Mohon tunggu...
Nazwanti Siti Anjani
Nazwanti Siti Anjani Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

started writing to feed her soul.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Paradoks Kecantikan Dewi Ayu pada Masa Penjajahan Jepang dalam Novel Cantik itu Luka

16 Desember 2023   18:04 Diperbarui: 16 Desember 2023   18:26 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kecantikan yang sering kali dipuja oleh semua manusia. Tak mengenal apa yang dipuja, jika itu cantik pasti dunia menjadi miliknya. Kompleksitas yang tinggi jika berbicara tentang kecantikan, akan timbul 1000 macam pendapat dari semua kalangan usia. 

Seperti pada novel Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan yang menghadirkan tokoh sentral kompleks, yaitu Dewi Ayu sebagai representasi sempurna dari paradoks kecantikan. Dewi Ayu yang hidup pada empat masa dalam novel Cantik itu Luka mewakili keindahan dan pahitnya kehidupan. 

Konsep kecantikan yang seringkali disalah artikan oleh beberapa orang yang tidak mengalami esensi kecantikan sehingga seringkali diperdebatkan. Padahal, kecantikan bukan hanya sekadar kulit luar yang memacarkan daya tarik dan memikat semua yang ada, tetapi kecantikan bisa menjadi luka tersendiri. 

Dewi Ayu dengan segala kompleksitasnya bukan hanya bicara tentang kecantikan, ia memiliki segudang daya tarik lainnya terutama pada kecerdasan serta ketangguhannya dalam menghadapi masalah. 

Oleh karena itu, sisi paling menarik dari novel Cantik itu Luka adalah tentang penokohan. Bukan hanya berbicara Dewi Ayu saja, tetapi semua tokoh yang ada. Pada novel Cantik itu Luka setiap tokoh diporsikan keikutsertaanya sesuai kebutuhan cerita.                                        

Dalam dunia sastra, penokohan menjadi pilar utama untuk membuat sebuah karya. Penokohan juga bisa menjadi tolak ukur keberhasilan suatu karya. Oleh karena itu, tokoh memegang peran penting sebagai jalan pertama bagi pembaca untuk meresapi keunikan dan kompleksitas suatu tokoh. 

Melalui novel Cantik itu Luka, Eka Kurniawan mengajak pembaca untuk merasakan apa yang dirasa tokoh yang ada. Menyelami bagaimana sifat sebenar-benarnya manusia dalam keputuasaan mencari cinta. 

Selain itu, Eka Kurniawan pun mengajak pembaca untuk menjelajahi perasaan karakter yang ada secara mendalam melalui bingkaian sejarah dan isu sosial pada keempat masa, terutama pada masa kekuasaan Jepang. Dengan cara menyajikan luka batin masing-masing karakter terutama sang sentral pada novel ini, yaitu Dewi Ayu.

Dewi Ayu, digambarkan sebagai gadis keturunan Belanda yang memiliki paras seindah kala musim bunga bermekaran. Pada masa penjajahan Jepang, Dewi Ayu berumur tiga puluh lima tahun, dengan kegemaran merawat tubuh. Ia memiliki rutinitas berendam di air hangat setiap pagi lalu menggosoknya dengan sabun bersulfur, dan sebulan sekali berendam di air larutan rempah-rempah yang hangat. Wajahnya bukan sekadar gambaran paling indah yang dapat dibayangkan manusia, melainkan representasi kecantikan yang ingin dipunya semua perempuan. Rambut hitam gelap kepunyaan Dewi Ayu yang selalu disanggul memanjang layaknya perempuan Prancis.

 Kuku-kukunya selalu dikutek merah darah. Gaun yang selalu ia gunakan jauh lebih sopan dari siapa pun, bahkan di tempat ia bekerja, ia mengenakan gaun tebal yang hangat dan tertutup. Mengisi waktu luangnya dengan membawa anak-anaknya melihat bioskop, kadang-kadang ke ia pergi ke pasar, dan kadang ia mengantarkan anak-anaknya ke sekolah dengan langkah seanggun gadis-gadis istana. Lantas, siapa yang mengira bahwa Dewi Ayu adalah pelacur kesayangan kota Halimunda yang kurang lebih, seluruh lelaki dewasa pernah menidurinya selama rentang waktu Dewi Ayu menjadi pelacur pada masa kekuasaan Jepang. Menjadi musuh utama para istri maupun gadis yang ada. 

Semua mendelik tak suka kepada Dewi Ayu kala ia melewati barisan para perempuan tersakiti, menyumpahi dalam diam kecantikan Dewi Ayu tetapi harap banyak mereka ingin secantik Dewi Ayu. Namun, yang tidak diketahui perempuan lain tentang Dewi Ayu adalah perjalanan hidupnya yang banyak menyimpan luka meskipun tidak pernah ditunjukan dalam novel secara eksplisit bahwa ia benar-benar menderita.

Dewi Ayu, selalu mempunyai caranya tersendiri dalam menghadapi masalah. Sebagai contoh ketika menghadapi situasi sulit pertamanya, yaitu menjadi tawanan tentara Jepang karena peralihan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, ia tidak panik seperti gadis lain yang ketakutan dan lapar karena kekurangan pasokan makanan. Sebaliknya, Dewi Ayu selalu mengambil pendekatan paling rasional dengan memanfaatkan lintah yang dibawanya untuk mengambil darah sapi milik sipir, yang kemudian dibagikan kepada sesama gadis di aula tempat mereka ditawan. 

Selain itu, ketika ia dan para gadis dijadikan pemuas nafsu para tentara Jepang yang sejak awal tidak dijelaskan ia akan dibawa kemana dan akan dijadikan apa. Ia berpikir dengan cepat akan hal yang mungkin terjadi, ia curiga karena dihadiahi gaun-gaun mahal, diberikan tempat yang layak, dimanjakan dengan berbagai makanan, yang ketika gadis lain terlena dan tidak berpikir macam-macam. Dewi ayu, sudah tahu hal yang akan menimpanya. Lantas, ketika mimpi buruk datang, semua gadis yang ada, dipaksa menjadi pemuas nafsu tentara Jepang. Dewi Ayu tidak memberontak seperti gadis lain, ia tidak menjerit ketakutan, ia tidak bersembunyi, ia menghadapinya dengan ketenangan atau singkatnya pada malam itu hanya diam menerima kenyataan dan berharap itu semua cepat selesai.

Dewi Ayu juga mempunyai sifat kepeduliannya terhadap anak-anak. Ia mendirikan sekolah kecil di pojok aula yang tidak terpakai ketika ia masih dijadikan tawanan, ia mengajarkan anak-anak banyak hal: membaca, menulis, berhitung, bahkan sejarah. Bahkan di malam hari ia akan mendongeng cerita-cerita yang bersumber dari Alkitab untuk anak-anak. 

Selain itu, ketika Dewi Ayu sudah memiliki ketiga anak, yaitu Alamanda, Adinda, dan Maya Dewi. Sejak kecil mereka diantarkan untuk belajar mengaji, ia tidak mau ketiga anaknya menjadi pelacur seperti dia. Sifat pengorbanannya pun terlihat saat ia rela menjual keperawanannya kepada seorang komandan tempat ia ditawan demi mendapatkan obat dan dokter untuk temannya yang sakit. Dewi Ayu menjadi panutan dan pahlawan pada masa itu, dihormati oleh semua gadis yang bersamanya. Meskipun ucapannya terkadang tajam, tetapi mampu memberikan semangat kepada sesama gadis untuk menerima keadaan yang sulit.

Mungkin, hanya satu-satunya pelacur pada masa penjajahan Jepang ketika lelaki menginginkannya harus membopongnya seperti pengantin ke paviliun persis di belakang kedai. Tarif yang mahal, eksistensi yang selalu menjadi kegemaran para pria, ketiga anaknya yang dicintai orang-orang terdekatnya. Pertanyaan yang muncul adalah apakah Dewi Ayu bahagia. Kembali dibahas mengenai musuh alami Dewi Ayu, yaitu para istri tersakiti, ketika suaminya dengan sembunyi-sembunyi pergi ke tempat pelacuran Mama Kalong untuk menyewa Dewi Ayu. Mungkin, saking banyaknya tangisan dan umpatan untuk Dewi Ayu, Tuhan mengabulkan tangisan para istri itu dengan memberikan Dewi Ayu beserta keturunannya semacam kutukan.

Kutukan yang diberikan pun tak asing dari kehidupannya, yaitu cinta. Dewi Ayu berserta keturunnya selalu mendapatkan akhir yang tak menyenangkan jika menyangkut cinta. Ia berpikir bahwa kecantikan yang membuatnya seperti itu. Sampai ketika ia mengandung anak ke empat, ia selalu merapalkan doa setiap ia ingat. Ia selalu berdoa untuk kejelekan fisik anaknya yang nanti akan lahir dengan harap bisa memutus kutukan itu. 

Terbukti, ketika anak itu lahir lalu dengan ironi diberi nama Cantik padahal eksistensinya bisa membuat orang tidak nafsu makan, dianggap monster, senyum yang mirip barongsai, hidung yang mirip colokan kabel listrik, membuat Cantik tidak pernah keluar rumah, kecuali dini hari ketika ia sedang menunggu pangeran untuk dijadikan pasangan hidup. 

Sampai pada akhirnya terwujud datangnya Pangeran bernama Krisan yang mencintai Cantik tanpa mengapa. Kutipan akhir dari Krisan untuk Cantik pada lembar akhir novel Cantik itu Luka sebelum ia ditembak, Krisan mengatakan "Sebab cantik itu luka". Naas ketika dipikir Cantik masih mendapatkan akhir yang tidak bahagia dalam kisah percintaanya, padahal manusia lain sudah menganggap Cantik monster yang tidak memiliki kecantikan dalam fisiknya, tidak seperti tiga kakaknya serta ibunya.

Dewi Ayu, dengan segala kompleksitasnya, menghadirkan pandangan baru pada pemahaman tentang kecantikan kepada pembaca. Ketidaksetujuan dan perdebatan masyarakat seputar definisi kecantikan muncul melalui karakter Dewi Ayu, menimbulkan refleksi mendalam tentang bagaimana cara pandang masing-masing terhadap kecantikan. Sebagai sentral dalam cerita, Dewi Ayu menunjukkan bahwa tokoh bukan hanya sekadar hidup dalam cerita, tetapi juga bisa menjadi ajang untuk memamerkan realitas sosial yang disusun apik oleh kata-kata. 

Dalam semua tokoh yang ada, Dewi Ayu memberikan kontribusi yang tak terhingga untuk penyampaian pesan dan nilai dalam novel Cantik Itu Luka.  Pada novel ini, diberikan kembali pandangan baru bahwa menjadi cantik tak selalu menjadi pemenang. Memang kala seakan menjadi pemenang dan rasanya seakan dunia sudah ada di dalam genggaman. Namun, hukum alam akan tetap memberikan luka kepada masing-masing manusia. Lalu, manusia yang bisa menjadi subjek maupun objek. Subjek ketika menilai orang lain dan objek ketika dinilai oleh orang lain. Lantas, masih pantaskan Dewi Ayu dilabeli perempuan murahan hanya karena pekerjaanya menjadi pelacur? Tentu, jawaban itu dikembalikan kepada opini pribadi masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun