Mohon tunggu...
Nazwa Dini
Nazwa Dini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa, Sosiologi Fisip Unpad

social enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pengaruh Media Sosial terhadap Kesehatan Mental Gen Z FOMO : Sebuah Tinjauan Sosiologi

24 September 2024   14:10 Diperbarui: 24 September 2024   14:47 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Media sosial telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, terutama bagi Generasi Z (Gen Z) yang lahir di era digital. Dalam beberapa tahun terakhir, perhatian publik dan akademik terhadap dampak media sosial pada kesehatan mental semakin meningkat. Fenomena ini perlu dilihat dari perspektif struktural, di mana media sosial tidak hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai agen sosial yang membentuk interaksi, identitas, dan kesejahteraan psikologis individu, khususnya pada generasi muda.

Kecemasan dan Depresi di Era Digital

Penelitian menunjukkan bahwa tingkat kecemasan dan depresi di kalangan Gen Z meningkat secara signifikan seiring dengan penggunaan media sosial yang semakin intens. Menurut laporan dari American Psychological Association (APA), sekitar 91% dari Gen Z mengalami gejala fisik atau emosional akibat stres dengan media sosial menjadi salah satu faktor utama penyebabnya . Di Indonesia, Kementerian Kesehatan juga melaporkan peningkatan prevalensi gangguan kecemasan dan depresi di kalangan remaja berusia 15-24 tahun.

Sebuah studi yang diterbitkan dalam Computers in Human Behavior (2020) menemukan bahwa pengguna media sosial yang menghabiskan lebih dari tiga jam per hari di platform tersebut memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk mengalami gangguan tidur, stres emosional, dan kecemasan. Penelitian lain dalam Journal of Adolescence juga menegaskan bahwa media sosial berdampak negatif terhadap kesehatan mental Gen Z, terutama dalam aspek self-esteem dan perasaan terasing .

Dalam konteks ini, media sosial tidak hanya memberikan akses terhadap informasi, tetapi juga menjadi arena untuk membentuk citra diri yang sering kali tidak autentik. Gen Z yang sedang dalam proses pembentukan identitas, terpapar standar sosial yang dibentuk oleh apa yang mereka lihat di media sosial. Mereka cenderung membandingkan kehidupan mereka dengan kehidupan orang lain yang tampak lebih “sempurna” ,sehingga memicu perasaan tidak puas dan stres emosional. Ini adalah masalah sosial yang serius karena identitas pribadi yang rentan dapat dipengaruhi oleh norma-norma yang tidak realistis yang dibentuk oleh media sosial.

Peran Sosiologi dalam Menganalisis Fenomena Ini

Dari sudut pandang sosiologi, penting untuk memahami bagaimana media sosial membentuk struktur sosial baru di mana interaksi tidak lagi terjadi secara tatap muka, tetapi melalui platform digital. Erving Goffman dalam teori dramaturginya menyatakan bahwa individu berperan seperti aktor yang memainkan peran tertentu di hadapan audiens. Di media sosial, peran yang dimainkan sering kali berbeda dari kehidupan nyata. Banyak pengguna yang membentuk citra diri mereka sedemikian rupa untuk mendapatkan validasi dalam bentuk "like", "komentar", atau "follower", yang akhirnya menciptakan budaya pencitraan yang berlebihan .

Hal tersebut adalah bentuk baru dari tekanan sosial yang jauh lebih intens dibandingkan dengan apa yang dialami generasi sebelumnya. Dalam kajian sosiologi, interaksi sosial berperan penting dalam membentuk identitas dan kesehatan mental. Ketika interaksi ini beralih ke media sosial, interaksi tersebut sering kali tidak autentik dan dipenuhi oleh ilusi sosial. Individu dipaksa untuk beradaptasi dengan ekspektasi masyarakat online yang dapat menyebabkan tekanan emosional dan memengaruhi kesehatan mental secara signifikan.

Dampak Jangka Panjang

Sebuah studi yang diterbitkan dalam Psychiatry Research (2021) menemukan bahwa fenomena FOMO (Fear of Missing Out) yang banyak dialami oleh Gen Z berkaitan langsung dengan peningkatan gejala depresi dan kecemasan . Ironisnya, meskipun media sosial dirancang untuk menghubungkan orang, sering kali justru menyebabkan pengguna merasa lebih terputus dari interaksi nyata. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa pengguna media sosial yang menghabiskan lebih banyak waktu di platform digital memiliki risiko lebih tinggi untuk merasa kesepian dan terisolasi secara sosial.

Media sosial menciptakan ilusi koneksi, tetapi pada saat yang sama merusak ikatan sosial yang lebih otentik. Interaksi yang terjadi di media sosial cenderung bersifat dangkal, sering kali didasarkan pada penampilan, bukan pada hubungan yang bermakna. Ketika hubungan sosial menjadi lebih superfisial, kesehatan mental dapat terganggu karena manusia secara alami membutuhkan kedekatan emosional yang lebih dalam untuk merasa puas dan sejahtera.

Peran Kebijakan dan Edukasi Sosial

Edukasi digital perlu diterapkan secara luas, terutama di kalangan remaja dan orang tua untuk mengajarkan cara menggunakan media sosial secara sehat. Pemerintah dan lembaga pendidikan perlu menginisiasi program literasi digital yang tidak hanya mengajarkan cara menggunakan teknologi, tetapi juga bagaimana mengelola emosi dan menjaga keseimbangan antara dunia nyata dan dunia maya .

Platform media sosial juga harus bertanggung jawab dalam menciptakan lingkungan online yang sehat. Algoritma yang mendorong keterlibatan pengguna dengan menampilkan konten yang memicu FOMO atau kecemasan harus diatur lebih ketat. Media sosial bukanlah masalah itu sendiri, tetapi cara penggunaannya yang tidak terkontrol dan tanpa panduan yang jelas yang menjadi akar masalah.

Referensi

American Psychological Association. (2019). Stress in America: Generation Z. Retrieved from https://www.apa.org/news/press/releases/stress/2019/stress-america-2019.pdf

Keles, B., McCrae, N., & Grealish, A. (2020). A systematic review: The influence of social media on depression, anxiety, and psychological distress in adolescents. International Journal of Adolescence and Youth, 25(1), 79-93. https://doi.org/10.1080/02673843.2019.1590851

Hunt, M. G., Marx, R., Lipson, C., & Young, J. (2018). No More FOMO: Limiting Social Media Decreases Loneliness and Depression. Journal of Social and Clinical Psychology, 37(10), 751-768. https://doi.org/10.1521/jscp.2018.37.10.751

Twenge, J. M., & Campbell, W. K. (2018). Associations between screen time and lower psychological well-being among children and adolescents: Evidence from a population-based study. Preventive Medicine Reports, 12, 271-283. https://doi.org/10.1016/j.pmedr.2018.10.003

Valkenburg, P. M., Meier, A., & Beyens, I. (2022). Social media use and its impact on adolescent mental health: An umbrella review of the evidence. Current Opinion in Psychology, 45, 101317. https://doi.org/10.1016/j.copsyc.2022.101317

Abi-Jaoude, E., Naylor, K. T., & Pignatiello, A. (2020). Smartphones, social media use and youth mental health. CMAJ, 192(6), E136-E141. https://doi.org/10.1503/cmaj.190434

Tandon, A., Kaur, P., Dhir, A., & Mäntymäki, M. (2021). Fear of missing out (FOMO) among social media users: A systematic literature review. Technological Forecasting and Social Change, 171, 120923. https://doi.org/10.1016/j.techfore.2021.120923

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun