Hutan-hutan kita, ekosistem terbesar. Paru-paru dunia. Di mana Indonesia dikarunia banyak hutan tapi banyak juga yang sudah dirusak.Â
Mau nangis nggak sih bacanya?
Membaca berita tentang yaki yang dibunuh di hutan yang adalah rumahnya sendiri aja hati saya langsung mencelus. Belum kalau membaca maraknya pembalakan liar, penebangan skala gila, dan alih fungsi hutan menjadi lahan pemukiman, atau pertambangan. Gila. Ngeri!Â
Kerusakan-kerusakan pada hutan ini tentu dampaknya besar. Tidak hanya pada berdampak di sekitar tapi juga isi di dalamnya. Fauna dan flora yang sudah menghuni hutan jauh sebelum para manusia bermigrasi di situ. Hak mereka dirampas. Tubuh mereka dikoyak untuk kebutuhan perut. Kecantikan mereka direbut untuk pajangan di sudut rumah.Â
Seperti di dalam Hutan Tangkoko. Dahulu dipercaya hidup banyak babi rusa. Tapi sampai suatu ketika saya berkunjung ke sana, tidak ada penampakan babi rusa. Semua hanya tinggal cerita.
Bayangkan jika yaki yang sudah menjadi hewan terancam punah nasibnya benar-benar punah karena ulah manusia? Yaki hanya akan menjadi cerita dongeng layaknya babi rusa. Anak cucu tidak akan pernah melihat secara langsung wujud seekor macaca nigra di hutan tempat tinggalnya.Â
Apabila yaki akan menjadi primata dongeng di Hutan Tangkoko, lalu bagaimana dengan penghuni hutan lainnya? Tarsius, burung rangkong, maleo, dan berbagai spesies burung unik?Â
Kesadaran tiap individu itu perlu. Adanya motivasi yang kuat untuk tetap melestarikan hutan sangat berguna bagi masa depan. Agar anak cucu kelak tidak hanya mendengar hutan atau para penghuninya sebagai cerita pengantar tidur saja. Â
Jika banyak orang bisa bersatu padu menyelamatkan jiwa 13 orang di dalam gua, kenapa tidak bisa melakukan hal yang sama pada hutan yang dimiliki? Ada beribu jiwa hidup di dalamnya. Hewan dan tumbuhan juga makhluk hidup bukan?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H