Syalimah dan Zamzami berjumpa waktu pengajian ketika mereka masih remaja. Zamzami yang pemalu, begitu pula Syalimah, menyimpan rasa suka diam-diam. Zamzami tak pernah berani mengatakan maksud hatinya, dan Syalimah takut menempatkan diri pada satu keadaan sehingga lelaki lugu itu dapat mendekatinya.
Namun, lirikan curi-curi ditengah keramaian itu kian hari tak tertahankan. Zamzami mengurangi kecepatannya menambah juz mengaji, padahal ia membaca Al-quran lebih baik dari ia membaca huruf Latin. Tujuannya agar makin lama dapat berada di dalam kelas yang sama dengan Syalimah. Berulang kali ditanyakannya pada ustaz hal-hal yang ia sudah tahu. Dibentak bebal, ia tersenyum sambil menduduk. Adapun Syalimah, berpura-pura bodoh membaca tajwid, dimarahi ustaz, biarlah. Maksudnya serupa dengan maksud Zamzami. Semua taktik yang merugikan diri sendiri itu, jika boleh disebut dengan satu sakat, itulah cinta.
Sungguh indah, atas saran ustaz lantaran mencium gelagat yang tak beres antara dua murid mengaji yang tak tahu cara mengungkap cinta itu, mereka malah dijodohkan.
Sejak mengenal Zamzami, Syalimah tahu ia akan bahagia hidup bersama lelaki itu, meski, ia juga mafhum, ada satu hal yang harus selalu ia hindari: minta dibelikan apa pun. Sebab lelaki baik hati yang dicintainya itu hanyalah lelaki miskin yang berasal dari keluarga pendulang timah. Sebaliknya, Syalimah tak perlu dibelikan harta benda. Ia telah punya Zamzami dan itu lebih dari cukup. Zamzami adalah hartanya yang paling berharga, melebihi segalanya. Lelaki itu amat penyayang pada keluarga sehingga Syalimah tak memerlukan apa pun lagi di dunia ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H