Mohon tunggu...
Nazwah Nnida
Nazwah Nnida Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Telah menjalani hidup yang luar biasa selama 20 tahun. Dengan pribadi yang plegmatis. Hobby membaca, mendengarkan musik dan menulis. Sangat menyukai cerita-cerita filsafat kehidupan, misteri dan klasik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Moonchild

23 Juni 2022   13:32 Diperbarui: 23 Juni 2022   13:46 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Aku tidak mengerti mengapa kau bilang ia bersinar pada waktunya?” tanya Mira

“Coba kau lihat bulan itu dengan mata jiwamu, bukan kah kamu akan merasa bahwa bulan itu seperti waktumu akan bersinar, mungkin tidak seberuntung Cinderella, tapi kamu punya waktu lebih Panjang dibanding dia”

“Ya, aku seperti hidup kembali” ungkap Mira, dia diam sebentar kemundian menghela napas “bahkan terdapat banyak duri dilampu jalan” lanjutnya.

“Iya… Tapi mir, pemandangan malam bukan sesuatu yang kejam, duri yang kau sebut itu membentangkan kemuliaan” Mira menoleh kearahku bermaksud mendengarkan.“Kita melihat duri mereka dari sini, begitu juga mereka melihat duri kita dari sana. Kita adalah pemandangan satu sama lain”

“Kemuliaan yang membentang itu, terhibur dalam pemandangan malam masing masing, dari melihat duri satu sama lain?” katanya. Dan aku hanya mengangguk

“Bukankah hidup dengan mendapat pengalaman menjadi manusia tidak buruk juga, saat kamu mencoba menerima semua yang pahit-pahitnya, kamu bisa berdamai dengan segala rintangannya. Kita itu hebat Mir. Berapa kali kita berpikir ingin mati, namun justru kita hidup semakin keras. Kita bilang Lelah dan ingin melepaskan semua beban, tapi hari demi hari justru malah menambah beban”

“Kamu benar Nam. Bukankah memang seperti ini takdirnya, bukankah tersenyum adalah tanda bahwa rasa sakit tidak berakhir. Bahkan saat kita meriakan dengan lantang kebebasan, kita tidak benar-benar bebas. Kamu benar kita dilahirkan untuk menjadi sedih, menderita untuk menjadi senang” katanya, dan aku mengangguk.

Aku mendengarkan Mira bicara, tidak menyangka akan membuat percakapan seperti ini di bukit dengan dia. Diatas sini, semilir angin malam mulai menerpa kami. Aku menutup mataku dan mencoba menikmati angin malam dibukit ini. Tersadar kalau mungkin ini terlalu lama membawa orang baru malam-malam ke bukit, aku sedikit panik dan membuka mataku. Namun tidak lagi aku mendapati Mira berada disampingku? Bahkan bukit yang sekarang ku duduki berubah menjadi tempat duduk dikereta.

Tunggu, apa aku hanya bermimpi, apakah aku melewati stasiun ku lagi? Tapi semua itu terasa nyata. Aku mendapati bangku disampingku kosong dan terdapat stickynote yang aku yakin, sebelum aku duduk disini stickynote itu tidak ada. Lagi pula, siapa yang orang yang dengan random menempelkan sticky note bertuliskan “Saat bulan terbit. Waktunya kita bersinar”

‘Stickynote ni untukku?’

Aku menoleh kanan dan kiri, semua orang dikereta sibuk dengan urusan masing, masing dan hari belum gelap. Beberapa menit kemudian aku sampai distasiun yang seharusnya, aku tidak tertinggal ternyata. Aku turun dan memandang seluruh isi stasiun, dan bertanya-tanya “Yang tadi itu apa?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun