Dewi Ayu, selalu mempunyai caranya tersendiri dalam menghadapi masalah. Sebagai contoh ketika menghadapi situasi sulit pertamanya, yaitu menjadi tawanan tentara Jepang karena peralihan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, ia tidak panik seperti gadis lain yang ketakutan dan lapar karena kekurangan pasokan makanan. Sebaliknya, Dewi Ayu selalu mengambil pendekatan paling rasional dengan memanfaatkan lintah yang dibawanya untuk mengambil darah sapi milik sipir, yang kemudian dibagikan kepada sesama gadis di aula tempat mereka ditawan.Â
Selain itu, ketika ia dan para gadis dijadikan pemuas nafsu para tentara Jepang yang sejak awal tidak dijelaskan ia akan dibawa kemana dan akan dijadikan apa. Ia berpikir dengan cepat akan hal yang mungkin terjadi, ia curiga karena dihadiahi gaun-gaun mahal, diberikan tempat yang layak, dimanjakan dengan berbagai makanan, yang ketika gadis lain terlena dan tidak berpikir macam-macam. Dewi ayu, sudah tahu hal yang akan menimpanya. Lantas, ketika mimpi buruk datang, semua gadis yang ada, dipaksa menjadi pemuas nafsu tentara Jepang. Dewi Ayu tidak memberontak seperti gadis lain, ia tidak menjerit ketakutan, ia tidak bersembunyi, ia menghadapinya dengan ketenangan atau singkatnya pada malam itu hanya diam menerima kenyataan dan berharap itu semua cepat selesai.
Dewi Ayu juga mempunyai sifat kepeduliannya terhadap anak-anak. Ia mendirikan sekolah kecil di pojok aula yang tidak terpakai ketika ia masih dijadikan tawanan, ia mengajarkan anak-anak banyak hal: membaca, menulis, berhitung, bahkan sejarah. Bahkan di malam hari ia akan mendongeng cerita-cerita yang bersumber dari Alkitab untuk anak-anak.Â
Selain itu, ketika Dewi Ayu sudah memiliki ketiga anak, yaitu Alamanda, Adinda, dan Maya Dewi. Sejak kecil mereka diantarkan untuk belajar mengaji, ia tidak mau ketiga anaknya menjadi pelacur seperti dia. Sifat pengorbanannya pun terlihat saat ia rela menjual keperawanannya kepada seorang komandan tempat ia ditawan demi mendapatkan obat dan dokter untuk temannya yang sakit. Dewi Ayu menjadi panutan dan pahlawan pada masa itu, dihormati oleh semua gadis yang bersamanya. Meskipun ucapannya terkadang tajam, tetapi mampu memberikan semangat kepada sesama gadis untuk menerima keadaan yang sulit.
Mungkin, hanya satu-satunya pelacur pada masa penjajahan Jepang ketika lelaki menginginkannya harus membopongnya seperti pengantin ke paviliun persis di belakang kedai. Tarif yang mahal, eksistensi yang selalu menjadi kegemaran para pria, ketiga anaknya yang dicintai orang-orang terdekatnya. Pertanyaan yang muncul adalah apakah Dewi Ayu bahagia. Kembali dibahas mengenai musuh alami Dewi Ayu, yaitu para istri tersakiti, ketika suaminya dengan sembunyi-sembunyi pergi ke tempat pelacuran Mama Kalong untuk menyewa Dewi Ayu. Mungkin, saking banyaknya tangisan dan umpatan untuk Dewi Ayu, Tuhan mengabulkan tangisan para istri itu dengan memberikan Dewi Ayu beserta keturunannya semacam kutukan.
Kutukan yang diberikan pun tak asing dari kehidupannya, yaitu cinta. Dewi Ayu berserta keturunnya selalu mendapatkan akhir yang tak menyenangkan jika menyangkut cinta. Ia berpikir bahwa kecantikan yang membuatnya seperti itu. Sampai ketika ia mengandung anak ke empat, ia selalu merapalkan doa setiap ia ingat. Ia selalu berdoa untuk kejelekan fisik anaknya yang nanti akan lahir dengan harap bisa memutus kutukan itu.Â
Terbukti, ketika anak itu lahir lalu dengan ironi diberi nama Cantik padahal eksistensinya bisa membuat orang tidak nafsu makan, dianggap monster, senyum yang mirip barongsai, hidung yang mirip colokan kabel listrik, membuat Cantik tidak pernah keluar rumah, kecuali dini hari ketika ia sedang menunggu pangeran untuk dijadikan pasangan hidup.Â
Sampai pada akhirnya terwujud datangnya Pangeran bernama Krisan yang mencintai Cantik tanpa mengapa. Kutipan akhir dari Krisan untuk Cantik pada lembar akhir novel Cantik itu Luka sebelum ia ditembak, Krisan mengatakan "Sebab cantik itu luka". Naas ketika dipikir Cantik masih mendapatkan akhir yang tidak bahagia dalam kisah percintaanya, padahal manusia lain sudah menganggap Cantik monster yang tidak memiliki kecantikan dalam fisiknya, tidak seperti tiga kakaknya serta ibunya.
Dewi Ayu, dengan segala kompleksitasnya, menghadirkan pandangan baru pada pemahaman tentang kecantikan kepada pembaca. Ketidaksetujuan dan perdebatan masyarakat seputar definisi kecantikan muncul melalui karakter Dewi Ayu, menimbulkan refleksi mendalam tentang bagaimana cara pandang masing-masing terhadap kecantikan. Sebagai sentral dalam cerita, Dewi Ayu menunjukkan bahwa tokoh bukan hanya sekadar hidup dalam cerita, tetapi juga bisa menjadi ajang untuk memamerkan realitas sosial yang disusun apik oleh kata-kata.Â
Dalam semua tokoh yang ada, Dewi Ayu memberikan kontribusi yang tak terhingga untuk penyampaian pesan dan nilai dalam novel Cantik Itu Luka. Â Pada novel ini, diberikan kembali pandangan baru bahwa menjadi cantik tak selalu menjadi pemenang. Memang kala seakan menjadi pemenang dan rasanya seakan dunia sudah ada di dalam genggaman. Namun, hukum alam akan tetap memberikan luka kepada masing-masing manusia. Lalu, manusia yang bisa menjadi subjek maupun objek. Subjek ketika menilai orang lain dan objek ketika dinilai oleh orang lain. Lantas, masih pantaskan Dewi Ayu dilabeli perempuan murahan hanya karena pekerjaanya menjadi pelacur? Tentu, jawaban itu dikembalikan kepada opini pribadi masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H