"Menguak Kisah Pasien Gagal Ginjal: Tantangan Hidup dan Perbedaan Gender yang Membentuk Keseharian"
Malang, Jawa Timur -- Menjalani perawatan hemodialisis (cuci darah) bukan hanya soal rutinitas medis, tetapi juga perjuangan hidup yang penuh liku. Pasien dengan gagal ginjal kronis harus menghadapi berbagai tantangan, mulai dari pembatasan aktivitas, aturan makan yang ketat, efek obat-obatan, hingga tekanan sosial. Namun, siapa sangka bahwa perbedaan gender turut memainkan peran besar dalam memengaruhi kualitas hidup mereka?
Penelitian yang dilakukan oleh lima dosen keperawatan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) -- Nur Aini, Lilis Setyowati, Erma Wahyu Mashfufa, Myrna Setyawati, dan Ollyvia Freeska Dwi Marta -- mencoba menggali lebih dalam tentang bagaimana perbedaan gender memengaruhi kehidupan pasien hemodialisis. Dengan melibatkan 239 pasien di salah satu rumah sakit di Indonesia, penelitian ini membuka wawasan baru tentang perjuangan pasien laki-laki dan perempuan yang berbeda.
Perempuan dan Tekanan Emosional
Menurut Nur Aini, perempuan yang menjalani cuci darah sering kali menghadapi tekanan emosional yang lebih berat. "Mereka tidak hanya berjuang melawan penyakit, tetapi juga harus menjalani peran ganda sebagai ibu rumah tangga, istri, bahkan pencari nafkah," katanya. Kondisi ini membuat perempuan lebih rentan terhadap depresi, yang pada akhirnya berdampak besar pada kualitas hidup mereka.
Lilis Setyowati menambahkan bahwa banyak perempuan merasa terbebani oleh stereotip gender yang menuntut mereka untuk tetap kuat meski dalam kondisi sulit. "Hal-hal seperti ini sering kali terabaikan, padahal dampaknya sangat besar terhadap kesehatan mental dan emosional mereka," ujarnya.
Laki-Laki dan Tantangan Usia
Berbeda dengan perempuan, bagi laki-laki, faktor usia menjadi tantangan besar selain depresi. Erma Wahyu Mashfufa menjelaskan bahwa laki-laki yang lebih tua sering kali merasa kehilangan kontrol atas hidup mereka. "Banyak dari mereka yang sebelumnya menjadi tulang punggung keluarga merasa tidak berdaya ketika kondisi kesehatan membatasi kemampuan mereka untuk bekerja," jelasnya.
Meski demikian, baik laki-laki maupun perempuan, ditemukan memiliki tingkat spiritualitas yang cukup tinggi. Menurut Myrna Setyawati, ini adalah salah satu kekuatan utama yang membantu pasien menghadapi kenyataan hidup yang sulit. "Spiritualitas menjadi penopang mental mereka, memberikan harapan dan kekuatan untuk terus bertahan," katanya.
Peran Keluarga yang Belum Maksimal
Meskipun spiritualitas pasien berada pada tingkat yang baik, dukungan keluarga ternyata tidak menunjukkan perbedaan signifikan antara pasien laki-laki dan perempuan. Padahal, dukungan keluarga dianggap sangat penting dalam proses pemulihan. "Keluarga adalah benteng utama bagi pasien, tetapi sayangnya tidak semua pasien mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan," ungkap Ollyvia Freeska Dwi Marta.