Dalam kehidupan guru tentu banyak hal yang perlu didalami. Sebagai sosok yang diguguh dan ditiru, kehidupan seorang guru menuntut kebijakasanaan dalam mengambil sikap dimanapun kapan ia berada.
Menjadi guru merupakan pilihan yang sangat bijak, tentu apabila diringi dengan panggilan jiwa yang teramat mendalam demi membaktikan dirinya untuk pendidikan. Pada era sekarang ini, gelombang penghancur moral sudah sangat terasa hingga dihulu nadi. Godaan-godaan yang kerap kali merubah karakter seseorang tidak terkecuali guru. Sebagai manusia biasa, guru tidak terlepas dari banyak godaan yang secara naluriah memiliki hasrat (desire) berlebih sering kali mencoreng nama baik “guru” sebagai jabatan termulia seantero jagat ini. Guru mengajari banyak hal, mendidik kita untuk mengetahui dan memahami mana yang baik dan yang tidak baik sehingga kita dapat dewasa dalam mengambil keputusan. Emas yang indah dibentuk oleh intan yang berkualitas sehingga didapat bentuk sesuai dengan apa yang diharapkan, kira-kira begitulah analogi untuk menggambarkan tuntutan guru yang harus sempurna.
Sifat yang sekarang ini penulis rasa merupakan salahsatu yang menjauhkan guru dari sifat ke-guru-an ialah kemunafikan. Dimana banyak guru yang didepan bertutur dan bersikap didepan muridnya baik, santun, dan penuh dengan kasih sayang ternyata dikehidupan sosialnya sangat memalukan dan tidak dapat menjaga title yang ia sandang sebagai guru. Bahkan ada yang sudah terpengaruh oleh nafsu setan sehingga merusak murid-muridnya. Penulis akui bahwa ujian menjadi sangat berat namun hal ini tidak boleh menjadi suatu alasan bahwa guru adalah dapat melakukan hal-hal yang bersifat imoril karena hal tersebut berimplikasi pada output yang dihasilkan dari pengajaran guru terhadap murid. Mungkin pepatah yang tepat untuk menggambarkan hal tersebut ialah “gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga”.
Penulis berbicara bukan sebagai orang yang tidak memiliki kemunafikan akan tetapi perlu dicatat bahwa guru harus hadir sebagai pembuka mata murid-muridnya soal keduniawian. Dimana guru sebagai pendidik harus mampu mendeskripsikan benar dan salah secara konkrit dengan memberikan konsekuensi dan dampak dari penjelasan mengenai benar dan salah kepada muridnya sehingga pilihan terhadap jalan mana yang dipilih oleh murid kembali pada anak itu sendiri. Tentu untuk mengetahui dan memahami itu semua guru harus sudah melewati masa tersebut, artinya guru sudah merasakan yang disebut baik dan apa yang disebut tidak baik. Bukan berarti penulis mengarahkan pada ketidakbaikan yang harus dilakukan oleh guru namun hal ini dapat dijadikan sebuah pengalaman dan titik balik bahwa yang baik itu bagus untuk kita dan yang buruk itu jelek untuk kita sehingga pemaknaan sebagai guru menjadi lebih mendalam apabila sudah mampu melewati fase tersebut.
Guru yang munafik menjadikan “guru abu-abu” artinya segala bentuk didikan yang diajarkan hanya sebatas dimulut namun guru tersebut masih memiliki hasrat untuk melakukan keburukan, masih ingin berbuat hal yang telah ia sebutkan sehingga larangan tersebut tidaklah keluar dengan keyakinan namun hanya sekedar formalitas saja. Kalau sudah seperti itu untuk apa jadi guru, guru yang dituntut bijaksana hanya bentuk dari kepura-puraan, kepalsuan yang terpaksa dilakukan hanya karena terpaksa menjadi guru.
Guru haruslah terrlepas dari ketergantungan dirinya dari kebahagian duniawi, artinya sosok guru tidak dapat dipengaruhi oleh godaan-godaan yang membuat sifat ke-guru-an yang harus ditanam dan menjadi prinsip melekat pada diri sang guru. Guru harus mampu menjadi orang yang bijaksana yang menyadari bahwa keburukan dan kebaikan adalah bentuk harmonisasi kehidupan yang harus disikapi secara arif dan bijaksana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H