dilahirkan di daerah Randublatung, Blora, Jawa Tengah pada 1859, dan mulai tahun 1890, ia menyebarkan ajarannya di sejumlah daerah, antara lain di Klopodhuwur dan Blora. Ajaran Samin akhirnya juga berkembang di daerah lainnnya seperti Pati, Kudus, Madiun, Bojonegoro, Rembang, Grobogan, Brebes, Tuban, Ngawi, dan Lamongan. Sebagaimana diketahui pada umumnya, masyarakat Samin adalah golongan yang mendapat stigma negatif dari masyarakat luas.
Stigmatisasi negatif orang Samin ini bahkan sampai saat ini masih dirasakan oleh warga di Randublatung, Blora, Jawa Tengah. Hal itu terbukti ketika warga di sana enggan atau bahkan tidak mau disebut sebagai wong samin. Mereka menolak dikatakan Samin, dan lebih suka disebut sebagai wong sikep. Alasan mereka, pada umumnya adalah karena Samin itu identik dengan kebodohan, dan identik dengan segolongan masyarakat yang tidak kooperatif, tak mau membayar pajak, tidak mau ikut ronda, suka membangkang, dan bahkan tuduhan ateis. Singkatnya, perilaku dan tingkah laku orang Samin dianggap tidak sejalan seperti orang pada umumnya.
Mari kita mengawali dengan mengetahui apa itu suku samin, suku samin yaitu suku yang berasal dari pedalaman Blora, Jawa Tengah. Suku samin ini masih memegang teguh tradisi dan adat, suku samin memiliki ajaran sendiri. Mereka  menamkan kepada diri sendiri dan menjunjung tinggi  dalam berperilaku baik contohnya seperti jujur, tidak iri, tidak dengki, dan tidak berprasangka jelek kepada orang lain. Selain itu mereka juga bersikap apa adanya dan hidup sederhana.
Suku samin berawal dari Samin Surosentiko yang merupakan keturunan dari Brotoningrat yaitu bupati yang memerintah kabupaten Sumuronto atau yang kini diketahui sebagai Tulungagung. Samin merupakan orang yang berjasa dalam membantu orang --orang yang tidak mampu, Samin juga dikenal sebagai orang yang berhati mulia dan pandai sehingga ia sangat dihormati oleh warga sekitar. Suku Samin sendiri  berasal dari nama tokoh Samin Surosentiko
Berawal dari tingkah para kolonial belanda yang semena mena membuat samin surosentiko tidak suka lalu ia membuat sebuah gerakan moral pada masyarakat dan menyebarkan ajaran tersebut di seluruh daerah ia pun memperluas ajaran saminisme hingga ke penjuru pulau jawa. orang-orang samin itu seluruhnya berjumlah 2.300 orang tersebar di beberapa daerah di Blora, Bojonegoro, Pati dan Kudus.
pada waktu umur 31 tahun. Ia mulai menyebarkan ajarannya kepada orang-orang sedesanya.ia melakukan banyak tapa, memperoleh kitab suci sebagai petunjuk dan baru menyampaikan "wahyu"-nya kepada orang banyak. Sebagaimana paham lain yang dianggap oleh pendukungnya sebagai agama, orang Samin juga memiliki "kitab suci". "Kitab suci"' itu adalah Serat Jamus Kalimasada yang terdiri atas beberapa buku, antara lain Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-uri Pambudi, Serat Jati Sawit, Serat Lampahing Urip, dan semua itu merupakan nama-nama kitab yang amat populer dan dimuliakan oleh orang Samin. Melalui kitab suci itu, pada akhirnya ajaran-ajaran samin surosentiko mendapat tanggapan baik atau apresiasi yang sangat baik, dan segera memikat orang banyak dari desa-desa sekitarnya. Melalui ajaran-ajarannya yang selalu menanamkan benih-benih kebaikan dan taat terhadap kosmologi alam ini, banyak warga yang ikut ajaran samin surosentiko.
 Samin Surentiko mulai ada sejak akhir abad ke 19 dan awal abad 20, Samin Surentiko adalah sebuah fenomena sejarah kehidupan sosial yang panjang dalam sejarah Jawa. Samin Surentiko ternyata memiliki pengaruh yang banyak terhadap karakter dan perilaku dari masyarakat Jawa secara umum, termasuk yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Orang Jawa dalam berpikir pun tak bisa dilepaskan dari ajaran samin terhadap orang Jawa. Pada sejarah munculnya Saminisme, memang ada satu hal yang penting dan harus selalu diingat untuk memahami "berbeda"nya perilaku mereka hingga saat ini. Samin memang muncul sebagai gerakan yang menentang kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Pada mulanya, ajaran yang dikembangkan oleh Samin Surentiko memang tidak menarik pemerintah kolonial dan tidak menimbulkan persoalan atau masalah kolonial.Â
Tetapi pada tahun 1905 terjadi perubahan, karena pengikut samin mulai menarik diri. Mereka melakukan pembangkangan tidak mau membayar pajak, menolak memberikan lumbung di desa dan menggembalakan ternaknya bersama ternak yang lain. Samin Surentiko dengan kata lain menghentikan pembayaran pajak, sehingga hal inilah yang membuat image orang samin hingga kini masih membekas di kalangan masyarakat di Jawa, terutama di daerah Blora. Orang Samin dianggap sebagai golongan orang yang berperilaku di luar kodratnya. Orang Samin adalah orang yang jauh dari peradaban dan tidak mau ikut trend yang ada
Ajaran yang masih di pegang teguh oleh suku samin yaitu sohaling ilat yang artinya gerakan lidah, maksudnya adalah supaya orang menjaga lisannya tidak berbicara sembarangan yang menyakiti hati orang, tidak mengucapkan kata yang kotor,bohong prinsipnya adalah jangan menyakiti hati orang lain jika tidak mau disakiti, jangan mencelakai hati orang lain kalau tidak mau celaka.
Ajaran selanjutnya adalah sedulur sikep, kata sedulur yang artinya saudara dan sikep artinya senjata. Maksud dari ajaran ini adalah mengutamakan perlawanan tanpa senjata dan kekerasan.Ajaran ini digunakan masyarakat adat Samin untuk melawan penjajahan di zaman dulu, dengan cara tidak mau membayar pajak dan  tidak mengikuti semua aturan yang dibuat para penjajah. Tentu hal ini berhasil membuat jengkel para penjajah pada saat itu.Namun, suku Samin justru senang jika disebut Wong Sikep.
Karena menurut mereka sebutan tersebut bermakna positif yaitu orang baik dan jujur, Mereka juga menganggap semua orang sebagai saudara dengan mengedepankan kebersamaan contohnya mereka bahu membahu antar sesama, gotong royong, contoh lain lagi, saat ada yang membangun rumah atau mengerjakan sawah, tanpa diminta semua warga akan datang untuk membantu. Gotong royong ini dikenal oleh suku Samin sebagai Sambatan atau Rukunan. Mereka juga mempunyai rasa kemanusiaan yang tinggi mereka berpegang teguh prinsip "ono niro mergo ningsung, ono ningsung mergo niro" yang artinya "saya ada karena kamu, kamu ada karena saya" dari prinsip inilah yang membuat orang-orang samin tidak mau menyakiti siapapun, Â tetapi jika hak mereka diusik atau diambil mereka tidak tinggal diam.
Mata pencaharian ereka yaitu bertani, bertani menurut mereka sebagai cara untuk lebih dekat dan mensyukuri nikmat tuhan. Banyak keturunan wong sikep ini tidak menempuh sekolah mereka lebih memilih mengajari anaknya sendiri hal itu dilakukan karena agar merek tetap memegang budaya leluhur.
cerita ini sangat relevan dengan teori hermeneutika yaitu mengenai sejarah hidup yang dikembangkan berdasarkan asumsi mengenai manusia sebagai "an historical being".
teori ini dicetuskan oleh filsuf yang bernama Dilthey.
Nama: Nazwa Amalia A
Nim : 1512300059
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H