Bagi orang Tionghoa Xinghua yang besar di Jakarta dan Surabaya, mengapa orang yang lebih tua seperti kakek-nenek tidak bisa mengajarkan Xinghua atau  Mandarin sejak kecil? Mereka dapat berbicara bahasa Mandarin dan Hinghwa, tetapi buta huruf karena kurangnya pendidikan yang layak di masa lalu.
Orang sekitar  bahkan tidak tahu bahasa Mandarin. Biasanya, ketika orang berbicara dalam bahasa itu di depan saya, rasanya seperti dia terbiasa berbicara tentang orang lain tanpa sepengetahuannya, jadi hanya Hinfa yang tahu. Aku sedang dibicarakan.
Sebenarnya, untuk alasan yang sama  tidak ada pelajaran mandarin.Â
Hingga saat ini, orang Tionghoa tidak diperbolehkan menampilkan budaya leluhur asal Tionghoa, seperti Konfusianisme dan budaya Tahun Baru Imlek, dalam bahasa mereka sendiri.Â
Orang lain pernah bilang kepada saya  di masa lalu dia berbicara bahasa Mandarin di depan beberapa remaja non-Cina dan dimarahi dengan nada rasis dan dia sangat berani.
Akhirnya, setelah Presiden Abdurrahman Wahid atau Presiden Gus Dur menjabat dan menghapus kebijakan lama yang diskriminatif, rakyat Tionghoa merasa benar-benar aman. Bahkan sekarang, nenek saya dulunya menyeramkan dan menakutkan, jadi generasi berikutnya harus berbicara bahasa Indonesia sebanyak mungkin.
Saya pikir alasan mengapa saya tidak bisa lagi mengajar Hakka atau Teochew adalah sama. Tidak heran jika rata-rata orang Tionghoa, terutama yang tinggal di  Jawa, mulai meninggalkan budaya leluhurnya karena pengalaman pahit masa lalu dan arus globalisasi yang cepat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H