segera kutuntaskan. Biar badan letih, kukuat-kuatkan untuk melakukannya. Sebenarnya bisa saja aku memilih bermalas-malasan, tapi aku tak akan melakukannya. Pipiku masih belum kondusif untuk menerima tamparan lagi setelah minggu kemarin ditamparnya sekuat tenaga. Heran juga, tenaganya bisa sekuat itu, padahal sebagai terapis spa, jari-jemari istriku lentiknya bukan main. Tangannya mulus nan langsing, berbeda sekali dengan tanganku yang berotot dan kapalan.

Sepuluh menit lagi jarum jam menunjuk angka delapan. Masih tiga jam lagi istriku pulang. Seperti biasa, begitu tiba di rumah, dia akan membanting tasnya lalu menghempaskan tubuhnya di ranjang, tak peduli bau keteknya menyebar ke rumah tetangga sebelah. Begitulah yang terjadi sejak kami menikah tiga bulan silam.

Baiklah, aku akan mulai membereskan rumah dengan mencuci. Sambil mengkucek-kucek celana dalam begini, enak juga menghadirkan kenangan masa lalu. Harap Anda sudi percaya dan suka membaca kisahnya. Begini mulanya.

Sejak lulus STM, aku sudah kebelet pengen kawin. Sebenarnya teman perempuanku cukup banyak, baik yang masih gadis, sudah janda, atau yang remang-remang statusnya. Kepada mereka aku sudah sering tebar aura. Kadang lewat lirikan nakal, kadang lewat senyuman, kadang juga lewat doa-doa yang kuhapal dari buku “Cara Mudah Menaklukkan Cewek dengan Jalan Magis Tanpa Bantuan Dukun”. Ringkasnya, hampir seluruh perempuan yang dekat denganku kutaksir, tak peduli reaksi apa yang akan mereka berikan. Tapi semua upaya itu gagal. Penyebab utamanya: aku hanya seorang cleaning service!

Sebenarnya beragam cara sudah kulakukan untuk meyakinkan mereka bahwa cleaning service juga punya masa depan cerah. Selalu aku katakan bahwa banyak cleaning service yang akhirnya jadi bos, mulai dari bos sayur-mayur sampai bos besi tua. Tetapi biarpun aku mengatakan itu dengan sepenuh hati, bahkan kadang-kadang berlagak seperti motivator, tak ada sebongkah hati pun yang berhasil kusentuh. Jawaban para perempuan itu kurang lebih sama: sekali cleaning service, tetap cleaning service.

Joni, seorang teman dekatku, tahu betul masalahku. “Yang kamu perlukan ialah perempuan yang mau menerima dirimu apa adanya. Dan aku tahu di mana kamu bisa segera mendapatkannya,” kata dia.

Suatu hari dia mengajakku jalan-jalan ke sebuah spa. Selaku asisten manajer yang mengurusi keuangan di perusahannya, dia punya cukup modal untuk berkeliling dari satu spa ke spa lain. Apalagi dia masih bujang, walau usianya sudah hampir 40 tahun, sehingga tak ada siapapun yang mengekang kebebasannya. Spa yang akan dikunjunginya kali ini terletak di pinggiran kota.

“Spa yang satu ini untuk kelas menengah ke bawah. Cocok dengan tampang dan dompetmu, Supri,” tuturnya, sambil menyetir mobil. “Biarpun begitu, spa ini dihuni perempuan-perempuan cantik.”

“Tapi seumur hidup aku belum pernah ke spa. Apa yang harus aku lakukan di sana?”

“Lakukan saja apa yang harus kamu lakukan.”

“Lho, gimana sih? Yang aku dengar, spa itu kan tempat maksiat. Kata orang, penyakit kelamin itu banyak ditularkan di tempat spa. Masa aku harus nyari jodoh di tempat seperti itu?”

“Oke,” kata dia, sambil memperlambat lanjut mobil, “Kamu cari jodoh saja di tempat pengajian atau majelis taklim. Gimana?”

“Tapi, aku kan bukan muslim yang taat.”

“Ya sudah. Kalau gitu, kamu cari cara supaya dapat jodoh di spa tapi tidak melakukan maksiat.”

“Oke. Akan kucoba.”

Ketika kami tiba di halaman spa dan melihat bangunannya, yang langsung terbayang di kepalaku ialah perilaku orang-orang di dalamnya. Tempat itu berlantai dua, agak tersembunyi, seorang satpam berwajah sangar berdiri di depannya. Konon, spa adalah sarang maksiat, karena itu harus dijaga dengan ketat, supaya tidak gampang kena razia aparat. Tapi benarkah spa sarang maksiat? Benar tidaknya akan kubuktikan sendiri.

Seorang wanita langsung menyapa kami saat kami memasuki bangunan bercat merah muda itu. Joni menyuruhku duduk saja di ruang tunggu, sementara dia berbicara dengan wanita yang bertugas sebagai resepsionis itu. Entah apa yang mereka perbincangkan. Semenit kemudian Joni mendatangiku.

“Kamu dapat nomor 14,” kata dia.

“Itu nomor apaan? Nomor sepatuku 41 bukan 14”.

“Itu nomor terapis, Supri.”

“Oh…. Terus, berapa bandrolnya?”

“Ah, dasar cleaning service! Bukan bandrol, tapi tarif, Supri! Kamu nggak usah keluar duit. Aku yang traktir. Sekarang, kamu masuk sana. Aku akan pergi, karena ada urusan mendadak.”

Seorang lelaki, yang lagaknya lebih menyerupai perempuan, kemudian membimbingku naik ke lantai dua. Kami menyusuri sebuah koridor di antara belasan kamar. Lelaki setengah perempuan itu memberikan kunci, lalu mempersilahkanku masuk ke kamar di ujung koridor.

Bau kamar ini rada aneh. Mungkin inilah yang disebut sebagai parfum mesum. Ya, parfum yang bisa membangkitkan sesuatu. Apakah sesuatu itu?

Belum sempat mereka-reka jawaban atas pertanyaan itu, mendadak seorang perempuan berpakain seksi masuk ke kamar. “Hai, aku Santi,” dia memperkenalkan diri sambil menjabat tanganku.

Dengan sopan aku berkata, “Maaf, Santi, dadamu besar sekali.”

“Ah, si Mas, bisa aja.”

“Apakah besarnya dada mempengaruhi besarnya penghasilan?”

Kutanya begitu, dia tersipu malu. Aku juga malu, karena dia meminta aku melepaskan celana dan baju.

***

Sudah setengah jam aku menunggu, tukang ojek itu belum datang juga. Padahal aku sudah jadi pelanggannya tiga tahun, sejak aku bekerja di spa ini. Sebagai pelanggan setia, mestinya aku mendapatkan pelayanan prima. Tapi kenyataannya tukang ojek sialan itu sering mengecawakanku.

Sebagai terapis spa, setiap hari aku berangkat pagi buta dan pulang larut malam. Sudah banyak omongan miring tetangga yang nyelonong ke telingaku. Ingin sekali aku sumbat mulut-mulut mereka dengan uang recehan, tapi itu tak mungkin kulakukan, sebab uang recehan itu sudah menjadi jatah suamiku untuk beli rokok dan kopi.

Kata para tetangga yang suka usil, sebagai seorang istri, polah tingkahku sudah keterlaluan. Mengurus anak sendiri saja tidak becus, kata mereka, karena anakku yang berusia 2 tahun itu kini dirawat orang tuaku. Namun mereka tidak tahu kondisi yang sebenarnya. Tiap bulan aku memberikan nafkah yang besarnya mungkin tiga kali lipat dari nafkah yang diberikan para tetangga itu kepada anak-anak mereka. Mereka lupa bahwa kasih sayang tak cukup dengan belaian, tapi juga dengan uang, jajan, dan mainan. Dan untuk mendapatkan semua itu, aku melakoni pekerjaanku yang sekarang—pekerjaan yang kerap disepelekan dan dianggap hina.

Lalu, apa aku salah? Toh, anakku tak pernah menderita busung lapar. Anakku tak pernah ketinggalan memakai baju model terbaru. Anakku hanya gemar bertengkar dan sesekali mengucapkan “anjing lu” atau “bajingan lu”. Tapi itu kan wajar. Namanya juga hidup di kota metropolitan. Kalau dari kecil tidak belajar jadi keras, ya bakal dilindas.

Orang-orang juga mencibirku karena aku tak pernah membereskan pekerjaan rumah tanggaku. Mereka bilang, jangankan memasak, membersihkan kamar tidur pun aku tidak pernah. Ah, lancang sekali mulut mereka. Mereka tak tahu bahwa aku dan suamiku menerapkan pembagian kerja yang agak unik dibanding mereka. Tugasku adalah mencari uang sebanyak-banyaknya. Tugas suamiku adalah memastikan rumah bersih, aman dan nyaman. Dan agar tak berstatus pengangguran, dia harus punya pekerjaan. Pekerjaan cleaning service tidak apa-apa. Toh, punya suami cleaning service juga banyak enaknya. Jika urusan rumah diserahkan padanya, sudah pasti rumah akan bersih dan wangi, seperti halnya wajahku.

Jem segini, suamiku yang pekerja keras tapi gampang dibohongi itu pasti sudah siap-siap tidur. Biasanya dia kehabisan tenaga setelah mencuci dan menyetrika pakaian. Seringkali dia sudah ngorok ketika aku mengetuk rumah menjelang tengah malam.

Aku berjumpa dengan lelaki itu enam bulan lalu di tempat kerjaku, di suatu siang ketika aku sedang datang bulan. Melihatku berdada besar, dia nyeletuk, “Apakah besarnya dada mempengaruhi besarnya penghasilan?”

Ditanya begitu, jelas saja aku tersipu malu. Tetapi rupanya dia juga malu-malu, saat aku meminta dia melepaskan celana dan baju.

“Maaf, Mbak Santi, aku ke sini tidak untuk itu,” ujarnya, sambil menggeser pantatnya sekitar semeter dari posisiku.

“Maksudmu apa, Mas Supri?”

Dia bilang bahwa tujuannya ke spa adalah untuk mencari jodoh. Dia yakin bakal mendapatkannya. Dia bahkan berani mengatakan bahwa akulah sosok sepertikulah yang diidam-idamkannya.

“Aku sudah punya anak satu lho, Mas?”

“Nggak apa-apa, Mbak. Anak itu kan bonus dari Tuhan. Namanya bonus, eman dong kalau ditolak.”

Aku tahu dia membual saat itu, tapi aku terus meladeninya. Jujur saja, aku juga sedang membutuhkan pendamping hidup, setelah pacarku yang telah menghamiliku tak mau bertanggung jawab. Tentu aku tak menyebutkan siapa lelaki bajingan itu. Kepada Mas Supri aku hanya bilang bahwa dulu aku menikah secara sirri dengan seorang pengusaha dari luar kota dan kami memutuskan berpisah karena komunikasi dan interaksi kami semakin terbatas.

Jadi, hitung-hitung, Mas Supri ini akan menjadi bapak dari anak perempuanku yang saat itu berusia 1,5 tahun. Bagaimanapun juga, anakku butuh status yang jelas. Aku tak mau dia dianggap anak haram oleh teman-teman di sekolahnya nanti.

Di kamar itu hampir dua jam aku ngobrol dengannya, dan kami hanya bersentuhan badan saat bersalaman. Sungguh pengalaman yang aneh.

Keanehan itu berlanjut beberapa hari kemudian. Dia mengajakku bertemu di sebuah mall. Sungguh tak kuduga, dia menyatakan perasaan cintanya padaku. Tanpa pikir panjang, aku menerimanya. Tiga bulan kemudian kami memutuskan menikah. Ya, aku menikah dengan seorang cleaning service. Lagi-lagi, ini suatu keanehan yang tak pernah terbayang sebelumnya.

“Tittt…tittt…” suara klakson itu membuyarkan ingatanku. Tukang ojek sialan itu akhirnya datang juga.

“Mau langsung pulang atau ke diskotik dulu, Mbak?”

“Langsung pulang aja. Perasaanku sedang nggak enak.”

***

Santi melihat ketidakwajaran ketika memasuki rumahnya. Beberapa lemari berantakan. Pakaian dan kertas-kertas berserakan. Supri, satu-satunya orang yang mestinya menghuni rumah itu, tidak ada di tempat. HP-nya juga tidak bisa dihubungi.

Sorot mata Santi segera menumbuk selembar kertas yang tertempel di dinding kamar tidur. Di kertas itu ada tulisan berbunyi:

Istriku, Santi.

Hari ini kamu ketinggalan barang berharga, sangat berharga. Yaitu kunci lemari pribadimu. Dengan kunci itu aku membuka laci paling bawah dan menemukan sebuah buku diari. Setelah membaca seluruh isi buku itu aku memutuskan untuk pergi dan takkan kembali padamu, karena mungkin aku akan hidup di penjara selama-lamanya. Aku akan membunuh seseorang yang telah menjadikanku ban serep. Seseorang yang pernah bertahun-tahun menjadi pacarmu sampai menghamilimu. Seseorang yang kita sama-sama kenal siapa dia. Aku akan membunuh Joni!

Suamimu,

Supri

Bogor-Jakarta, pertengahan Maret 2011

CERPEN INI HASIL KOLABORASI ANTARA DINA SULISTYANINGTYAS DENGAN NDANG NDUT. DUET DANGDUT INI BERNOMOR PUNGGUNG 49.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun