Mohon tunggu...
Nazwa Aprilia
Nazwa Aprilia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

saya tertarik pada dunia sosial media dan fotografi, sekarang saya berkuliah di universitas Mulawarman program studi pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Tersebarnya video kekerasan yang dilakukan oknum pendidik, berikut relevansi teorinya

11 Desember 2024   17:00 Diperbarui: 11 Desember 2024   14:04 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Tersebarnya video kekerasan yang dilakukan oleh seorang guru di SMKN 12 Malang memicu banyak perhatian dari warganet mengenai praktik kekerasan di dunia pendidikan dan bagaimana institusi pendidikan seharusnya merespons insiden seperti ini. Dalam kasus ini, meskipun piha sekolah, guru, dan keluarga siswa telah mencapai kesepakatan damai, penting untuk mengkaji lebih dalam mengenai peran institusi pendidikan dalam memastikan lingkungan belajar yang aman serta teori-teori yang relevan dalam memahami kekerasan di dunia pendidikan.

1. Teori Kekerasan Struktural

Menurut Johan Galtung, seorang sosiolog Norwegia, kekerasan struktural terjadi ketika institusi atau sistem dalam masyarakat menyebabkan kerugian secara tidak langsung pada individu. Teori ini menjelaskan kekerasan yang terjadi secara tidak langsung dan memengaruhi banyak orang, tetapi tidak terlihat secara jelas. Kekerasan struktural merupakan kekerasan yang memengaruhi hidup orang banyak tetapi tidak terlihat secara langsung dan memberikan dampak secara nyata terhadap kehidupan banyak orang.

Dalam konteks ini, kekerasan yang dilakukan oleh guru dapat dipahami sebagai dampak dari ketidakmampuan sistem pendidikan untuk menyediakan mekanisme penyelesaian konflik yang efektif antara guru dan siswa. Selain itu, kebiasaan menoleransi perilaku otoriter di lingkungan sekolah dapat memperkuat kekerasan semacam ini. Di banyak institusi pendidikan, hubungan hierarkis antara guru dan siswa sering kali menjadi sumber ketegangan yang jika tidak diatasi dengan baik, dapat menyebabkan kekerasan fisik atau emosional.

Dalam kasus di SMKN 12 Malang, meskipun guru AK telah menyatakan bahwa tindakannya merupakan bentuk kekhilafan, insiden tersebut mencerminkan adanya masalah struktural dalam sistem pendidikan yang memungkinkan kekerasan terjadi. Kebijakan sekolah yang mungkin belum maksimal dalam menangani ketidakhadiran siswa dan kebohongan bisa jadi menjadi pemicu frustasi yang dirasakan oleh guru, yang kemudian terungkap dalam bentuk kekerasan fisik.

2. Teori Pembelajaran Sosial

Teori Pembelajaran Sosial dari Albert Bandura mengajarkan bahwa manusia belajar dari lingkungan sosial mereka melalui observasi dan peniruan. Ketika kekerasan menjadi bagian dari lingkungan sosial---baik di sekolah maupun di luar sekolah---ada kemungkinan besar bahwa siswa dan bahkan guru akan menganggap kekerasan sebagai cara yang dapat diterima untuk menyelesaikan masalah. Dalam konteks ini, tindakan kekerasan oleh guru dapat menjadi contoh buruk bagi siswa, yang mungkin melihat perilaku tersebut sebagai bentuk otoritas atau disiplin yang dapat dibenarkan.

Bandura juga menekankan bahwa penguatan sosial memainkan peran penting. Dalam banyak kasus, tindakan kekerasan tidak mendapatkan konsekuensi serius atau hukuman, sehingga pelaku kekerasan mungkin merasa tindakan mereka dibenarkan. Dalam kasus ini, meskipun guru mengundurkan diri dan proses mediasi telah dilakukan, tidak ada tindakan hukum yang diambil oleh keluarga siswa. Hal ini bisa jadi menunjukkan kepada siswa dan guru lain bahwa kekerasan fisik dapat diatasi secara damai tanpa konsekuensi serius, yang berpotensi memperpetuasi budaya kekerasan.

3. Teori Otoritarianisme dan Otoritas Guru

Teori Max Weber tentang otoritas karismatik dan tradisional bisa juga diaplikasikan untuk memahami hubungan antara guru dan siswa. Dalam banyak budaya, termasuk di Indonesia, guru sering kali dianggap sebagai figur otoritas yang tidak bisa dipertanyakan. Hal ini menciptakan hubungan hierarkis yang tidak seimbang antara guru dan siswa, yang terkadang memunculkan kekerasan dalam proses disiplin. Guru yang merasa berhak menegur dengan cara apa pun, baik verbal maupun fisik, sering kali tidak menyadari batasan etis dari otoritas mereka.

Dalam kasus ini, tindakan AK terhadap siswa dapat dilihat sebagai upaya untuk menegakkan disiplin dengan cara yang salah. Meskipun niatnya mungkin adalah untuk mengajarkan kedisiplinan karena siswa terlambat dan berbohong, metode kekerasan fisik yang dipilih tidak hanya melanggar hak siswa, tetapi juga mencoreng citra pendidikan sebagai institusi yang seharusnya memberikan

rasa aman dan keadilan bagi semua pihak.

Kesimpulan

Dalam kasus ini, proses mediasi yang melibatkan guru, siswa, keluarga, dan pihak sekolah menunjukkan upaya untuk menghindari proses hukum formal dan memilih jalur damai. Banyak pro dan kontra yang terjadi dikarenakan keputusan akhir ini. Meskipun demikian, penting untuk memastikan bahwa proses ini tidak hanya menjadi formalitas, tetapi juga memberikan pemahaman mendalam kepada semua pihak tentang dampak negatif kekerasan dan pentingnya perubahan perilaku. Jika tidak, pendekatan damai ini bisa dianggap hanya sebagai cara untuk menghindari konsekuensi hukum tanpa perubahan nyata dalam cara menangani disiplin di sekolah seperti yang sering terjadi di negara kita tercinta ini.

Jika dibahas lebih lanjut serta mengulik kejadian-kejadian yang pernah terjadi dan diselesaikan dengan jalur kekeluargaan, sering kali hal tersebut hanya dilakukan pihak-pihak petinggi untuk menghindari jalur hukum dan menjaga nama baik sekolah tanpa memikirkan perasaan korban serta keluarga korban.

Menurut saya, Pemerintah dan lembaga pendidikan Indonesia harus lebih memperhatikan kasus-kasus yang marak terjadi, tidak sekali dua kali kejadian seperti ini terjadi dan korban selalu dibuat mengalah dan dipaksa memaafkan pelaku tanpa tau trauma apa yang sudah didapatkan oleh korban dari kejadian tersebut.

Kekerasan yang terjadi di SMKN 12 Malang adalah refleksi dari masalah yang lebih dalam dalam sistem pendidikan di Indonesia, di mana mekanisme penegakan disiplin, hubungan hierarkis antara guru dan siswa, serta kebijakan sekolah yang tidak mendukung penyelesaian konflik yang sehat dapat memperparah situasi. Dalam konteks ini, berbagai teori seperti kekerasan struktural, pembelajaran sosial, otoritarianisme, dan restorative justice memberikan landasan untuk memahami penyebab dan solusi dari masalah ini.

Untuk mencegah terulangnya insiden serupa, institusi pendidikan harus menekankan pentingnya pelatihan manajemen emosi bagi guru, menanamkan pemikiran pada seluruh pengajar bahwa penyelesaian sebuah masalah bukanlah dengan melakukan kekerasan dengan dalih mendisiplinkan, memperkuat regulasi anti-kekerasan, dan menciptakan budaya sekolah yang menghargai dialog dan penyelesaian konflik tanpa kekerasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun