Kata tenggang rasa atau tepa selira sering kita dengar. Makna intinya adalah menghargai orang lain, menjaga perasaan orang lain terhadap perbuatan kita. Â Wujudnya bisa berupa ucapan, sikap dan perbuatan. Â Misalnya, kalau kita perokok, sementara di dekat kita ada orang yang tidak merokok, maka kita akan menahan diri untuk tidak merokok. Â Atau kalau kita bukan perokok, sementara di dekat kita ada orang merokok, maka kita tidak dengan serta merta mencegah atau mencelanya. Menegur dengan sopan, atau bahkan kita biarkan saja.
Praktek-praktek yang menunjukkan tenggang rasa saat ini mulai pudar. Â Utamanya di perkotaan.
Saya pernah mengalami peristiwa, dimana saya sangat sulit mendapatkan perilaku yang mengedepankan tenggang rasa. Yaitu saat naik kereta api ekonomi. Tidak seperti sekarang, dimana tiket kereta api pasti mendapat jatah kursi. Dahulu, naik kereta ekonomi harus siap berdesakan.
Saat itu saya dengan istri yang sedang hamil tua mudik ke Magetan. Naik kereta api Sri Tanjung dari stasiun Sepanjang. Bersamaan dengan hari Sabtu, biasanya kereta akan penuh, namun masih ada tempat duduk kosong.
Begitu naik ke atas gerbong, ternyata kondisi gerbong penuh sesak. Istri yang sedang hamil tua cukup kerepotan. Saya sambil membawa tas pakaian besar, keliling gerbong mencari kursi kosong. Berharap masih ada yang bisa untuk duduk istri saya.
Setelah berjalan beberapa gerbong, ada beberapa kursi jajar 3 yang diduduki oleh2 orang saja. Satu orang saya tanya, apakah kursinya kosong? Jawabnya ada orangnya, sedang keluar. Beberapa kursi saya tanya, semuanya menjawab begitu. Akhirnya saya dan istri hanya pasrah. Berdiri di ujung salah satu gerbong. Namun saya amat-amati, ternyata dari semua kursi jajar 3 dan diduduki oleh 2 orang di gerbong itu, ternyata masih tetap diduduki oleh 2 orang. Orang ketiga yang dikatakan sedang ke toilet, ternyata tidak balik2. Â Bahkan salah seorang yang duduk, kemudian merebahkan diri, tidur.
Saya jadi berprasangka buruk. Bahwa sebenarnya penghuninya memang cuma 2. Sampai akhirnya istri saya tidak kuat berdiri. Saat kereta sampai Jombang. Maka dengan memberanikan diri saya minta ijin untuk memberikan istri saya duduk. Dengan agak judes, salah satu dari 2 orang itu bilang bahwa temannya sedang ke toilet. Â Dengan keras juga saya jawab, nanti kalo orangnya kembali, istri saya akan berdiri kembali.
Akhirnya tempat duduk diberikan. Sampai saya dan istri turun di stasiun Barat (setelah Madiun), pemilik tempat duduk yang dikatakan sedang ke toilet tidak juga datang. Bahkan saya lihat tempat duduk lain yang jajar 3 dan diisi 2 orang, masih juga diisi 2 orang. Padahal tadi saya tanya jawabnya juga sedang ke toilet.
Saya jadi berani memastikan bahwa jawaban itu hanyalah akal-akalan saja. Ingin duduk enak, longgar. Sehingga menutup mata melihat seorang yang sedang hamil tua tersiksa berdiri di gerbong.
Saya jadi berpikir, bahwa budaya tenggang rasa atau tepa selira di masyarakat kita memang sudah hilang. Andaikan saja memang semua kursi telah penuh, melihat seorang yang sedang hamil tua kelelahan berdiri, tidak ada satupun penumpang yang sedang duduk menawarkan tempat duduknya. Â Pelajaran yang pernah saya terima waktu SD dulu, untuk memberikan tempat duduk buat orang yang lebih membutuhkan, ternyata tidak ada lagi yang mengamalkannya.
Apakah kondisi ini mewakili kondisi bangsa kita? Bahwa mereka tidak lagi melihat kesengsaraan rakyat dan enak-enak memperkaya diri dengan korupsi?