Subang kembali menjadi sorotan dengan polemik terkait rencana pembangunan mal dan hotel di lokasi Pasar Pujasera, ruko, dan toko-toko di sekitarnya. Para pedagang dengan tegas menyatakan penolakan terhadap proyek ini, menyebutkan bahwa pembangunan tersebut tidak hanya mengancam mata pencaharian mereka, tetapi juga memiliki masalah hukum. Dalam pernyataan resmi mereka, para pedagang juga menyoroti pemberitaan media yang dianggap menyesatkan dan tidak mencerminkan hasil rapat yang telah mereka lakukan bersama pihak-pihak terkait.
Dalam sebuah pernyataan tertulis di media online lokal pada 14 November 2024, para pedagang menegaskan bahwa pemberitaan yang disebarkan telah memutarbalikkan fakta, karena tidak sesuai dengan kesepakatan yang tercapai dalam rapat sebelumnya. Rapat tersebut dihadiri oleh:
- Kuasa hukum para pedagang,
- Ketua DPW Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Jawa Barat,
- Ketua DPD APPSI Subang,
- Ketua Komisi II DPRD Subang, H. Endang Kosasih,
- Ketua DPRD Subang, Viktor Wirabuana Abduracman, S.H.
Dalam pertemuan itu, Ketua DPRD Subang, Viktor Wirabuana, dan Ketua Komisi II DPRD, H. Endang Kosasih, disebutkan menyadari dan memahami bahwa Peraturan Daerah (Perda) No. 10 Tahun 2023, yang menjadi landasan hukum pembangunan proyek, memiliki cacat hukum. Dengan demikian, perda tersebut dinyatakan batal demi hukum. Pernyataan ini diperkuat oleh rekaman rapat yang dimiliki oleh para pedagang.
Ketua DPRD Subang, Viktor Wirabuana, bahkan menyatakan bahwa para pedagang memiliki hak untuk melakukan aksi demonstrasi jika proyek pembangunan mall dan hotel tetap dipaksakan. Ini menunjukkan bahwa pihak legislatif memahami keresahan pedagang dan mengakui adanya masalah hukum dalam proyek tersebut.
Para pedagang mengajukan beberapa tuntutan utama, yaitu:
- Pencabutan atribut proyek yang telah dipasang di area Pasar Pujasera, termasuk spanduk dan papan nama.
- Penghentian segala bentuk aktivitas PT SS dan PT PSS di atas lahan pasar, ruko, dan pertokoan.
- Penghentian total proyek pembangunan mall dan hotel hingga ada kejelasan hukum yang memenuhi prinsip keadilan dan transparansi.
Menurut mereka, jika PT SS (BUMD) atau PT PSS sebagai pelaksana proyek tetap melanjutkan pembangunan, maka tindakan tersebut dianggap ilegal. Para pedagang juga menyatakan bahwa mereka siap mengambil langkah hukum sesuai undang-undang yang berlaku.
Proyek pembangunan mall dan hotel ini awalnya direncanakan sebagai bagian dari upaya modernisasi kawasan Subang. Namun, alih-alih membawa manfaat bagi semua pihak, proyek ini justru memunculkan gelombang penolakan dari pedagang. Mereka khawatir bahwa pembangunan ini akan menggusur lokasi usaha mereka tanpa solusi yang memadai.
Sejak pemberitaan proyek ini mencuat, suasana di Pasar Pujasera semakin tegang. Beberapa pedagang mengaku mengalami penurunan pendapatan karena kekhawatiran pembeli terhadap masa depan pasar. Sementara itu, aktivitas persiapan pembangunan tetap berlangsung, meskipun diwarnai aksi protes.
Ketua Komisi II DPRD Subang, H. Endang Kosasih, menegaskan bahwa pembangunan mall dan hotel harus mempertimbangkan aspek keadilan sosial. Ia menilai penting untuk memastikan bahwa hak pedagang terlindungi dan proyek tidak melanggar hukum. Ketua DPRD Subang, Viktor Wirabuana, juga menyatakan bahwa proyek yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas tidak boleh dilanjutkan.
Para pedagang telah menyatakan komitmen mereka untuk melawan proyek ini melalui jalur hukum. Selain itu, mereka juga mempertimbangkan untuk menggelar aksi demonstrasi jika tuntutan mereka tidak dipenuhi. Dukungan dari organisasi pedagang, seperti APPSI, diharapkan dapat memperkuat posisi mereka dalam menghadapi pihak pelaksana proyek.
Rencana pembangunan ini menuai reaksi beragam dari masyarakat Subang. Sebagian mendukung proyek ini sebagai upaya modernisasi, tetapi sebagian besar masyarakat sekitar pasar merasa keberatan. Salah satu pedagang menuturkan, “Pasar ini sudah menjadi tempat kami mencari nafkah selama bertahun-tahun. Jika pasar ini hilang, kami kehilangan segalanya.”
Kasus pembangunan mall dan hotel di Pasar Pujasera Subang mencerminkan konflik antara kepentingan modernisasi dan perlindungan hak masyarakat kecil. Para pedagang dengan tegas menolak proyek ini, mengklaim bahwa dasar hukumnya cacat dan proyek tersebut tidak mempertimbangkan kesejahteraan mereka.
Di sisi lain, pihak DPRD Subang telah menunjukkan simpati terhadap para pedagang, tetapi langkah konkret untuk menghentikan proyek ini belum terlihat. Kasus ini menjadi ujian bagi pemerintah daerah dalam menyeimbangkan kebutuhan pembangunan dengan keadilan sosial.
Jika konflik ini tidak segera diselesaikan, potensi demonstrasi besar-besaran dan langkah hukum yang ditempuh para pedagang dapat menjadi babak baru dalam polemik ini. Pemerintah dan pihak terkait diharapkan dapat segera memberikan solusi yang adil dan transparan demi menghindari eskalasi lebih lanjut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H