Mohon tunggu...
NAZWA AULIA KAMILAH
NAZWA AULIA KAMILAH Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Pendidikan Indonesia

Saya senang menghabiskan waktu luang dengan menonton film, merakit lego, dan bersepeda di sore hari.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dendam Gunarto dalam Naskah Ayahku Pulang Karya Usmar Ismail

12 Desember 2023   21:04 Diperbarui: 12 Desember 2023   21:52 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Gunarto

"Baguslah itu. Kau memang harus mengumpulkan ilmu sebanyak-banyaknya. Supaya nanti kau dapat banggakan kalau kau bisa jadi orang yang sangat berguna bagi masyarakat! Jangan seperti aku ini, hanya lulusan sekolah rendah. Aku tidak pernah merasakan atau bisa lebih tinggi lagi, karena aku tidak punya Ayah. Tidak ada orang yang mau membantu aku. Tapi kau Maimun, yang sekolah cukup tinggi, bekerjalah sekuat tenagamu! Aku percaya kau pasti bisa memenuhi tuntutan zaman sekarang ini!"

Ayah (Raden Saleh) yang meninggalkan mereka selama 20 tahun telah datang kembali ke rumah. Ibu, Maimun, dan Mintarsih terkejut dan menahan haru dengan kedatangan Raden Saleh terutama Ibu. Akan tetapi, tidak untuk Gunarto. Gunarto begitu kesal dengan kedatangan ayahnya. Dia tidak mengucapkan sepatah katapun untuk menyambut kedatangan ayahnya kembali, bahkan diminta tolong untuk mengambilkan segelas air minum ayahnya ia tidak mau, terlihat pada dialog ayah dan ibu sebagai berikut:

            Ibu (gelisah serba salah)

"Narto, Ayahmu yang berbicara itu. Mestinya engkau gembira, nak. Sudah semestinya ayah berjumpa kembali dengan anak-anaknya yang sudah sekian lama tidak bertemu."

Raden Saleh

"Kalau Narto tak mau, engkaulah Maimun, Maukah kau memberikan ayah air segelas?"

Gunarto merasa bahwa perilaku ayahnya selama ini sangat tidak baik, karena ayahnya kembali tanpa mempedulikan keluarganya yang telah ditinggalkannya. Gunarto menganggap bahwa ayahnya tidak menyadari upaya keras yang telah dia lakukan untuk keberlangsungan keluarga, bersama dengan usaha ibunya dan kedua adiknya untuk bertahan hidup, sementara ayahnya pergi tanpa alasan yang jelas. Ayahnya hanya mau kembali setelah mengalami kelemahan dan bisnisnya mengalami kebangkrutan, perasaan Gunarto tersebut terlihat jelas pada dialog berikut:

Gunarto                                                                                             

"Kami tidak mempunyai seorang Ayah kataku. Kalau kami mempunyai Ayah, lalu apa perlunya kami membanting tulang selama ini? Jadi budak orang! Waktu aku berumur delapan tahun, aku dan Ibu hampir saja terjun kedalam laut, untung Ibu cepat sadar. Dan jika kami mempunyai Ayah, lalu apa perlunya aku menjadi anak suruhan waktu aku berumur sepuluh tahun? Kami tidak mempunyai seorang Ayah. Kami besar dalam keadaan sengsara. Rasa gembira didalam hati sedikitpun tidak ada. Dan kau Maimun, Lupakah engkau waktu menangis disekolah rendah dulu? Karena kau tidak bias membeli kelereng seperti kawan-kawanmu yang lain. Dan kau pergi ke sekolah dengan pakaian yang sudah robek dan tambalan sana-sini? Itu semua terjadi karena kita tidak mempunyai seorang Ayah! Kalau kita punya seorang Ayah, lalu kenapa hidup kita melarat selama ini!"

Ibu Gunarto sering menyalahkan Ayahnya atas kondisi sulit keluarganya, yang akhirnya membuat Gunarto dan Ibu menjadi budak dan babu mencuci pakaian orang lain. Meskipun dalam keadaan sulit, Gunarto berjuang keras untuk membuktikan bahwa dia mampu memberi makan keluarganya tanpa bergantung pada bantuan orang lain, kondisi tersebut yang menyebabkan Gunarto memiliki rasa dendam pada ayah kandungnya terlihat jelas pada dialog berikut:

            Gunarto (sikapnya dingin, namun keras)

"Ibu seorang perempuan. Waktu aku kecil dulu, aku pernah menangis dipangkuan ibu karena lapar, dingin, dan penyakitan, dan ibu selalu bilang "ini semua adalah kesalahan ayahmu, Ayahmu yang harus disalahkan." Lalu kemudian aku jadi budak suruhan orang! Dan Ibu jadi babu mencuci pakaian kotor orang lain. Tapi aku berusaha bekerja sekuat tenagaku! Aku buktikan kalau aku dapat memberi makan keluargaku! Aku berteriak kepada dunia, aku tidak butuh pertolongan orang lain!"

Gunarto menunjukkan tekadnya untuk tidak membutuhkan pertolongan orang lain dan berusaha menjadi orang yang berharga meskipun tanpa kehadiran kasih sayang seorang Ayah. Pada usia delapan belas tahun, gambaran Ayahnya yang sesat selalu menghantuinya, melarikan diri dengan perempuan asing dan meninggalkan tanggung jawabnya kepada keluarga. Gunarto memandang Ayahnya sebagai musuh terbesarnya, yang meninggalkan hutang-hutang dan menyiksa masa kecil mereka. Kemarahan Gunarto terlihat pada dialog berikut:

            Gunarto

"Maimun! Apa pernah kau menerima pertolongan dari orang tua seperti ini? Aku pernah menerima tamparan dan tendangan juga pukulan dari dia dulu! Tapi sebiji djarahpun, tak pernah aku menerima apa-apa dari dia".

Gunarto (marah dengan cepat)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun