Burn out, hustle culture apakah dampak dari toxic productivity yang terlalu berambisi?Â
Umurku tahun ini sudah menginjak 26 tahun. Sejak duduk di bangku Menengah, kegiatanku selama 24 jam sangat penuh. Itu dimulai dari sekolah di pagi hari, lanjut mengikuti kegiatan Ekskul ataupun bergabung dengan OSIS.Â
Sepulangnya dari sekolah tentu mengerjakan beberapa PR. Bahkan sesekali PR itu sudah aku selesaikan selama jam-jam belajar di Sekolah.Â
Ataupun jika ada Ujian esoknya, aku lebih senang belajar di Sekolah. Sungguh setibanya di rumah, aku jarang sekali belajar.Â
Makanya ibuku seringkali marah karena dia tidak pernah melihatku belajar ataupun pulang terlalu malam karena harus rapat OSIS. Tapi marahnya sirna ketika aku mendapat ranking 1 di kelas. Bagaimana caraku belajar? Ya di kelas.Â
Maaf ini bukan cerita bagaimana caraku belajar.Â
Kegiatan penuhku masih berlanjut hingga kuliah, 24/7, bahkan aku mulai merasakan 24 jam itu ternyata kurang. Selain ngampus, aku bergabung dengan UKM hingga PERS mahasiswa (Persma).Â
Bukan lagi pulang malam, aku bahkan sempat tidak pulang dan bermalam di kampus. Levelnya benar-benar berbeda dibanding SMA.Â
Bergabung di Persma aku sempat dipercayai menjadi Redaktur. Saat mulai menjabat, aku bahkan mengedit tulisan di sela-sela kuliahku berlangsung. Duduk di bangku belakang supaya tidak terlihat dosen.Â
Tulisan-tulisan yang harus aku edit dalam 1 hari lebih dari 10 tulisan. Hingga akhirnya aku dan rekan redakturku berhasil menerbitkan 450 tulisan kurang dari 1 tahun.Â