Mohon tunggu...
Ahmad Syafi'in Aslam
Ahmad Syafi'in Aslam Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

apapun yang terjadi, tetap berhusnudzon pada-Nya yang selalu tahu apa yang kita butuhkan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Titik Balik Seorang Santri

14 September 2013   18:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:54 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Aku akan mengajak Anda menyelami bagian kecil dari kisah hidupku. Meskipun kecil, bagian ini menurutku, begitu penting dan berarti karena berhasil mengubah hampir seluruh jalan hidupku.

Hari itu, aku merayakan keberhasilan lulus dari Sekolah Dasar dengan prestasi yang lumayan bagus menembus 10 besar. Aku bahagia, namun disaat yang sama aku masih dihantui dengan satu pertanyaan, melanjutkan sekolah dimana? Teman-teman sudah ramai memperbincangkannya. Mereka dengan wajah berseri-seri mulai mengandai-ngandai tentang sekolah favoritnya. Nilai ujian yang mereka peroleh saat itu memungkinkan untuk bersekolah dimana saja. Atau dengan kata lain, mereka bebas memilih sekolah.

Berbeda dengan mereka, aku hanya tersenyum ketika ditanya tentang kelanjutan pendidikan. Bukan bermaksud menjadi sosok yang misterius dengan menyembunyikan rencana masa depan, tapi karena aku benar-benar belum tahu aku akan melanjutkan sekolah dimana. Entah kenapa aku tidak tertarik mengikuti langkah teman-teman yang mayoritas melanjutkan ke SMP. Sampai suatu ketika, Bapak bertanya tentang hal ini, dan aku dengan polos dan lugu mengutarakan bahwa aku ingin mondok. Aku sendiri bingung dengan apa yang aku utarakan.

Ha? Mondok? Dimana? Bagaimana kalau nanti aku tidak krasan dan memutuskan untuk keluar? Bagaimana aku mencuci baju sendiri sedangkan aku sudah terbiasa dicucikan oleh ibu? Bagaimana dengan makannya padahal aku termasuk anak yang pilih-pilih soal makanan?

Tanpa bertanya lebih lanjut, Bapak langsung mengiyakan keinginanku. Bapak senang sekali. Mondok adalah salah satu cita-cita beliau sedari kecil, namun tidak pernah terwujud. Aku diantar ke salah satu pondok pesantren yang berada di Bangsri kab. Jepara, namanya Ponpes. Darul Falah, namun lebih dikenal dengan pondok Amtsilati.

Tiga kali sehari aku mengaji kitab Amtsilati. Sekedar diketahui, kitab Amtsilati merupakan kitab karangan KH. Taufiqul Hakim yang juga selaku pengasuh pondok. Aku mulai mengenal apa yang disebut kitab kuning. Aku heran dan kaget dengan isinya yang penuh dengan tulisan Arab. Yang lebih mengherankan adalah tulisan-tulisan tersebut sama sekali tidak berharakat. Alih-alih memahami apa yang tertulis di dalamnya, baca saja aku sama sekali tidak sanggup. Maklum, tidak ada mata pelajarannya di Sekolah Dasar.

Hari demi hari terus berjalan. Aku mulai akrab dengan beberapa kitab kuning, seperti Ta’lim Muta’allim, Mukhtar al-Ahadits, Kifayatul Akhyar, dll. Aku belajar memberi makna pegon diantara tulisan-tulisan Arab yang rengket. Bisa dibilang ini adalah kegiatan dan pengalaman yang paling baru yang belum pernah ku lakukan sebelumnya.

Setiap hari aku harus menghafal nadzom-nadzom di kitab Amtsilati. Suasana persaingannya begitu kental di pondok ini. Lengah sedikit saja, pasti akan ketinggalan dengan teman-teman yang lain. Aku, meskipun dari SD, tidak mau kalah dengan teman-teman yang rata-rata pendidikannya di atas levelku. Ada teman-teman yang lulus madrasah tsanawiyah, aliyah, bahkan ada pula yang baru lulus sarjana. Otomatis aku termasuk yang paling kecil, pendek, dan junior. Bahkan kebanyakan dari mereka merupakan putra kyai besar dari berbagai daerah. Jadi, aku lebih sering memanggil mereka dengan sebutan “gus”.

Mereka, teman-teman yang hebat itulah alasanku betah dan krasan di pondok, meski makan dengan lauk yang sangat sederhana, nyuci baju sendiri, dan tidur tanpa kasur.

Singkat cerita, aku berhasil menamatkan program Amtsilati selama 8 bulan. Sebenarnya masih ada program lanjutan yang disebut “pasca Amstilati”, namun aku tidak mengikutinya. Dana adalah kendala utama saat itu.

Ketika waktu wisuda telah dekat, Ibu sakit saraf yang mengharuskan beliau sering keluar masuk rumah sakit dan menghabiskan banyak biaya, apalagi pada saat yang sama, Ibu juga sedang hamil 7 bulan. Jadi, sudah bisa dibayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh Bapak per harinya. Bapak yang hanya pedagang kambing terlihat bekerja sangat keras membanting tulang menutupi biaya tersebut. Hutang sana hutang sini. Wajahnya terlihat letih menanggung semua beban. Sendirian. Aku benar-benar merasakannya. Namun beliau tetap mencoba tersenyum saat menengokku di pondok sambil membawa uang Rp. 300.000 untuk biaya wisuda.

Di hari H wisuda, aku tidak dihadiri oleh siapapun. Kondisi Ibu yang mengharuskan penjagaan secara intensif, memaksa bapak untuk terus menjaganya. Aku bagaikan anak sebatang kara yang naik panggung wisuda seorang diri. Itulah saat dimana aku merasa paling sendiri, meskipun disekelilingku banyak teman-teman yang menemani. Apalah arti wisuda tanpa kehadiran kedua orangtuaku? Bahkan perwakilan keluarga pun tidak. Dengan siapa lagi aku harus berbagi kebahagiaan ini?

Sore harinya menjelang petang ketika wisuda sudah selesai, Bapak baru mengunjungiku di pondok. Setelah acara wisuda, memang langsung libur beberapa hari. Hal ini ku jadikan kesempatan untuk sekalian pulang ke rumah melihat kondisi ibuk.

Sampai di rumah, aku sangat prihatin dengan keadaan ibu. Tatapannya kosong. Tidak bisa diajak komunikasi. Terus-terusan diam. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut beliau. Hanya terlentang di atas kasur. Tak kuasa aku melihatnya, genangan air ini pun tumpah begitu saja, apalagi setelah Bapak memberitahu bahwa biaya wisudaku itu tidak memakai uang bapak sendiri. Adalah Lek Nor yang menanggung biaya wisudaku. Ia rela mengorbankan uangnya demi keponakannya ini, padahal ia sendiri juga serba kekurangan.

Karena keadaan yang sangat tidak memungkinkan, aku tidak melanjutkan program pasca Amtsilati. Akhirnya aku boyong tidak lama setelah liburan pondok berakhir.

Ini adalah cerita 10 tahun lalu. . . .

***

Kini, aku kuliah di salah satu universitas di Yogyakarta dengan beasiswa full. Sama sekali tidak membayar, malah dikasih living cost setiap bulannya. Aku berhasil lolos beasiswa PBSB (Program Beasiswa Santri Berprestasi). Di Kota Gudheg ini aku pun nyantri di Ponpes. Pangeran Diponegoro. Sekali santri, selamanya tetap santri !!!

Alhamdulillah Ibu telah sehat dan menjalani aktivitas sehari-hari sebagai Ibu Rumah Tangga. Yang dulu masih dikandungan, sekarang sudah tumbuh besar menginjak kelas 3 SD, tempat yang sama saat aku menuntut ilmu.

Dari berbagai kejadian yang telah aku lakoni ini, aku pun menyadari bahwa semua ini merupakan titik balik kehendak-Nya untuk menuntunku menjadi santri sejak lulus SD. Selalu ada hikmah dibalik kisah. Allah sudah mengatur segalanya. Tugas seorang hamba hanyalah terus-menerus berhusnudzon pada-Nya karena Dia selalu Maha Tahu apa yang dibutuhkan oleh seorang hamba.

Yogyakarta, 14 September 2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun