Mohon tunggu...
Nazwa Aulia Rahadian
Nazwa Aulia Rahadian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Mercu Buana

43223010030 || S1 Akuntansi || Fakultas Ekonomi dan Bisnis || Dosen Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia Pendekatan Robert Klitgaard dan Jack Bologna

18 November 2024   19:38 Diperbarui: 18 November 2024   19:38 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa itu Korupsi dalam pendekatan Robert Klitgaard dan Jack Bologna?

Secara etimologis, kata "Korupsi" berasal dari bahasa Latin, yaitu corruptio atau corruptus, yang memiliki makna kebejatan, kebusukan, perilaku tidak jujur, serta tindakan merusak atau menghancurkan. Dalam konteks ini, istilah korupsi tidak hanya merujuk pada tindakan penyalahgunaan kekuasaan demi keuntungan pribadi, tetapi juga mencerminkan hilangnya integritas moral dan prinsip keadilan dalam tata kelola masyarakat dan negara. Korupsi sering kali menjadi penyebab utama kemerosotan nilai-nilai etika, hilangnya kepercayaan publik terhadap lembaga negara, dan memburuknya kesejahteraan sosial.

Indonesia adalah salah satu negara yang masih berjuang keras untuk mengatasi masalah korupsi yang sudah mengakar. Masalah ini mencakup berbagai bentuk dan terjadi di berbagai sektor, baik pemerintahan, politik, maupun sektor swasta. Korupsi di Indonesia memiliki karakteristik unik dan kompleks yang membuatnya sulit untuk diberantas. Berikut ini beberapa aspek yang menggambarkan kondisi korupsi di Indonesia:

  1. Keterlibatan Pejabat Tinggi. Korupsi sering kali melibatkan pejabat tinggi negara, seperti menteri, anggota parlemen, gubernur, wali kota, hingga pejabat pemerintahan lainnya. Banyak kasus korupsi di Indonesia yang melibatkan jaringan politik, hal inilah yang menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap pemegang kekuasaan dan akuntabilitas.
  2. Korupsi di Sektor Publik. Pada sektor publik, banyak kasus korupsi seperti penggelapan dana proyek pemerintah, penyalahgunaan anggaran, suap dalam pengadaan barang dan jasa, serta pengaturan tender. Hal ini dapat terjadi karena lemahnya transparansi dalam proses pengerjaannya.
  3. Suap dan Pungutan Liar. Aspek ini tidaklah asing lagi dikalangan masyarakat indonesia, dimana suap membuat keputusan hukum dapat di perjual belikan, serta pungutan liar yang tidak jelas tujuan dan asal-usulnya. Hal inilah yang membuat masyarakat masih sukar percaya terhadap hukum di Indonesia.
  4. Pengawasan yang Lemah. Kita sudah sering melihat berita-berita tentang lemahnya pengawasan internal dalam pemerintahan, dimana mekanisme check and balance yang masih belum berjalan secara efektif, membuat para pemegang kekuasaan memiliki keluasaan dalam mengambil keputusan tanpa adanya pertanggungjawaban. hal inilah yang membuat grafik korupsi dapat meningkat.
  5. Korupsi di Tingkat Daerah. Kasus korupsi tidaklah semata-mata hanya berada pada pusat pemerintahan kota, tetapi juga merata di daerah-daerah. Banyak kepala daerah yang menyalahgunakan kekuasannya seperti pengelolaan anggaran dana yang tidak benar. oleh karena itu, perlunya laporan pertanggungjawaban dari setiap kepala daerah guna mengetahui ada tidaknya kecurangan yang merugikan masyarakat daerah.

Pada umumnya, korupsi berarti menggunakan jabatannya untuk keuntungan pribadi. Di Indonesia, korupsi diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam undang-undang ini, korupsi mencakup segala tindakan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang dilakukan dengan tujuan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi melalui tindakan melawan hukum. Definisi ini menekankan bahwa korupsi tidak hanya berhubungan dengan uang tunai atau dana publik, tetapi juga segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan, kewenangan, dan kesempatan yang dimiliki oleh seseorang karena jabatannya. Oleh karena itu, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 ini menegaskan bahwa korupsi mencakup tindakan penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan atau kedudukannya.

Korupsi Dalam Pendekatan Robert Klitgaard dan Jack Bologna

Dalam pendekatan Robert Klitgaard, korupsi didefinisikan sebagai hasil dari kombinasi "C= M + D -- A", yaitu Monopoly (monopoli) dan Dictionary (diskresi) yang tidak diimbangi oleh Accountability (akuntabilitas). Kata Monopoly disini cenderung terjadi ketika suatu pihak memiliki kendali tunggal atas keputusan tertentu tanpa pembatasan yang signifikan, dapat berupa kekuasaan eksklusif yang dimilik oleh pejabat tertentu. Lalu, kata Dictionary merujuk pada kewenangan atau kebebasan yang dimiliki seorang pejabat untuk mengambil keputusan sesuai kebijakan pribadi mereka. Tingginya tingkat diskresi tanpa regulasi yang ketat atau transparansi sering kali menjadi peluang besar untuk korupsi. Terakhir, Accountability berarti sejauh mana individu atau institusi yang memiliki kekuasaan dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan dan keputusan mereka. Tanpa mekanisme pengawasan dan sanksi yang efektif, monopoli dan diskresi dapat disalahgunakan.

Sementara itu, Jack Bologna mengembangkan teori GONE yang mencakup empat faktor utama penyebab korupsi, yaitu Greed (keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (kebutuhan), dan Exposure (pengawasan). Dalam teori ini, Greed merupakan dorongan manusia yang kuat untuk memperkaya diri sendiri atau mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan etika, moralitas, atau dampak negatif pada orang lain. Lalu, Opportunity mengacu pada situasi atau kondisi yang memungkinkan seseorang untuk melakukan korupsi, dimana kurangnya kontrol internal dan prosedur yang memadai. Selanjutnya, Need mengacu pada motif individu dalam memenuhi kebutuhan finansial atau pribadi yang mendesaknya. Tidak semua korupsi murni berasal dari keserakahan, tetapi bisa saja karena faktor tekanan sosial, ekonomi, dan lingkungan sekitarnya. Terakhir, Exposure merujuk pada risiko bahwa pelaku akan tertangkap dan dihukum atas tindakan mereka. Semakin rendah risiko seseorang untuk tertangkap atau semakin lemah pengawasan terhadap tindakannya, maka semakin besar kemungkinan terjadinya korupsi.

Mengapa pendekatan Robert Klitgaard dan Jack Bologna masih relevan dalam menjelaskan maraknya korupsi di Indonesia?

Pendekatan Robert Klitgaard yang merumuskan korupsi melalui "Monopoli + Diskresi - Akuntabilitas" tetap relevan dalam menjelaskan tingginya korupsi di Indonesia karena ketiga elemen ini memperburuk praktik korupsi:

  • Monopoli Kekuasaan: Pejabat dengan kekuasaan besar cenderung menyalahgunakan wewenang karena minimnya kontrol.
  • Diskresi Tanpa Batas: Kebijakan diskresi tanpa pengawasan sering disalahgunakan untuk kolusi, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan.
  • Minim Akuntabilitas: Sistem akuntabilitas yang lemah dan penegakan hukum yang tidak konsisten memungkinkan pelaku korupsi lolos tanpa konsekuensi, memperkuat budaya korupsi.

Selanjutnya, Pendekatan Jack Bologna dengan model GONE (Greed, Opportunity, Need, Exposure) tetap relevan dalam menjelaskan korupsi di Indonesia karena keempat elemen ini mencerminkan faktor-faktor utama yang mendorong praktik korupsi:

  1. Greed: Pejabat publik sering terpicu oleh keinginan untuk memperkaya diri atau kelompok, dengan ambisi untuk mendapatkan keuntungan tanpa batas.
  2. Opportunity: Lemahnya pengawasan dan kontrol internal di lembaga publik memberi ruang bagi korupsi, menciptakan situasi di mana penyalahgunaan kekuasaan tidak terdeteksi.
  3. Need: Tekanan ekonomi dan penghasilan rendah mendorong pejabat untuk melakukan korupsi guna memenuhi kebutuhan finansial mereka.
  4. Exposure: Rendahnya tingkat pengungkapan dan penegakan hukum yang lemah membuat pelaku korupsi merasa aman, mengurangi efek jera dan insentif untuk berhenti.

Bagaimana upaya untuk mencegah tindak korupsi karena tekanan sosial ekonomi dan kesewenang-wenangan seseorang yang memilik kekuasaan?

Dalam penanganan tindak korupsi, terdapat beberapa pendekatan terkait upaya pencegahan korupsi yang dipicu oleh tekanan sosial ekonomi serta kesewenang-wenangan pemegang kekuasaan sebagai berikut.

1. Pemberdayaan Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial

  • Pengurangan Kemiskinan dan Pengangguran: Salah satu faktor penyebab terjadinya korupsi di kalangan masyarakat maupun aparatur negara adalah tekanan sosial ekonomi. Negara perlu mendorong program yang fokus pada pengurangan kesenjangan ekonomi dan pengangguran. Inisiatif seperti pemberdayaan usaha kecil dan menengah (UMKM) dapat membantu menciptakan stabilitas ekonomi.
  • Pendekatan menyeluruh pada Kesejahteraan Sosial: Penelitian menunjukkan bahwa tekanan kebutuhan dasar, seperti kebutuhan akan pangan dan pendidikan, seringkali mendorong seseorang mengambil tindakan koruptif. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih menyeluruh dalam mendukung kesejahteraan sosial dapat mengurangi potensi individu untuk melakukan tindak korupsi.

2. Reformasi Tata Kelola Pemerintahan dan Kelembagaan

  • Peningkatan Integritas Penyelenggara Negara: Untuk mencegah korupsi yang dilakukan oleh individu berkuasa, penting untuk membangun aparatur negara yang berintegritas tinggi. Hal ini dicapai melalui pembinaan integritas sejak dini, perbaikan pendidikan dan pelatihan etika di lembaga pemerintahan, serta penerapan sanksi sosial dan hukum yang tegas terhadap pelanggaran.
  • Desentralisasi yang Akuntabel: Dalam sistem desentralisasi, risiko penyalahgunaan kekuasaan di tingkat daerah dapat meningkat. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme pengawasan yang kuat dan transparansi dalam tata kelola pemerintahan daerah untuk mencegah korupsi.

3. Penegakan Hukum yang Tegas, Adil, dan Berintegrasi

  • Sanksi yang Berat dan Efektif: Penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku korupsi, termasuk pengenaan hukuman yang berat seperti pidana penjara, denda besar, dan sanksi sosial, dapat memberikan efek jera. Kombinasi tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan tindakan korupsi juga diharapkan mempersempit ruang gerak bagi pelaku korupsi untuk menyembunyikan hasil kejahatannya.
  • Penguatan Kelembagaan Penegak Hukum: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan, dan kepolisian harus bekerja secara sinergis, konsisten, dan bebas dari intervensi. Perlu ada koordinasi yang terintegrasi antara lembaga-lembaga ini untuk memastikan efektivitas dalam penanganan kasus korupsi.

4. Pendidikan dan Peningkatan Kesadaran Anti-Korupsi

  • Pendidikan Sejak Dini: Pengenalan pendidikan anti-korupsi pada anak-anak di bangku sekolah penting untuk membangun budaya anti-korupsi sejak usia dini. Ini akan membantu membentuk karakter generasi muda yang memiliki sikap dan perilaku yang tegas menolak segala bentuk tindakan yang merugikan negara.
  • Kampanye Anti-Korupsi: Kampanye melalui media massa, media sosial, dan komunitas masyarakat anti-korupsi dapat menciptakan kesadaran publik yang luas tentang bahayanya tindak korupsi dan memberikan tekanan sosial terhadap pelaku korupsi.

5. Pengawasan dan Transparansi Publik

  • Mekanisme Perlindungan bagi Pelapor: Perlindungan bagi pelapor dan saksi yang bersedia bekerja sama dalam pengungkapan tindak pidana korupsi harus diberikan. Ini untuk mendorong pengungkapan kasus-kasus yang tersembunyi di balik kekuasaan dan mencegah adanya praktik-praktik intimidasi terhadap mereka yang berani berbicara.
  • Penguatan Partisipasi Masyarakat: Partisipasi masyarakat dalam pengawasan penyelenggaraan pemerintahan perlu ditingkatkan.

Studi Kasus Terkait Korupsi di Indonesia

Kasus Korupsi Mantan Rektor Universitas Lampung

Beberapa tahun lalu, terdapat sebuah kasus yang melibatkan seorang Rektor dan juga bawahannya terkait kasus tindak pidana korupsi suap. berikut ini kronologi mengenai terjadinya kasus korupsi yang dilakukan para petinggi di Universitas Lampung.

Prof. Dr. Karomani, yang pada saat itu menjabat sebagai Rektor Universitas Lampung, ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat, 19 Agustus 2022, sekitar pukul 21.00 WIB. Penangkapan ini terkait dengan dugaan suap dalam penerimaan mahasiswa baru (PMB). Dugaan itu muncul setelah seorang calon mahasiswa merasa dirugikan karena terdapat siswa dengan nilai rendah di SMA bisa diterima, sementara anaknya yang berprestasi tidak diterima. Karomani diduga menetapkan tarif Rp 100 juta hingga Rp 350 juta untuk meloloskan calon mahasiswa dan menerima total suap sekitar Rp 5 miliar melalui jalur mandiri (PMB). Selain Karomani, KPK juga menetapkan beberapa orang yang ikut terlibat, yaitu Wakil Rektor I Bidang Akademik, Prof. Heryandi dan Ketua Senat, M. Bisri sebagai tersangka dalam perkara ini. Ketiganya ditahan di Rutan Bandar Lampung. Saat Karomani dibawa oleh petupas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Rutan, dirinya menyampaikan permintaan maaf kepada masyarakat, "Ya saya mohon maaf lah pada masyarakat pendidikan Indoneisa" Kata Karomani di depan awak media di lobi Gedung KPK, Minggu (21 Agustus 2022).

Lalu, Orang yang memberikan suap, Andi Desfiandi, melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 dan dijatuhi hukuman penjara selama 1 tahun 4 bulan. Dalam kasus ini, Karomani memerintahkan beberapa bawahannya, termasuk Wakil Rektor Heryandi, Kabiro Perencanaan dan Humas Budi Sutomo, serta Ketua Senat M. Bisri, untuk mengatur seleksi Simanila 2022 dengan mengevaluasi calon mahasiswa secara personal.

KPK telah memeriksa sejumlah saksi, mulai dari pimpinan Universitas Lampung hingga pejabat di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Jaksa penuntut mendakwa Karomani dengan pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Mantan Rektor ini diduga menerima suap senilai Rp 6,985 miliar dan 10.000 dolar Singapura dari tahun 2020 hingga 2023. Pada tahun 2020, ia mengantongi gratifikasi sebesar Rp 1,650 miliar dan 10.000 dolar Singapura, pada tahun 2021 memperoleh Rp 4,385 miliar, dan pada tahun 2022 menerima Rp 950 juta. Dalam proses persidangan, Karomani menyampaikan kepada Majelis Hakim bahwa dirinya saat ini kesulitan secara finansial, mengklaim hidup seperti gelandangan setelah rekeningnya diblokir oleh KPK, sehingga harus meminjam uang.

Jaksa KPK menuntut Karomani dengan hukuman 12 tahun penjara atas tindak pidana suap terkait penerimaan mahasiswa baru di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Ketua Majelis Hakim, Lingga Setiawan, menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara dan memerintahkan Karomani membayar uang pengganti sebesar Rp 8,075 miliar, lebih rendah dari tuntutan jaksa sebesar Rp 10,2 miliar dan 10.000 dolar Singapura, dengan ketentuan hartanya disita jika tidak mampu membayar. Selain itu, Heryandi dan M. Basri juga dinyatakan bersalah dalam kasus ini dan divonis masing-masing 4 tahun 6 bulan penjara, lebih rendah dari tuntutan jaksa sebesar 5 tahun. Keduanya juga diwajibkan membayar denda Rp 200 juta atau subsider dua bulan kurungan, serta membayar uang kerugian negara masing-masing Rp 300 juta untuk Heryandi dan Rp 150 juta untuk M. Basri, dengan ketentuan harta mereka dapat dilelang jika tidak mampu membayar.

PPT Dosen Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak
PPT Dosen Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Menangani tindak korupsi seperti yang terjadi pada kasus Prof. Dr. Karomani terkait suap dalam penerimaan mahasiswa baru, terdapat beberapa langkah yang dapat di terapkan dan juga relevan dengan berlandaskan teori yang diuraikan oleh Robert Klitgaard dan Jack Bologna.

1. Penerapan Pendekatan Robert Klitgaard (CDMA Theory)

Korupsi terjadi akibat monopoli kekuasaan, diskresi tanpa akuntabilitas, dan kurangnya akuntabilitas. Penanganan korupsi seperti kasus Karomani dapat dilakukan melalui langkah-langkah berikut:

A. Pembatasan Monopoli Kekuasaan dan Transparansi Proses (Monopoly dan Dictionary)

  • Desentralisasi Proses Penerimaan Mahasiswa: Mengurangi kekuasaan monopoli yang dimiliki oleh rektor atau pejabat tinggi dengan melibatkan pihak luar, seperti lembaga independen, untuk memantau proses seleksi penerimaan mahasiswa. Ini dapat memastikan bahwa keputusan tidak hanya ada di satu pihak, mengurangi kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan.
  • Penerapan Aturan yang Ketat: Peraturan transparan yang ketat terkait seleksi penerimaan mahasiswa harus diterapkan. Misalnya, pengembangan sistem digital yang memungkinkan masyarakat untuk melihat proses pemilihan, sehingga tidak ada kesempatan untuk manipulasi dan semua keputusan dapat diperiksa oleh banyak orang.

B. Penguatan Akuntabilitas (Accountability)

  • Pengawasan yang Ketat dan Audit: Menyediakan sistem audit dan pengawasan yang ketat, baik dari pihak internal universitas maupun lembaga pengawas luar.
  • Sanksi Tegas dan Konsisten: Penegakan sanksi yang jelas bagi pejabat yang terbukti korup, seperti pemberhentian dan hukuman penjara, harus dilakukan. Ini dapat menimbulkan efek jera bagi mereka.

2. Penerapan Pendekatan Jack Bologne (GONE Theory)

Berdasarkan penjelasan diawal, teori ini menyoroti empat faktor utama penyebab korupsi: keserakahan (Greed), kesempatan (Opportunity), kebutuhan (Need), dan pengungkapan (Exposure). Upaya penanganan korupsi dapat dilakukan melalui langkah-langkah berikut:

A. Mengatasi Keserakahan (Greed)

  • Penguatan Nilai Integritas dan Etika: Pendidikan antikorupsi yang mengajarkan nilai-nilai etika, integritas, dan tanggung jawab sosial harus dilakukan secara terus-menerus, baik di pendidikan tinggi maupun di kalangan pejabat universitas.
  • Transparansi dalam Penerimaan dan Pengelolaan Keuangan: Semua jenis sumbangan, donasi, atau pengumpulan dalam proses seleksi harus dicatat, disampaikan secara jelas, dan diaudit secara rutin untuk memastikan tidak ada penyimpangan.

B. Mengurangi Kesempatan (Opportunity)

  • Pengawasan Ketat Proses Seleksi: Penerimaan mahasiswa harus dilakukan dengan cara yang jelas dan terstruktur, seperti memakai sistem seleksi elektronik tanpa intervensi manusia yang dapat mengurangi kemungkinan terjadinya tindakan manipulasi.
  • Pengawasan Eksternal dan Pelibatan Komunitas: Melibatkan pengawas independen, komite etik, atau masyarakat dalam proses evaluasi penerimaan mahasiswa.

C. Memenuhi Kebutuhan (Need)

  • Kesejahteraan Pejabat dan Tenaga Akademik: Kesejahteraan pegawai dan pejabat pendidikan harus diperhatikan untuk mengurangi beban ekonomi yang bisa mendorong mereka berbuat korupsi. Misalnya, dengan memberikan insentif yang tepat dan jaminan kesejahteraan.
  • Mekanisme Bantuan: Penyediaan mekanisme bantuan keuangan bagi mahasiswa yang membutuhkan juga harus jelas dan transparan, tanpa celah bagi pihak yang ingin memanfaatkan sistem tersebut untuk keuntungan pribadi.

D. Meningkatkan Pengungkapan (Exposure)

  • Perlindungan bagi Pelapor: Orang-orang yang melaporkan atau mengungkapkan indikasi korupsi dalam proses penerimaan mahasiswa ataupun proses lainnya harus diberikan perlindungan hukum dan jaminan keamanan. Hal ini mendorong budaya keterbukaan dan transparansi.
  • Peningkatan Kesadaran Publik: Edukasi publik dan kampanye antikorupsi yang melibatkan masyarakat dapat meningkatkan pengawasan sosial terhadap pelaku korupsi di bidang pendidikan.

Beberapa contoh lain terkait tindakan korupsi di Indonesia, meliputi:

  • Korupsi E-KTP (Kartu Tanda Penduduk Elektronik). Kasus ini melibatkan banyak pejabat tinggi dan pengusaha, termasuk mantan Ketua DPR Setya Novanto. Kerugian negara akibat kasus ini ditaksir mencapai Rp 2,3 triliun.
  • Kasus Korupsi BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Dalam kasus ini, salah satu yang menjadi tersangknya, yaitu Syafruddin Arsyad Temenggung. Kerugian negara dalam kasus tindak pidana korupsi SKL BLBI mencapai Rp 4,58 triliun.
  • Korupsi Dana Bantuan Sosial (Bansos) Covid-19. Kasus ini melibatkan pejabat tinggi, Juliari Batubara. KPK menyebut jumlah kerugian negara di kasus ini mencapai Rp 250 miliar.
  • Korupsi Proyek Hambalang. Kasus korupsi proyek Hambalang ini mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 706 miliar.
  • Kasus PT. Asuransi Jiwasraya. kasus korupsi yang melibatkan PT Asuransi Jiwasraya ini mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp16,81 triliun.
  • Kasus Suap Proyek PLTU Riau-1. Kasus ini melibatkan mantan anggota DPR, Eni Maulani Saragih, dan mantan Menteri Sosial, Idrus Marham. Kasus ini terjadi pada proyek yang bernilai US$900 juta.

Dari banyaknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, mencerminkan lemahnya penegakan nilai integritas, etika, dan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi tidak hanya terjadi karena individu yang tergoda oleh kesempatan, tetapi juga merupakan akibat dari sistem yang memberikan ruang untuk perilaku menyimpang. Oleh karena itu, Penting untuk memahami bahwa pengembangan budaya integritas bukan hanya tugas pemerintah atau aparat hukum, tetapi melibatkan semua lapisan masyarakat. Pendidikan anti korupsi sejak dini, penerapan transparansi dalam semua aspek pemerintahan, pemberdayaan lembaga pengawas yang independen, hingga penegakan hukum yang adil dan tegas harus dilakukan bersamaan.

Kesimpulan

Pendekatan Robert Klitgaard dan Jack Bologna dalam menganalisis korupsi masih sangat relevan untuk memahami fenomena korupsi di Indonesia. Klitgaard menekankan bahwa korupsi terjadi ketika ada monopoli kekuasaan dan kewenangan yang tidak diawasi (diskresi) serta rendahnya akuntabilitas. Sementara itu, Bologna melihat korupsi sebagai akibat dari keserakahan, kesempatan, kebutuhan, dan lemahnya pengawasan. Secara umum, untuk mencegah korupsi, dibutuhkan pengawasan yang ketat, transparansi, sanksi yang tegas, serta peningkatan kesejahteraan pejabat publik untuk menutup peluang penyalahgunaan kekuasaan dan mendorong budaya anti-korupsi.

Daftar Pustaka

Julianti N. & Harti B. Y. (2020). Mendeteksi Kecurangan Melalui Teori Gone Menurut Persepsi Auditor Eksternal Dengan Pengalaman Kerjasebagai Variabel Moderasi. Buku 2: Sosial dan Humaniora. https://e-journal.trisakti.ac.id/index.php/pakar/article/view/6880

Waluyo B. (2014). OPTIMALISASI PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA. Jurnal Yuridis. 1(2). 169-182. https://media.neliti.com/media/publications/282159-optimalisasi-pemberantasan-korupsi-di-in-6faf3218.pdf

Fazzan. (2015). KORUPSI DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM. Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA. 14(2). 146-165. https://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/islamfutura/article/view/327

Muliana. (2024). Judicial Corruption dan Analisis Tindak Pidana Korupsi Bantuan Dana Likuiditas Bank Indonesia Berdasarkan Teori Sebab-sebab Tindak Pidana Korupsi: Studi Kasus Syafruddin Arsyad Temenggung. Jurist-Dicition, 7(2), 359-374. https://e-journal.unair.ac.id/JD/article/view/56407

https://www.kompas.com/tren/read/2023/05/26/091500065/perjalanan-kasus-korupsi-eks-rektor-unila--terima-gratifikasi-rp-6-9-miliar?page=all

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun