Mohon tunggu...
Anastasye Natanel
Anastasye Natanel Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger

pencinta olahraga dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Melihat Potensi DSP Likupang di Konferensi Internasional

22 Maret 2022   14:36 Diperbarui: 23 Maret 2022   10:24 3401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Selama 24 tahun saya hidup di Bitung---sebelum akhirnya merantau ke Tangerang---baru sekali saya ke Likupang. Itu pun saat umur saya baru 8-9 tahun. Ingatnya ada acara retreat gereja di Pantai Surabaya. 

Konon, pantai ini dianggap sebagai salah satu pantai paling bagus di Minahasa Utara. Setelahnya sampai sekarang saya belum pernah ke Likupang lagi. Tahu-tahu, tahun 2019 dengar kabar kalau Likupang masuk sebagai salah satu destinasi superprioritas (DSP), bersama dengan Danau Toba, Borobudur, Mandalika, dan Labuan Bajo.

Saya ingat betapa ramainya laman Facebook saya ketika Pantai Paal dan Pulisan mencuat sebagai dua pantai baru yang menawarkan keindahan luar biasa di Likupang.

Selama setahun, ada saja postingan teman, tetangga atau kerabat yang berkunjung ke sana. 

Memamerkan Pantai Paal yang memiliki pesisir pantai yang cantik. Hamparan pasir putih dengan lautan yang bergradasi. Pantai Pulisan yang bentuknya semenanjung dan punya padang savana yang elok. Dua lokasi ini menjadi spot foto favorit warga Sulawesi Utara sebelum pandemi membatasi ruang dan gerak.

Selama ini, Sulawesi Utara hanya identik dengan Bunaken saja, padahal beberapa lokasi, termasuk Likupang, keindahan bawah lautnya tak kalah memesona. Daya tarik pantai-pantai dengan pasir putih, savana dan juga desa ekowisata.

Berseberangan dengan Pulau Lihaga dan Pulau Gangga yang menjadi tempat snorkeling. Bahkan pantai di Likupang memiliki spesies langka penyu hijau, selain itu menjadi habitat burung maleo dan makaka hitam. Nggak salah kalau disebut sebagai The Hidden Paradise.

Dipilihnya Likupang sebagai destinasi superprioritas tentu saja memerlukan perencanaan pembangunan yang terintegrasi. Pemerintah juga perlu memaksimalkan potensi alam yang sudah ada, termasuk keanekaragaman hayatinya.

Topik inilah yang menjadi pokok bahasan dalam konferensi internasional bertajuk "Likupang, North Sulawesi: Discover the Hidden Paradise" yang digelar di Novotel Manado Golf Resort and Convention Center, pada hari Selasa, 8 Maret 2022.

Kegiatan ini diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (KEMENPAREKRAF) RI bersama dengan Harian Kompas yang berlangsung secara hybrid.

Acara dibuka dengan penampilan tarian kabasaran yang diiringi tambur. Tarian ini adalah tarian keprajuritan Minahasa. Zaman dahulu, para penari kabasaran adalah petani dan rakyat biasa. Jika Minahasa sedang berada dalam keadaan perang, maka penari kabasaran menjadi waraney.

Vanda Sarundajang, Anggota Komisi X DPR RI, mengatakan Sulawesi Utara memiliki potensi alam dan budaya yang mumpuni untuk menarik wisatawan. Tapi juga perlu dikembangkan secara profesional.

Tangkapan layar KOMANDO
Tangkapan layar KOMANDO

Di sesi pertama, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Sulawesi Utara Henry Richard Willard Kaitjily menerangkan bahwa Sulawesi Utara adalah sentral dari Indonesia's  Gateaway to Asia and Pacific. Kunjungan wisatawan mancanegara di masa pandemi pun tetap banyak.

Sayangnya, sampah masih menjadi masalah utama di Sulawesi Utara, menurut Christian Fenie, Consultant Marine Tourism. Waktu dia berkunjung ke Likupang sebelum konferensi, beberapa lokasi masih dipenuhi sampah. 

Dibuang ke darat dan sungai, lalu bermuara ke laut. Hal ini tentu saja akan merusak ekosistem laut. Padahal Indonesia berpotensi menjadi negara wisata bahari nomor satu karena laut dan taman lautnya salah satu yang terkaya di dunia. Jika masalah sampah ini bisa diselesaikan dengan baik.

Profesor Kepariwisataan Politeknik Negeri Manado Prof. Bet El Silisna Lagarense membahas sustainable tourism. Bagaimana partisipasi masyarakat, dukungan pemerintah, pemanfaatan sumber daya yang renewable dan tidak mengeksploitasi secara berlebihan berkesinambungan. Prof. Bet juga mengatakan untuk tetap respect to local culture. Walau sudah well develop karena superprioritas kultur setempat harus tetap dipertahankan.

Selain sampah, masalah krusial lainnya adalah masyarakat Sulawesi Utara masih lemah dalam hal literasi. Kurangnya pemahaman dan edukasi bahwa binatang-binatang dan satwa endemik seharusnya tidak diburu, diperjualbelikan, bahkan dikonsumsi.

Saya ingat beberapa waktu lalu di Facebook heboh jual beli daging anak yaki (macaca nigra). Yaki merupakan satwa endemik Indonesia yang hidup di pulau Sulawesi bagian utara dan beberapa pulau di sekitarnya. Spesies monyet ini sudah dikategorikan terancam punah (critically endangered). Dan tentu saja ada pasar ekstrem Tomohon yang masih menjadi kontroversi sampai sekarang. 

Selain yaki, dijual juga kucing, anjing, tikus hutan, kelelawar, dan ular. Bayangkan kalau binatang dan satwa endemik dijadikan pangan, selain punah efeknya juga mengurangi jumlah dan bentuk keberagaman sumber daya alam yang ada di Indonesia. Selain itu, kepunahan juga mengakibatkan terjadinya ekosistem yang tidak seimbang.

Prof. Bet El Silisna juga ikut mencemaskan produk kuliner. Dengan tetap berpegang pada kebiasaan dan kultur setempat bukan berarti mengabaikan bahwa ada kebiasaan-kebiasaan merugikan di sekitar yang sejatinya tidak perlu dipertahankan. Sebagaimana diketahui, mayoritas masyarakat di Sulawesi Utara memeluk agama Kristen. 

Agak tricky untuk memasarkan produk kuliner yang sebagian besar mengandung produk non halal serta ekstrem. Apalagi makanan ekstrem di Minahasa hadir karena budaya kebiasaan dari masa lampau. Butuh verifikasi khusus seperti sertifikasi halal bagi tempat makan untuk mengakomodir kebutuhan wisatawan Islam. Karena masyarakatlah yang paling diuntungkan dengan adanya DPSP. Bagaimana masyarakat bisa berpartisipasi dalam kegiatan dan proses pengembangan pariwisata jika tidak mau beradaptasi atau berubah.

Aris Prasetyo, wartawan ekspedisi Wallacea Kompas memperkenalkan kekuatan kata-kata atau narasi untuk promosi wisata yang disebut storynomics tourism. Karena semenarik apa pun suatu produk jika tidak dikomersilkan dengan narasi yang baik, selamanya tidak akan dikenal.

Sejatinya Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Likupang harus berkelanjutan, tidak boleh merusak alam. Paquita Widjaja mengungkapkan zona hutan lindung yang akan dikembangkan, dalam kondisi memprihatinkan. Lahan konservasi perlu dipertahankan kalau tidak hewan-hewan endemik akan punah.

Pemerintah perlu memikirkan bagaimana mengolah suatu daerah tanpa harus merusak dan mengganggu stabilitas ekosistem. Pemerintah juga perlu menggandeng organisasi dan komunitas lokal terkait mempromosikan DPSP Likupang agar lebih dikenal.

Segala upaya peningkatan kualitas infrastruktur dan wisata alam di Likupang belum cukup jika tidak dibarengi dengan wisata non alam. Wisata religi dan budaya banyak yang belum dieksplorasi dengan baik. 

Jenis wisata non alam di Sulawesi Utara patut untuk ditonjolkan. Ada situs purbakala seperti waruga, bangunan bersejarah, makam bersejarah, dan museum. Belum lagi banyak potensi budaya khas yang menarik untuk disajikan seperti Kuncikan/Kunci Taon, Pawai Figura, Tulude, Pengucapan Syukur, dan sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun