Namaku La Nina. Tak ada kepanjangannya. Orang bilang nama itu sederhana. Namun bagiku, namaku terlalu sederhana.Â
Nama La Nina disematkan oleh Bunda, ibu kandungku yang kini tengah prihatin melihat nasibku dari surga. Entah sebenarnya apa yang ia rasakan saat ini, namun seandainya ia tahu bagaimana hidupku saat ini, aku yakin ia akan merasa iba dan tak tega.Â
Namaku disematkan karena sebuah alasan. Katanya, saat ibuku tengah melahirkanku, tiba-tiba terjadi bencana angin puting beliung yang menyebabkan banyak rumah warga rusak. BMKG mengatakan bahwa bencana itu muncul sebagai dampak La Nina, yakni sebuah anomali cuaca yang menyebabkan terjadinya berbagai bencana alam seperti banjir, longsor dan juga angin puting beliung.Â
Katanya, saat aku lahir, hampir semua rumah warga di kampungku terdampak bencana angin puting beliung. Namun ajaibnya, rumah bersalin tempatku dilahirkan tetap utuh dan aman bahkan tidak terdampak sama sekali. Untuk mengenang kejadian itu, Bunda kemudian memberiku nama La Nina.Â
Di dalam buku hariannya, Bunda menuliskan harapan yang ia miliki di balik nama La Nina. Ia berharap aku akan tumbuh menjadi seorang anak yang dapat membawa perlindungan bagi keluarga, bahkan dalam keadaan tersulit sekalipun. Ia juga berharap aku bisa tetap aman dalam keadaan apapun.Â
Mirisnya, Bunda hanya menyaksikan kehidupanku sebentar. Tak sempat ia menyaksikanku tumbuh dewasa. Tuhan lebih menyayanginya. Setahun setelah aku lahir, Bunda kembali mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki yang lahir ketika kemarau melanda tempat tinggal kami. Karena BMKG mengatakan bahwa kemarau itu disebabkan oleh El Nino, maka adikku itu kemudian diberi nama El Nino.Â
La Nina dan El Nino terjadi secara bergantian sepanjang tahun. Jika La Nina berpotensi menimbulkan badai hujan, maka El Nino berpotensi mendatangkan kemarau panjang. La Nina dan El Nino merupakan dua anomali cuaca yang saling berlawanan. Dan ternyata, dalam kehidupan nyata, aku dan adikku pun demikian.
Aku dimasukkan ke asrama oleh Mama, ibu tiriku karena ia menganggapku selalu nakal dan melanggar banyak hal yang ia sebut sebagai aturan. Kesalahan kecilku sering dibesar-besarkan. Ia selalu menganggapku sebagai benalu yang tidak berharga sama sekali.Â
Saat Mama memasukanku ke dalam asrama, Ayah selaku satu-satunya orang tua kandungku yang masih hidup  malah bersikap tak acuh. Ia menyetujui begitu saja semua keputusan istri barunya. Seingatku, sebelum menikah untuk yang kedua kalinya, ayahku memang sudah seperti itu. Ia selalu cuek dan dingin kepada anak-anaknya.Â
Sebelum ada Mama, aku dan El tinggal bersama Mbah Kakung dan Mbah Putri. Ayah memang selalu sibuk dengan pekerjaannya di Pulau Sumatera. Ia jarang memerhatikanku dan El.Â
Saat aku berusia lima tahun, Ayah menikah lagi dengan Mama dan membeli sebuah rumah di Solo. Setelah menikah, ia kembali menjalani pekerjaannya di Sumatera, dan sejak saat itu aku dan El tinggal bersama Mama.Â
Sebelum punya anak, Mama selalu bersikap baik padaku dan El. Ia memperlakukan kami seperti anak sendiri. Namun tiga tahun kemudian setelah ia hamil dan melahirkan sepasang anak kembar, kasih sayangnya jadi teralihkan. Ia selalu mengenyampingkanku dan El. Hingga kami berdua beranjak remaja, ia tak pernah memerhatikan kami seperti saat pertama ia mengenal kami.Â
Setelah lulus SMP, aku dimasukkan ke asrama di Kota  Bandung. Sedangkan El tetap melanjutkan sekolah di Solo. Mama cenderung lebih menyayangi El karena El bisa menghasilkan uang sendiri.Â
El Nino memiliki wajah tampan dengan segudang bakat. Sekarang ia sering menerima endorse dari berbagai macam produk sehingga Mama sangat menyayanginya. El hidup bebas tanpa kekangan. Ia sudah mendapat kemerdekaan hidupnya karena sebenarnya Mama tidak pernah peduli kepadanya, kecuali tentang popolaritas dan penghasilannya.Â
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H