Mohon tunggu...
Nazla Mahira
Nazla Mahira Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Jurnalistik di Universitas Padjadjaran

A considerate Journalism student who loves social activity. Currently have an interest in photography, communication, writing, calligraphy, and music. Loves to try a new thing and learn from past experiences.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perselisihan Opang dan Ojol yang Tidak Berujung

4 Januari 2023   09:12 Diperbarui: 4 Januari 2023   09:18 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Merasakan masuknya era digital dengan begitu cepat memang membuat beberapa orang menjadi kesulitan. Banyak orang yang cukup kaget atas banyaknya perubahan yang mereka alami, tidak terkecuali mereka yang berprofesi sebagai tukang ojek pangkalan.

Ojek pangkalan atau biasa disebut dengan opang ini merupakan salah satu dari sekian banyak kelompok yang menjadi korban dari banyaknya aspek-aspek kehidupan yang berubah semenjak Indonesia memasuki era digital. Para opang yang dahulu dengan leluasa menunggu calon-calon penumpang di tempat pangkalannya, kini harus pintar-pintar bersaing dengan para ojek online (ojol) yang sudah banyak bermunculan.

Dilansir dari merdeka.com Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LDUI) mengatakan bahwa selama masa pandemi yaitu tahun 2021, pengemudi Gojek telah mengalami peningkatan sebesar 24 persen dibandingkan tahun 2020, yang berarti jumlah pengemudi Gojek saat itu mencapai 2,6 juta orang.

2,6 juta orang yang disebutkan tadi baru berasal dari satu perusahaan saja, belum ditambah perusahaan jasa ojek online lainnya seperti Grab, inDriver, Maxim, dan masih banyak lagi. Dikutip dari kumparanTech, pada bulan April tahun 2020 Igun Wicaksono, Ketua Presidium Nasional Garda (Gabungan Aksi Dua Roda) Indonesia mengestimasikan ada sekitar empat juta driver yang ada di Indonesia.

Dari data-data di atas bisa dibayangkan betapa 'kaget'nya para opang ini dengan kemunculan para ojol yang cukup masif terutama pada tiga tahun ke belakang ini. Sayangnya, respon yang mereka berikan terkadang kurang baik dan malah merugikan para pelanggan mereka dengan sikapnya yang semena-mena. Mulai dari tiba-tiba membatasi daerah-daerah tertentu dari ojol, memaksa penumpang turun dari ojol, bahkan ada yang sampai menghadang ojol ketika akan menjemput atau mengantar penumpang ke tujuan.

Hal-hal yang disebutkan di atas terjadi juga di daerah Jatinangor. Beberapa mahasiswa mengaku pernah menjadi saksi mata atas kasus perselisihan opang dan ojol. Ada yang pernah diturunkan jauh dari lokasi tujuan oleh ojol yang merasa takut memasuki "daerah kekuasaan" opang, ada juga yang diadang oleh opang di tengah jalan dan disuruh turun untuk pindah ojek, dan ada juga yang sedang terburu-buru untuk pergi namun pesanannya berkali-kali di-cancel oleh ojol karena daerahnya yang dikuasai opang.

Kejadian tak menyenangkan perihal ojol VS opang ini juga pernah saya alami sendiri. Ketika pulang menggunakan jasa ojol pada malam hari, driver ojol yang saya tumpangi bertanya kepada saya apakah ada jalan lain untuk bisa sampai ke tempat tujuan, karena ternyata di belokan ada spanduk yang bertuliskan "OJEK ONLINE DILARANG MASUK." Saya pun bingung karena sebagai pendatang di Jatinangor saya tidak begitu tahu jalan di daerah sana.

Kami pun cukup lama berputar-putar mencari jalan lain bermodalkan Google Maps. sampai akhirnya kami memutuskan bertanya ke penjual nasi goreng di pinggir jalan, dan ia mengatakan boleh saja masuk ke sana asal tidak memakai atribut ojol (seperti jaket dan juga helm bertuliskan nama perusahaan). Kami pun kembali ke jalan semula setelah melepas semua atribut perusahaan ojol yang sebelumnya dipakai.

Kejadian seperti ini sebenarnya sangat menjengkelkan dan merugikan baik penumpang maupun pengendara. Bagi penumpang, kita dirugikan dari segi waktu yang dihabiskan dengan berputar-putar mencari jalan alternatif lain. Sedangkan bagi pengendara selain rugi waktu, ia juga dirugikan dari segi tenaga dan juga biaya bahan bakar kendaraan yang dipakai berputar-putar tadi.

Sebenarnya tidak banyak yang bisa dilakukan untuk melerai opang dan ojol. Tidak mungkin kita memaksa menghentikan ojol yang semakin hari semakin banyak jumlahnya, tidak mungkin juga untuk memaksa para opang untuk menjadi ojol karena banyaknya hal yang mereka pertimbangkan, terutama soal pengetahuan mereka tentang teknologi dan juga keterbatasan handphone yang pasti dibutuhkan untuk dapat bergabung menjadi mitra perusahaan-perusahaan ojol yang ada.

Pada akhirnya ojol dan opang akan terus bersaing satu sama lain, ada yang membuat perjanjian tak tertulis mengenai daerah-daerah tertentu, ada juga yang hingga saat ini para ojol masih sembunyi-sembunyi layaknya bermain petak umpet dengan para opang karena dibatasinya persebaran mereka di beberapa daerah tertentu.

Sebagai penumpang tentu yang kita inginkan hanyalah keleluasaan dalam menggunakan kendaraan mana saja. Tanpa ada drama dihalangi, diturunkan tidak sesuai dengan titik, dan kasus serupa lainnya yang merugikan kita. Bukankah akan lebih baik jika opang dan ojol bersaing secara sehat tanpa harus ada kejadian-kejadian yang membuat konsumen tidak nyaman?

Terkadang para opang sendiri tidak sadar bahwa apa yang mereka lakukan sebagai bentuk kekecewaan mereka terhadap cepatnya perubahan era digital ini malah membuat para konsumen semakin enggan menggunakan jasa mereka. Terlepas dari banyaknya kemudahan yang disediakan oleh para ojol, image para opang sendiri kian memburuk karena adanya kasus-kasus pembatasan wilayah dan juga kasus menghalangi ojol yang melewati wilayah mereka.

Konsumen yang tadinya biasa saja menggunakan opang seringkali menjadi takut akan menerima perlakuan tidak enak dari opang karena banyaknya kasus yang terjadi. Opang akhirnya memiliki stereotip 'pemaksa' dan juga 'pemarah' menjadi sepi pelanggan karena kalah dengan ojol yang menawarkan berbagai layanan untuk memudahkan konsumennya. Mulai dari kemudahan bertransaksi, kesepakatan tarif ongkos, keamanan, hingga jaminan pelayanan yang memuaskan langsung dari perusahaan ojol tersebut.

Para penumpang tentu akan sangat mengerti keadaan para opang dan ojol yang sama-sama sedang mencari nafkah. Kami juga tidak keberatan untuk menggunakan ojol ataupun opang, toh sama saja bukan yang penting kami bisa sampai tujuan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun