Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa yang terjadi di Indonesia pada 13 Mei--15 Mei 1998, khususnya di Ibu Kota Jakarta namun juga terjadi di beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998. Hal inipun mengakibatkan penurunan jabatan Presiden Soeharto, serta pelantikan B. J. Habibie.
Penyebab utama yang memicu huru-hara ini ialah krisis finansial yang terjadi di kawasan Asia. Kerusuhan yang terjadi merupakan hasil dari kumpulan peristiwa politik, sosial dan ekonomi yang terjadi di masa orde baru. Rezim Suharto "Orde Baru", yang telah bertahan selama 30 tahun, rusak parah oleh korupsi yang merajalela dan ketidakmampuannya untuk menjaga stabilitas ekonomi. Munculnya keresahan atas ketimpangan dalam tatanan pemerintahan Soeharto dan Keresahan ini membuat sejumlah elemen masyarakat bersatu menyuarakan reformasi.
Krisis ekonomi yang tengah terjadi kemudian memicu rangkaian aksi unjuk rasa di sejumlah wilayah di Indonesia. Dalam unjuk rasa tersebut, ada empat korban jiwa yang tewas tertembak. Mereka adalah mahasiswa Universitas Trisakti. Tewasnya keempat mahasiswa tersebut pun menambah kemarahan masyarakat yang saat itu sudah terbebani dengan krisis ekonomi.
Untuk jumlah korban jiwa di Jakarta, TGPF mengungkapkan data versi Tim Relawan yaitu jumlah korban meninggal setidaknya 1.217 jiwa (1.190 akibat terbakar atau dibakar dan 27 lainnya akibat senjata atau dan lainnya), dan 91 luka-luka; sedangkan di kota-kota di luar Jakarta, 33 meninggal dunia, dan 74 luka-luka.
Dalam Peristiwa Mei 1998 ini terjadi kekerasan bahkan pemerkosaan massal, perusakan fasilistas publik, amukan massa, dan contohnya seorang aktivis relawan kemanusiaan yang bernama Ita Martadinata Haryono, yang masih seorang siswi SMU berusia 18 tahun, juga diperkosa, disiksa, dan dibunuh karena aktivitasnya. Juga peristiwa Tewasnya keempat mahasiswa Universitas Trisakti yang akhirnya menambah kemarahan masyarakat yang saat itu sudah terbebani dengan krisis ekonomi.Â
Dari segala kerusuhan yang terjadi selama peristiwa kerusuhan Mei 1998 dan juga data jumlah korban akibat kerusuhan ini. Kerusuhan Mei 1998 merupakan konflik yang berwujud kekerasan dikarenakan kerusuhan merupakan peristiwa di mana massa (sekelompok besar orang) melakukan pengacauan, Perusakan, dan berbagai kegiatan buruk lainnya yang memicu untuk melakukan Tindakan kekerasan, biasanya sebagai tindak balas terhadap perlakuan yang dianggap tidak adil ataupun sebagai upaya penentangan terhadap sesuatu.
Kerusuhan Mei 1998 ini yang merupakan konflik berwujud kekerasan mempunyai sisi positif lainnya yaitu, masyarakat berharap aksi demonstrasinya bisa menjadi sumber perubahan melalui reformasi, evaluasi perbaikan kebijakan dalam masa pemerintahan Soeharto yang menimbulkan banyak keresahan bagi masyarakat pada masa itu, juga Perbaikan kehidupan untuk sistem dan stabilitas negara Indonesia kedepannya. Selain itu, kerusuhan ini yang menyebabkan konflik terjadi secara sempit, karena kegiatan kolektif yang diarahkan untuk menentang kebijakan umum dan pelaksanaannya, juga perilaku penguasa.Â
Dikaitkan dengan puncak ketidakpuasan dan kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah terjadi dengan pecahnya kerusuhan  dan aksi Persetujuan warga masyarakat dalam penurunan jabatan Soeharto dalam pemerintahan.
Penyebab kerusuhan Mei 1998:
- Pertentangan kepentingan dari kebijakan Soeharto dalam pemerintahannya
- pada masa itu
- Kesenjangan distribusi kekayaan ekonomi dan Krisis finansial yang memicu kerusuhan dan peristiwa rasial terhadap etnis Tionghoa,
- Terdapat pihak yang merasa diperlakukan tidak adil, Kegagalan pemerintah Orde Baru mengantisipasi krisis ekonomi membuat kepercayaan masyarakat hilang. Saat itu sebagian besar rakyat semakin sulit menghadapi tekanan ekonomi dan semakin menyadari ketimpangan ekonomi yang berpihak pada satu kelompok saja. Pemerataan dan keadilan dinilai belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat
Tipe konflik dalam Kerusuhan Mei 1998 termasuk dalam tipe konflik negatif, karena merupakan konflik yang dapat mengancam eksistensi sistem politik (disalurkan melalui cara-cara nonkonstitusional), seperti kudeta, separatisme, terorisme, dan revolusi. Dilihat dari cara - cara yang dilakukan selama peristiwa tersebut yang menggunakan kekerasan, kerusuhan, Tindakan illegal, dan lain sebagainya.
Struktur yang terjadi dalam konflik kerusuhan ini adalah menang-kalah (zero-sum conflict) karena segala unjuk rasa, aksi demonstrasi, pengajuan reformasi yang dilakukan masyarakat adalah bertujuan untuk menang dalam artian memenuhi harapan dan mengikuti persetujuaan dari suuara rakyatnya, mendapatkan kebijakan yang sesuai dalam mengatasi ketidakstabilan ekonomi dan kondisi yang tidak diinginkan dalam kegagalam masa orde baru yang dilaksanakan oleh pemerintahan Soeharto.Â
Mengharapkan dan meminta Soeharto untuk turun jabatan  karena masyarakat sudah berada pada puncak ketidakpuasan dan kekecewaan terhadap pemerintah yang akhirnya membuat Soeharto kalah dan terdapat kegagalan dalam melaksanakan sistem masa orde barunya.
Selain itu, tujuan konfik dari peristiwa ini mendapatkan sumber-sumber kekuasaan dan kebijakan yang adil untuk menyelesaikan masalah pada masa itu, terutama pada sumber-sumber kekuasaan non-material (jabatan, status sosial) yang dibutuhkan dan memiliki peran dalam negara.Â
Tujuan konflik ini juga termasuk dalam kategori tujuan dengan pihak-pihak yang berkonflik sama-sama berupaya mendapatkan, karena niat dan rencana masyarakat untuk unuk rasa kepada pemerintah dan lembaga lainnya adalah untuk mendapatkan kebijakan sesuai dari pemerintah dan pihak negara dan solusi untuk masalah yang dialaminya saat itu, jadi pemerintah juga harusnya berupaya besar dalam menyelesaikan masalahnya dan mencapai kesejehatreaan negaranya juga dengan tujuan bersama menciptakan keberhasilan dalam masa orde baru dengan bantuan para masyarakatnya.
Intensitas konflik lebih merujuk pada besarnya energi (ongkos) yang dikeluarkan, dan tingkat keterlibatan kontestan dalam konflik. Konflik yang intens tidak selalu sama artinya dengan konflik yang mengandung kekerasan.
Terdapat 2 Faktor intensitas konflik, yaitu
a) Eksternal (kondisi organisasi, stratifikasi sosial, kelas, dan kemungkinan perubahan status);
b) Internal (sumber-sumber yang diperebutkan, risiko yang muncul)
Dari faktor yang terdapat, maka Peristiwa kerusuhan Mei 1998 disebabkan faktor eksternal dalam segi intensitas konfliknya, disebabkan terjadinya perubahan drastic dan dampak yang luas bagi masyarakatnya dari kondisi sistem pemerintahan masa orde baru yang gagal dan terjadinya kesenjangan ekonomi yang berpihak pada satu kelompok saja dan adanya juga harapan perubahan jabatan dalam pemerintahan masa itu.
Atas kejadian tersebut, Pemerintah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Mereka menemukan fakta bahwa kerusuhan tersebut diduga mengakibatkan lebih dari seribu orang meninggal. Disebutkan para korban ada yang terjebak dalam bangunan yang dibakar, ratusan luka-luka, penculikan, hingga pemerkosaan.
Salah satu rekomendasi dari TGPF yang ditindaklanjuti adalah Komnas HAM membentuk Tim Penyelidikan Pro-Justicia dugaan pelanggaran HAM yang berat. Pada 2003, Tim Penyelidikan Komnas HAM menyimpulkan adanya bukti yang cukup atas dugaan telah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pelapor Khusus PBB untuk kebenaran, keadilan dan reparasi telah menyatakan bahwa kewajiban negara untuk menginvestigasi dan menghukum pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kewajiban yang ditegaskan dalam hukum kebiasaan internasional. Komite HAM PBB juga menyatakan bahwa kewajiban tersebut merupakan turunan dari hak atas ganti rugi yang efektif (effective remedy) dalam Pasal 2 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
Dalam usaha penyelesaian konflik yang melalui pembentukan TGPF, pansus, KPP HAM dan lain sebagainya dari pihak Lembaga pemerintahan, maka bentuk pengaturan konflik dalam kasus peristiwa ini mengacu pada teori Ralf Dahrendorf (1959) yang mencakup 3 bentuk pengaturan konflik :
Konsiliasi, yaitu Diskusi dan berdebat secara terbuka untuk mencapai kesepakatan, tanpa ada pihak yang memonopoli dan memaksakan kehendak, yang kedua Mediasi yang dimana Pihak-pihak berkonflik sepakat untuk mencari nasihat dari penengah (mediator), namun tidak bersifat mengikat, dan arbitrasi yang menjadi salah satu cara pengaturan konflik pada kaus peristiwa ini, yaitu dimana kedua pihak sepakat untuk mendapatkan keputusan akhir (yang bersifat legal/mengikat) sebagai jalan keluar konflik dengan menggunakan pihak ketiga sebagai arbitrator (pengadilan atau lembaga lain).
Pengaturan konflik melalui arbitrasi dalam kasus ini adalah melakukan pembentukan lembaga atau tim penyelesaian khusus dengan saran dan kesepakatan dari kedua belah pihak dan untuk mendapatkan keputusan akhir yang bersifat legal, jadi dalam kasus ini menggunakan pihak lain karena terbentuknya lembaga dan tim baru untuk menyelesaikan kasus dan melanjutkan ke pengadilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H