Indonesia dalam beberapa tahun terakhir dihadapi dengan tren "Chilfree" yang dilakukan oleh orang-orang yang sudah menikah atau bahkan yang belum menikah. Istilah Childfree sudah ada sejak abad akhir ke-20. Namun di Indonesia, istilah Childfree mulai diketahui oleh masyarakat Indonesia setelah pernyataan dari seorang influencer di akun media sosialnya yang menyatakan dirinya menganut Childfree (menikah tanpa memiliki anak) dalam pernikahannya (Haecal, Fikra, & Darmalaksana, 2022).Â
Istilah Childfree juga mulai menjadi pembahasan orang-orang di media sosial sejak pasangan influencer Gitasav dan Paul mengumumkan secara terbuka bahwa mereka memilih untuk tidak memiliki anak. Kajian terkait dengan keputusan Childfree ini sudah cukup banyak dikaji dalam berbagai perspektif. Menurut Bimha dan Chadwik (2016), Childfree adalah keinginan, rencana, atau keputusan untuk tidak memiliki anak. Pengertian lain dari Sapinatunajah, Hermansyah, dan Nasichah (2022), Childfree adalah keputusan untuk tidak memiliki anak pada pasangan yang menikah. Hal ini mencakup untuk tidak memilih untuk hamil atau tidak ada rencana untuk mengadopsi anak. Istilah Childfree telah berkembang sejak akhir abad ke-20 dengan anggapan bahwa keputusan untuk memiliki anak adalah subjektif merupakan bagian dari hak asasi manusia (Corneliia, dkk 2022).
Namun, Childfree yang seharusnya disepakati oleh pasangan suami-istri yang sudah menikah, kini menjadi keputusan sepihak diakibatkan tren dari media sosial. Generasi milenial dan generasi Z di Indonesia sudah banyak yang mengambil keputusan untuk tidak akan memiliki anak setelah menikah.Â
Hal ini diakibatkan banyaknya pasangan yang telah menikah membagikan kesulitan-kesulitan yang mereka alami setelah mereka. Selain itu banyak berita yang tersebar di media sosial yang membuat para generasi milenial dan generasi z memutuskan untuk tidak memiliki anak walau belum menikah. Hal ini dapat dilihat dalam akun twitter @convomf pada 13/04/23 yang menyatakan bahwa "Abis confess ke keluarga kalo aku nanti ga pengen punya anak...." selain itu akun twitter @sepertisore pada 08/04/23 juga mengungkapkan bahwa "Klo temenku, semua (tmn sd-kuliah) keknya udah tau aku mau Childfree, sering posting soal itu soalnya".Â
Adapun beberapa orang yang sudah menyatakan kepada orang tua dan keluarga mereka bahwa mereka memilih untuk tidak memiliki anak ketika mereka sudah menikah. Hal ini memicu pandangan negatif dari orang lain dikarenakan seharusnya keputusan untuk tidak memiliki anak harus didiskusikan dengan pasangan dahulu, bukan orang tua maupun keluarga.
Apa yang menyebabkan seseorang atau pasangan memutuskan untuk Childfree?
Nuroh dan Sulhan (2022) menyebutkan terdapat lima alasan mengapa seseorang atau pasangan suami istri memutuskan untuk Childfree, diantaranya adalah: (1) Faktor Ekonomi, individu atau pasangan yang memilih untuk Childfree merasa tidak mampu dan khawatir untuk tidak dapat membiayai kehidupan anaknya di kemudian hari, (2) Faktor Mental, menjadi orang tua membutuhkan kesiapan mental yang matang, (3) Faktor Pribadi dan Pengalaman Pribadi, hal ini mencakup pasangan yang tidak menyukai anak- anak atau memilih untuk fokus dalam karirnya, (4) Faktor Budaya, agar pasangan yang sudah menikah tidak mendapatkan pertanyaan-pertanyaan terkait dengan anaknya dalam suatu lingkup budaya, (5) Kelebihan Populasi, banyak individu atau pasangan yang yang memilih untuk tidak menikah diakibatkan kesadaran akan populasi manusia di bumi yang semakin banyak dan untuk menstabilkan populasi tersebut, maka individu atau pasangan tersebut memilih untuk tidak memiliki anak atau Childfree.
Apakah keputusan ini memiliki dampak terhadap lingkup keluarga bahkan lingkup negara?
Di Indonesia, walaupun sudah banyak dibicarakan, keputusan Childfree masih dianggap tabu. Keputusan Childfree dianggap kontradiktif apabila dilihat dari pandangan keluhuran budaya masyarakat Indonesia yang percaya bahwa memiliki anak akan mendatangkan rezeki, seperti yang tergambar dalam pepatah masyarakat "Banyak anak banyak rejeki" (Nuroh dan Sulhan, 2022). National Survey of Family Growth melaporkan 15% wanita dan 24% laki-laki memutuskan untuk tidak memiliki anak (Daniels & Abma, 2017).Â
General Social Survey (GSS) juga melakukan pada tahun 2001 mengungkap bahwa 7% orang di Kanada berusia 20-34 tahun, mewakili 434.000 orang menyatakan berniat tidak memiliki anak. Sementara itu, 4% dari orang- orang di Kanada menyatakan bahwa pernikahan merupakan hal yang penting. Namun, mereka tidak memiliki ketertarikan atau keinginan untuk memiliki anak (Khasanah & Ridho, 2021). Penelitian lain yang dilakukan oleh Childlessness in the Unites States menyebutkan bahwa keputusan untuk tidak memiliki anak meningkat sebesar 20% pada tahun 2000-an (Damayanti, Refiana, & Nuary, 2022). Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin banyak orang yang memutuskan untuk tidak memiliki anak atau Childfree.
Referensi:
Bimha, P. Z. J., & Chadwick, R. (2016). Making the childfree choice: Perspectives of women living in South Africa. Journal of Psychology in Africa, 26(5), 449-- 456. http://dx.doi.org/10.1080/14330237.2016.1208952
Cornellia, Verina., Sugianto, Natasya., Glori, Natallia., Theresia, Michel., Pradita. (2022). Fenomena childfree dalam perspektif utilitarianisme dan eksistensialisme. Praxis: Jurnal Filsafat Terapan. https://journal.forikami.com/index.php/praxis/article/view/32
Daniels, K., & Abma, J. C. (2017). NCHS data brief, number 388, October 2020. National surveyof family growth, 388, 2017--2019. https://www.cdc.gov/nchs/products/index.htm.
Haecal, I. F., Fikra, H., & Darmalaksana, W. (2022). Analisis fenomena childfree di masyarakat: studi takhrij dan syarah hadis dengan pendekatan hukum islam. Gunung djati conference series, 8, 73--92. https://conferences.uinsgd.ac.id/gdcs.
Khasanah, U., & Ridho, M. R. (2021). Childfree perspektif hak reproduksi perempuan dalam islam. Al-Syakhsiyyah: journal of law & family studies, 3(2), 104--128. https://doi.org/10.21154/syakhsiyyah.v3i2.3454