Indonesia Perlu Bermain Pintar di Sengketa Laut China Selatan
Pada 1920-an, China menyuruh para kartografer – ahli pembuat peta – untuk menggambar batas China. Berdasar rute pelayaran tradisional, lahirlah “nine-dash lines” atau “sembilan-garis putus-putus” yang meliputi seluruh wilayah LCS. Sejak itu China memegang teguh batas tersebut. Kendati China adalah salah satu negara yang menandatangani perjanjian UNCLOS dimana suatu negara memiliki Zona Ekonomi Eksklusif sejauh hanya 200 mil, namun keyakinan akan batas ‘nine-dash lines” tersebut tidak surut. “Nine-dash lines” memang sempat “tertidur” akan tetapi seiring “kebangkitan sang naga”, “nine-dash lines” pun akan segera menemukan momentumnya. Dan benar saja belakangan China dengan sepihak mengapungkan kembali klaim “nine-dash lines”-nya itu. Terang saja pengakuan sepihak China tersebut menuai protes dari negara-negara di kawasan khususnya ASEAN. Pada 2013 China membuat batas tersebut kian melebar dengan menambahkan garis ke-sepuluh yang mencaplok Taiwan. Sementara beberapa tahun lalu, nelayan kita yang berlayar di Natuna Utara mendapat gangguan dari kapal Coastguard China. Tak ayal eskalasi ketegangan pun meningkat dan kian sengkarut ketika negara di luar kawasan seperti Amerika masuk dalam perselisihan. Namun China bergeming. Mengapa China ingin menguasai seluruh LCS? Apa yang Indonesia mesti lakukan dalam memandang sengketa di halaman rumah kita tersebut?
Dengan penduduk lebih dari satu miliar dibarengi kemajuan ekonomi, China adalah “naga yang sedang bangkit”. Negeri Tirai Bambu tersebut memiliki kepentingan untuk menjamin ketahanan pangan dalam negeri dan berkebutuhan untuk terus mendorong kemajuan ekonomi. Dan LCS menyediakan itu. LCS kaya akan sumber daya alam. Perairan ini ladang bagi minyak dan gas, lahan tangkapan ikan yang masif dan merupakan jalur perdagangan tersibuk di dunia. Diperkirakan 40 persen distribusi gas alam cair dunia dari Negara Teluk melintasi LCS sebelum menuju negara-negara seperti China. Ditengarai perdagangan di LCS bernilai lebih dari 3 triliun dolar AS. Jika ini kurang cukup menggambarkan makna besarnya, itu adalah setara satu pertiga total perdagangan dunia. Alfred T. Mahan mengatakan bahwa siapa mengendalikan samudra, ia akan mengendalikan dunia dan China tampak begitu paham soal ini. Selain itu kehadiran Amerika dan sekutunya di kawasan juga memantik perhatian. Sejarah kelam masa penjajahan di mana China diserang Jepang lewat laut seketika membayang. Sungguh logis jika China ingin menguasai LCS. Saat ini China mungkin tidak tertarik untuk melakukan perang terbuka tapi jika sengketa mengarah ke sana, China ingin memastikan akses ke LCS.
Bagi rakyat China, tindakan pemerintah mereka adalah sebentuk heroisme nan terpuji tetapi bagi banyak negara di kawasan, ini tak kurang wujud keserakahan, ancaman keamanan global nan sarat hujatan. Masa depan sengketa LCS masih “abu-abu”. Beberapa pakar melihat China akan mendapatkan apa yang mereka mau karena kekuatannya. Sementara sebagian pakar melihat dialog yang selama ini dilakukan antara ASEAN dan China tidak akan berjalan lebih jauh terlebih tidak adanya konsensus di dalam tubuh ASEAN sendiri. Adapun sebagian lainnya mengatakan perang terbuka akan terjadi di perairan teduh yang seperti biasa tidak jarang menyimpan marabahaya.
Meskipun dalam sengketa LCS Indonesia bukan claimant state tetapi sebagian wilayah Indonesia, yakni Natuna Utara, berbatasan langsung dengan LCS dan status Indonesia sebagai leader ASEAN serta potensi strategis kemitraan dengan China, membuat stabilitas LCS menjadi begitu penting bagi Indonesia. Dalam menyikapi konflik LCS, Indonesia perlu “bermain pintar” dengan melakukan pendekatan ke luar dan ke dalam.
Sebagai negara yang dipandang penengah dalam sengketa, Indonesia perlu terus mengupayakan kerja-kerja diplomasi kepada China dan anggota ASEAN. Kepada China dilakukan agar dapat mempertahankan kemitraan baik yang sudah terjalin dan bahkan diperkuat. China adalah mitra dagang terbesar Indonesia dan negeri Tirai Bambu tersebut memiliki investasi yang besar di Indonesia. Lebih dari itu apabila mencermati potret geopolitik di kawasan, Indonesia perlu berkoalisi dengan China.
Disadari atau tidak, kita kini menghadapi lebih banyak tantangan di wilayah laut kita sendiri. Kemunculan pakta keamanan antara Australia, Inggris dan Amerika (AUKUS) menjadi atensi terbaru. AUKUS dibentuk untuk menghadapi kepentingan China di LCS. Imbasnya, Amerika Serikat dan sekutunya akan menempatkan kapal-kapal perang bertenaga nuklir di halaman depan Indonesia. Seiring meningkatnya eskalasi konflik di LCS, wilayah Indonesia akan menjadi medan bagi hilir-mudiknya perbagai armada lintas matra negara-negara yang berseteru dan akan sangat keterlaluan jika halaman rumah kita hanya menjadi arena show of power negara-negara besar sementara kita sebagai Tuan Rumah tak bisa berbuat banyak selain menonton. Di tengah kekacauan, ada juga peluang, kata Sun Tzu. Kita harus mengambil manfaat dari kontestasi negara-negara besar tersebut. Untuk itu, Indonesia tidak boleh lemah sehingga kedaulatan kita dapat diacak-acak sedemikian rupa. Dari sini, membuat bangsa kita berwibawa dengan memperkuat militer adalah suatu keharusan. Perkuat militer dengan menambah anggaran untuk pertahanan. Selama ini postur anggaran Indonesia untuk alutsista terhitung kecil dibandingkan besarnya potensi ancaman yang ada.
Lain daripada itu, keengganan Amerika mengajak Indonesia dalam pakta keamanan tersebut padahal medan tempur melewati wilayah kita semestinya cukup bagi kita untuk merasa tersinggung dan membuat kita menafsirkan ulang petuah “non-blok” Bung Karno. Berkaca pada peristiwa “Ganyang Malaysia”, semestinya Indonesia tidak perlu sungkan untuk bermitra dengan salah satu blok kekuatan demi mewujudkan perdamaian dunia. Mendapati kita telah ditinggalkan AS dan sekutunya, sudah waktunya kita melihat hubungan yang lebih strategis dengan China. Memperkuat tali kemitraan dengan China punya arti signifikan. Selain bernilai ekonomi dan strategis, kemitraan ini sebagai pengikat kedamaian karena perang cenderung tidak terjadi diantara pihak yang sedang berbisnis.
Sementara kepada anggota ASEAN, Indonesia harus tetap terlihat dalam barisan ASEAN dengan membela “hak ulayat” negara-negara ASEAN atas kekayaan alam LCS dengan aktif mengkampanyekan upaya-upaya dialog dengan China. Ini perlu diperlihatkan Indonesia demi citra sebagai penengah dan solidaritas ASEAN. Ini pilihan pragmatis yang bisa Indonesia ambil. Kendati dialog tampak tidak akan menyelesaikan sengketa yang ada, namun ini harus Indonesia tetap lakukan karena setidaknya dialog terbukti bisa menunda pecahnya perang. Indonesia perlu mengulur waktu dan menjaga kawasan tetap kondusif karena setiap kegaduhan akan mengundang perhatian dan ketika negara di luar kawasan semakin jauh terlibat, maka kondisi semakin keruh. Itu adalah pendekatan ke luar yang bisa kita lakukan sembari di dalam negeri memperkuat pertahanan militer khususnya matra angkatan laut sebagai wujud pendektan ke dalam.
Bentuk lain pendekatan ke dalam yakni sesegera mungkin memaksimalkan potensi sumberdaya alam di Natuna Utara yang beririsan langsung dengan LCS. Lakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi serta arahkan nelayan ke sana karena pekarangan yang tidak dijaga akan mengundang orang untuk menjamah.