Mohon tunggu...
Siti NazwaSyairillah
Siti NazwaSyairillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ibu Rumah Tangga/Mahasiswa

Pelukis Aksara, Penulis Segala

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kontroversi LGBT

10 Februari 2024   20:44 Diperbarui: 10 Februari 2024   20:50 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

LGBT atau Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender belakangan kembali mencuat ke muka publik dan menimbulkan kontroversi. Hal ini disebabkan para "penikmatnya" yang mulai merasa berani memunculkan diri ke permukaan dengan identitasnya sebagai bagian dari LGBT itu sendiri.

Indonesia memiliki komposisi agama penduduk terdiri dari 86,93% beragama Islam, 7,47% beragama Kristen, 3,08% beragama Katolik, 1,71% beragama Hindu, 0,03% beragama Budha dan 0,05% menganut aliran kepercayaan. 

Dalam agama Islam dan Kristen, termasuk di dalamnya Katholik, perilaku LGBT dilarang keras, bahkan dianggap sebagai suatu perbuatan yang lebih keji dari zina. Hal ini tercantum dalam berbagai ayat dalam kitab suci agama-agama tersebut. Seperti contohnya yang termaktub dalam Al Qur'an Surah Al-Ankabut ayat 30 juga dalam Al-Qur'an Surah Al-A'raf ayat 80-81. Adapun dalam Alkitab contohnya seperti termaktub dalam Imamat ayat 82.

Disamping itu, agama lainnya tidak terlalu menentang perilaku LGBT. Di Indonesia sendiri, Islam mendominasi agama penduduknya, disusul dengan Kristen dan Katolik. Para pemuka agama jelas menentang perilaku LGBT tersebut.

Lalu, bagaimana pandangan para "penikmat" LGBT menghadapi banyaknya ketidaksetujuan terhadap apa yang mereka lakukan?

Para pelaku LGBT di Indonesia sempat mengalami penekanan dan ketakutan yang cukup kuat dikarenakan begitu banyaknya penentangan terhadap mereka yang dianggap melanggar kodrat. Kondisi negara Indonesia yang berpenduduk mayoritas Islam menjadi salah satu faktor utama. Sebab jelas dalam agama Islam, perilaku ini dianggap sebagai suatu dosa besar. Bahkan hukum ini telah berlaku ribuan tahun lalu sejak zaman kaum Sodom, yakni kaum Nabi Luth A. S.

Indonesia juga merupakan negara yang menjunjung tinggi moralitas dan nilai-nilai Pancasila. Dimana sila pertama jelas menunjukkan kondisi warga negara yang seharusnya sangat patuh kepada aturan Tuhan. Hal ini jelas berbeda dengan negara-negara liberal seperti Amerika Serikat.

Tradisi di Indonesia juga sangat tinggi menjunjung etika dan moral yang baik. Karenanya, dalam hukum adat sendiri pun perilaku LGBT ini sangat dicela.

Sebenarnya, tidak ada hukum Undang-undang yang menentang secara sah perilaku LGBT di Indonesia. Hanya saja, berdasarkan pada UU No. 1 Pasal 1 tahun 1974 , jelas dapat diketahui bahwa perkawinan yang sah di Indonesia hanyalah bagi para Heteroseks. Karenanya, pasangan Homoseks sering kali mendapat diskriminasi sosial dan perlakuan yang tidak mengenakkan karena dianggap aneh dan ubnormal. Mereka juga tidak diperkenankan mengadopsi anak sebab tidak dianggap sebagai pasangan yang sah.

Meskipun hukum Undang-Undang tidak melarang, namun Hukum adat jelas berbicara bahwa LGBT  masih dilarang keras. Hal ini menyebabkan para pelaku LGBT merasa resah dan seringkali hidup dalam topeng penyamaran sebagai orang non-LGBT. Hak-hak mereka sebagai manusia normal jelas tidak mereka dapatkan. Mereka pun seringkali disudutkan dan dijauhi karena dianggap tidak normal.

Sejak tahun 1987, perilaku homoseksualitas sudah tidak lagi dikategorikan sebagai bagian dari gangguan mental. Hal tersebut dikarenakan para psikolog memang tidak menemukan adanya keterkaitan antara faktor penyebab homoseksualitas dengan kondisi mental seorang. Namun memang, para pelaku homoseksualitas ini dinilai cenderung lebih rawan untuk terjerumus ke dalam gangguan mental.

Para LGBT mengaku bahwa semua yang terjadi di dalam diri mereka seakan mengalir begitu saja. Tanpa perencanaan, bahkan tanpa diduga sebelumnya. LGBT sendiri sebenarnya dapat dilatarbelakangi oleh beberapa faktor yang bisa dikatakan sulit untuk dihindari. Contohnya seperti faktor genetik, variasi bentuk otak, lingkungan sekitar dan bahkan faktor trauma.

Segala hal yang mereka anggap "mengalir begitu saja" tersebutlah yang belakangan membuat mereka berani membuka diri dan menuntut kebebasan hak. Sebab mereka sendiri pun tidak semata-mata melakukan LGBT itu dengan suatu kesengajaan yang bahkan berlanjut menjadi kebiasaan dan berubah menjadi "kodrat" baru yang mereka ciptakan sendiri.

Dalam pandangan negara liberal, perilaku LGBT disahkan sebagai sesuatu yang normal dan boleh dilakukan semua warga negaranya. Namun konsep negara liberal jelas berbeda dengan negara berlandaskan Pancasila seperti Indonesia. 

Kemungkinan yang besar bagi para LGBT untuk menularkan kebiasaannya kepada manusia di sekitarnya jelas menjadi momok besar yang membawa keresahan bagi masyarakat normal lainnya.

Meskipun perilaku ini sebenarnya  bukan bagian dari kelainan mental, namun orang-orang normal yang tidak pernah mengalami menjadi seorang LGBT jelas merasa lebik baik menjadi heteroseks. 

Hal ini memberikan kepastian bahwa mereka bisa dianggap normal oleh seluruh lapisan masyarakat. Heteroseks pun sebenarnya lebih aman dan sehat dibanding LGBT. Para pelaku LGBT cenderung mudah mengalami tekanan yang berujung pada depresi hingga gangguan mental dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang.

Kecenderungan untuk terjerumus kedalam gangguan mental itu sendiri dapat dijelaskan dengan mudah. Alurnya, para LGBT dianggap tidak normal dan menyalahi kodrat padahal sebenarnya mereka bisa melakukan upaya terapi untuk beralih menjadi normal. LGBT juga dilarang oleh hukum agama dan hukum adat. 

Mereka juga seringkali mendapat diskriminasi sosial dan ketidaknyamanan. Hal-hal tersebut diatas jelas menjadi jalan yang mulus bagi para LGBT untuk hidup dalam ketertekanan yang bermuara pada gangguan mental.

Banyak diantara para pelaku LGBT yang bahkan meregang nyawa dengan cara bunuh diri. Gangguan mental yang disebabkan kondisi lingkungan memang sangat memperngaruhi keseharian seseorang.

Semua orang mendamba hidup damai dan tenang. Hal tersebut jelas akan sulit didapatkan bagi mayoritas penderita LGBT di Indonesia. Meskipun mungkin sebagian dari mereka ada yang hidup dilingkungan yang telah menerima mereka apa adanya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun