Mohon tunggu...
Nazhif DzakyThaheer
Nazhif DzakyThaheer Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Film Dokumenter Horor yang Horornya Melebihi Film Horor

14 Juli 2021   23:21 Diperbarui: 14 Juli 2021   23:30 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Apa yang kalian pikirkan tentang kalimat The Social Dilemma? Mungkin ada yang berpikiran kalimat tersebut sebuah gambaran dari suatu kondisi atau situasi sulit dan membingungkan yang muncul sebuah masalah pada keadaan sosial.

Ya, memang benar seperti itu. Kalimat tersebut adalah sebuah judul film yang rilis pada tahun 2020 di Netflix. The Social Dilemma merupakan film dokumenter yang di sutradarai oleh Jeff Orlowski. Segera setelah dirilis di Netfilx, film tersebut sangat ramai diperbincangkan di dunia maya.

The Social Dilemma merupakan film dokumenter yang sangat penting di zaman ini. Mengapa film tersebut penting? Karena film tersebut mengupas dampak-dampak negatif dari penggunaan media sosial, serta menjelaskan ada yang keliru dari cara kerja media sosial. Bahwa sebelumnya, teknologi hanya menunggu kita untuk menggunakannya, layaknya sepeda, dia diam sampai kita menggunakannya. Di zaman ini, media sosial menuntut kita untuk terus menggunakannya. Ini merupakan ekosistem media sosial yang sudah sangat berbeda dari sebelumnya.

Film The Social Dilemma ini semakin menarik dengan mewawancarai langsung berbagai sumber terpercaya yang juga merupakan sosok dibalik suksesnya media sosial seperti Google, Facebook, Instagram, Twitter, Mozilla Labs, dan juga media sosial lainnya. Selain itu, film ini juga menampilkan beberapa cuplikan ilustrasi yang tentunya akan membuat penonton semakin mudah untuk memahami pesan dalam film tersebut.

Secara garis besar, film ini mengupas tuntas bagaimana media sosial mengubah hidup manusia yang mana akan berbahaya pada manusia, dan yang lebih parah adalah akan membawa kehancuran manusia dengan kemajuan teknologi.

Masuk lebih lanjut, kita dapat mengambil beberapa pesan dari film ini sebagai berikut:

 Media Sosial Sebagai Tempat Penyebaran Berita Palsu (Fake News) dan Propaganda

Beberapa tahun kebelakang ini, berita palsu atau biasa disebut hoax mulai bertebaran pada sosial media. Hal tersebut digunakan untuk membuat kekacauan di dunia maya maupun pada kehidupan sosial yang nyata.

Masih segar dalam ingatan kita bagaimana pembersihan etnis Muslim Rohingya. Pembantaian, pembunuhan, pemerkosaan, serta pembakaran massal pemukiman etnis Muslim Rohingya. Para tantara yang melakukan pembantaian tersebut mendapatkan perintah eksekusi dari Pejabat Militer setempat, selain itu juga membuat kuburan massal yang berada di dekat pangkalan militer.

Hal tersebut tidak bisa terlepas dari informasi yang beredar dalam media sosial, dan kemudian dikelola oleh negara tersebut. Dalam film ini juga dijelaskan bagaimana kedekatan antara masyarakat Myanmar dengan media sosial yaitu Facebook. Oleh karena itu, kebenaran yang ada di internet dengan informasi yang ada di Facebook menjadi sinonim.

Pemerintahan junta militer Myanmar memanfaatkan Facebook sebagai tempat sekaligus senjata untuk melakukan narasi-narasi propaganda. Para pelaku propaganda memanfaat Facebook untuk memanipulasi opini publik serta menyebarkan narasi kebencian terhadap Muslim Rohingya.

Dengan begitu, narasi yang bersifat manipulatif tersebut akan memicu kemarahan pada pihak-pihak tertentu yang berujung untuk melakukan kejahatan. Oleh karena itu, semua tindak kejahatan yang dilakukan terhadap Muslim Rohingya akan dianggap wajar atau mungkin memang seharusnya seperti itu.

Fitur-fitur yang dimiliki Facebook memudahkan para pelaku propaganda untuk melakukan serta menyebarkan narasi-narasi manipulatif untuk propaganda. Akibat dari berita palsu yang bertebaran di Facebook, membuat jurang polarisasi di tengah masyarakat semakin lebar dan dalam yang bisa bermuara kepada kehancuran manusia.

Media Sosial Menjual Perhatian Kita Untuk Mendapat Keuntungan

Tak bisa dipungkiri bahwa media sosial telah memberikan manfaat yang amat banyak, seperti kemudahan untuk melakukan komunikasi dan mencari informasi.  Bagaimana tidak? Media sosial dapat menghubungkan seseorang yang berada di bagian belahan bumi lain untuk saling berkomunikasi dan bertukar informasi. Dengan media sosial pula kita dapat membangun relasi dengan sesama penggunanya.

Tapi, pernah nggak sih kita berpikir bagaimana media sosial mendapatkan uang dari layanan yang disediakannya? Dengan layanan yang bermanfaat dari media sosial, selama ini kita menggunakannya tanpa mengeluarkan biaya alias gratis. Kita tidak perlu membayar layanan dari media sosial. Cukup bermodalkan dengan kuota internet sih sebenarnya, dan itu pun dibelinya dengan uang. Hehehe. Tapi, cukup dengan kuota internet saja, kita bisa berselancar dan pergi ke belahan bumi mana saja. Luar biasa bukan?

Jadi, pernah nggak kepikiran media sosial dapat uang darimana? Dalam film ini dijelaskan bagaimana media sosial mendapatkan pundi-pundi uang dan menjadikannya perusahaan terkaya di sepanjang sejarah kemanusiaan.

Selama ini, banyak yang tidak kita sadari bahwa layanan yang kita gunakan dalam sosial media itu gratis, tapi nyatanya tidak. Semua layanan yang kita gunakan dalam media sosial itu dibayar oleh pengiklan. Untuk apa pengiklan membayar itu kepada media sosial? Agar iklan yang dipasang dapat ditampilkan dalam media sosial.

Bagaimana media sosial mendapatkan uang dari pengiklan tersebut? Apakah dengan menjual data kita kepada pengiklan? Sederhananya, selama kita berselancar di internet dan media sosial, kita pasti akan mencari hal-hal apa saja yang kita sukai. Dari situ, kita pasti akan terpaku dan banyak menghabiskan waktu di depan layar untuk melihat hal-hal yang kita sukai pada media sosial. Dari situlah terbentuk perhatian kita tentang sesuatu yang ada di media sosial, kemudian media sosial menjual perhatian kita kepada pengiklan.

Semakin lama kita berselancar di media sosial, semakin lama kita terpaku pada layar media sosial, semakin banyak pula perhatian kita yang disimpan oleh media sosial. Media sosial tahu apa saja yang kita sukai dan apa saja yang tidak kita sukai. Perhatian kita yang kita sukai itulah yang dijual kepada pengiklan. Perhatian kitalah yang menjadi produk dari media sosial yang dijual kepada pengiklan.

Ada satu kutipan yang saya sukai dari salah satu narasumber dalam film tersebut, "If you're not paying the product, then you the product" (Jika kau tak membayar produknya, berarti kaulah produknya), Tristan Harris, Mantan Pakar Etika Desain Google.

Algoritma Media Sosial yang Menyihir

Pernah nggak sih berpikir kalau setiap kegiatan kita ini di internet dan di media sosial dipantau atau diawasi?

Dalam film The Social Dilemma ini dijelaskan bagaimana setiap tindakan kita ini diawasi oleh orang-orang yang bekerja dibalik suksesnya media sosial tersebut. Contohnya ketika kita melihat sebuah postingan atau konten di media sosial, kita menyukai konten seperti apa, berapa lama waktu yang kita habiskan untuk melihat konten tersebut, memberi komentar, membagikan postingan. Setiap kegiatan yang kita lakukan itu diawasi dan direkam dengan hati-hati kemudian diukur yang bertujuan untuk dijual kepada pengiklan.

Perusahaan teknologi tahu apa saja yang kita lakukan dan perbuat di media sosial. Tahu suasana hati kita, entah itu senang, sedih, kesepian, depresi, mereka semua tahu. Bahkan sampai kepribadian kita introvert atau ekstrovert pun tahu. Mereka lebih tahu diri kita daripada kita sendiri. Menyeramkan bukan?

Mereka mengawasi dan merekam dengan sangat hati-hati setiap kegiatan kita, kemudian selepas itu data-data yang dikumpulkan akan dimasukkan kedalam sebuah sistem yang hampir nyaris tidak semua orang tahu dan tidak pernah diawasi oleh manusia. Data-data tersebut mereka kumpulkan untuk membuat model prediksi.

Semakin banyak data yang mereka tampung, semakin bagus dan baik pula prediksi yang mereka miliki. Model prediksi tersebut digunakan untuk memprediksi tindakan-tindakan kita. Bagi siapapun yang memiliki model prediksi terbaik, ialah yang memenangkan persaingan.

Shoshana Zuboff, seorang Profesor dari Harvard Business School, selaku narasumber dalam film The Social Dilemma ini pun menyampaikan tanggapannya bahwa, "Inilah yang selalu diimpikan semua bisnis untuk memiliki keberhasilan saat iklannya dipasang. Mereka menjual kepastian (they sell certainty). Agar sukses dalam bisnis itu, kita harus mempunyai banyak data. Ini adalah marketplace yang hanya memperdagangkan prediksi nilai saham manusia dalam skala besar".

Data-data itu juga digunakan untuk merekomendasikan dan memprediksikan konten seperti apa yang ingin kita lihat. Dengan prediksi yang baik, maka kita akan semakin betah berlama-lama terpaku melihat konten pada media sosial. Semakin lama kita menatap layar ponsel, semakin banyak pula data kita yang terekam oleh mereka. Dengan begitu, maka pundi-pundi uang yang akan mereka hasilkan akan semakin banyak pula.

Ketika kita scroll-scroll media sosial sosial, Instagram, Tiktok, Facebook, Twitter dan masih banyak lagi, kita melihat konten yang ada di dalam platform tersebut. Mereka akan merekam apa saja yang kita lihat, berapa lama durasi yang kita habiskan untuk melihat konten tersebut, apa saja yang kita sukai dari tiap postingan atau konten yang kita lihat kita, mengomentari apa saja, membagikan konten apa saja. Setelah terekam, mereka akan memasukkan ke dalam sistem yang mereka buat untuk membuat prediksi yang semakin baik dari tindakan kita.

Dengan prediksi yang semakin baik, mereka akan merekomendasikan konten-konten apa saja yang kita sukai dan kita lihat. Dengan prediksi mereka yang semakin baik pula, maka kita akan memberikan waktu kita dan menghabiskan waktu kita untuk menatap layar ponsel dengan melihat konten-konten yang disukai.

Ketika kita sedang tidak aktif di media sosial. Dan waktu durasi bermain media sosial tidak seperti biasanya yang tahan hingga berjam-jam. Itu merupakan suatu kabar buruk bagi mereka. Kemudian mereka akan mencari cara untuk mendapatkan kita kembali kepada media sosial yang kita gunakan.

Misal kita bermain Instagram menghabiskan waktu selama 6 jam sehari. Dan hari ini, kita bermain Instagram kurang dari 6 jam. Mereka akan mencari cara mengembalikan perhatian kita untuk bermain Instagram. Misalnya dengan cara memberikan notifikasi seorang teman kita menandai foto kita. Dengan notifikasi yang muncul itu akan membuat ponsel kita bergetar, kemudian layar hp kita akan menyala, sehingga itu membuat perhatian kita kembali untuk membuka Instagram.

Kita yang terpengaruh dengan notifikasi itu, secara tidak sadar akan memencet notifikasi tersebut, kemudian masuk kedalam Instagram. Orang-orang dibalik layar tersebut pun akan tersenyum bergembira mendapatkan perhatian kita kembali untuk membuka Instagram. Dan mereka pun akan merekomendasikan kembali konten-konten yang kita sukai agar kita semakin betah terpaku untuk terus scrolling dan merefresh media sosial kita.

Ada 3 tujuan utama dari perusahaan teknologi, khususnya perusahaan media sosial:

  • Tujuan keterlibatan, yaitu untuk menaikkan atau meningkatkan penggunaan agar terus scrolling.
  • Tujuan pertumbuhan, yaitu untuk membuat kita kembali dan mengundang lebih banyak teman.
  • Tujuan iklan, yaitu untuk memastikan bahwa seiring itu semua terjadi, perusahaan akan menghasilkan lebih banyak uang dari iklan.

Lebih lanjut, dari film ini juga disampaikan bahwasannya produk yang mereka buat, yakni media sosial ini sudah merubah hidup banyak orang. Tak bisa dipungkiri juga pada zaman ini, orang merasa tidak nyaman, kesepian saat tidak memegang gawai. Orang menjadi bingung dan tidak pasti untuk melakukan sesuatu. Otak seseorang seperti terkena sihir untuk tetap terpaku pada layar ponsel yang dimilikinya.

Media Sosial Berdampak Pada Kesehatan Mental

Di zaman yang serba modern ini, hampir semua orang memiliki gawai. Melalui gawai yang dimilikinya, seseorang dapat terhubung dan terkoneksi dengan orang-orang yang berada pada media sosial.

Seperti Generasi Z, yakni anak-anak yang lahir setelah tahun 1996. Generasi Z merupakan generasi pertama yang terjun ke dalam media sosial saat sekolah menengah. Mereka menghabiskan waktunya aktif di media sosial untuk mencari informasi, komunikasi, bahkan hiburan.

Teknologi yang sekarang ada ini, dirancang dengan algoritma yang mampu merekomendasikan konten-konten video dan juga dapat berfoto dengan filter yang dapat memperindah dirinya, sehingga banyak disukai dan rela menghabiskan waktunya untuk menatap layar ponsel. Celakanya, teknologi ini tidak dibuat oleh psikolog anak bertujuan untuk melindungi dan mengasuh anak, sehingga tidak ramah untuk anak dibawah umur tanpa pengawasan orang tua.

Media sosial tidak ramah bagi anak dibawah umur, digambarkan dalam film ini dengan seorang anak kecil yang mengupload foto selfie dirinya ke dalam media sosial. Banyak komen yang memuji dirinya dengan kata cantik. Namun, ada satu komen yang membuat dirinya merasa insecure, yakni ada komen yang mengatakan bahwa telinga seorang anak itu besar. Dan komen itu membuat dirinya insecure.

Terlihat jelas dalam film tersebut berusaha menyampaikan pesan bahwa media sosial dapat menetapkan standar kecantikan atau kesempurnaan seseorang. Seseorang dapat dikatakan cantik, apabila memenuhi syarat standar kecantikan atau kesempurnaan. Jika tidak dapat memenuhi syarat, maka ia belum termasuk seseorang dalam kategori cantik atau tampan.

Dengan adanya hal itu, seseorang dituntut untuk mengikuti standar kecantikan atau kesempurnaan menurut media sosial. Padahal, kecantikan atau kesempurnaan dalam media sosial merupakan popularitas palsu dan sesaat yang mana akan membuat kita semakin kecanduan media sosial.

Selain kecanduan, media sosial juga dapat berdampak pada psikologis anak-anak. Anak-anak dibawah umur dengan psikologis yang belum stabil akan rentan terkena serangan mental yang disebabkan oleh media sosial. Bagaimana tidak? Seorang anak kecil yang mendapatkan komentar dirinya jelek dari orang lain, akan membuatnya berpikir bahwa benar dirinya seperti itu dan berakibat hilangnya kepercayaan diri seseorang. Orang dewasa sekalipun jika mendapat komentar buruk atau jelek dari media sosialnya akan merasa insecure.

Dalam film itu menyinggung tentang dismorfia snapchat. Dismorfia snapchat merupakan fenomena di mana pasien ingin melakukan operasi agar membantu mereka terlihat seperti wajah dengan versi filter yang ada di platform atau media sosial. Orang-orang terobsesi ingin menjadikan wajahnya seperti ketika memakai filter yang ada di platform atau media sosial. Hal tersebut merupakan sindrom yang berpengaruh pada kesehatan mental seseorang yang diakibatkan oleh media sosial.

Dalam film tersebut juga memberikan data bahwa tidak ramahnya media sosial terhadap psikologis penggunanya. Di Amerika Serikat, data gadis remaja yang dirawat dirumah sakit karena menyanyat dirinya sendiri pada tahun 2010-2011 cukup stabil. Di tahun setelah itu, bertepatan dengan boomingnya media sosial, angka data tersebut melonjak naik.

Kasus menyayat diri yang dialami gadis remaja berusia 15-19 tahun naik sekitar 62%. Lalu, untuk gadis berusia 10-14 tahun naik sekitar 189%. Lebih parahnya lagi, tren bunuh diri gadis remaja berusia 15-19 tahun di Amerika Serikat naik 70% dibanding dekade pertama tahun ini. Sedangkan untuk gadis berusia 10-14 tahun naik signifikan sebesar 151%.

Dari data tersebut cukup menguatkan pesan yang dibawa dalam film itu bahwa media sosial berdampak pada kesehatan mental seseorang. Hal itu menampilkan fakta bagaimana media sosial turut andil mempengaruhi kesehatan mental seseorang, membuat seseorang terobsesi menjadi cantik versi media sosial.

Manusia Kehilangan Kendali atas Teknologi yang Diciptakan

Algoritma yang diciptakan oleh orang-orang yang bekerja di perusahaan teknologi telah membawa perubahan. Algortima diciptakan demi mengejar kesuksesan pada perusahaan. Algoritma terus bekerja menghasilkan pundi-pundi uang kepada perusahaan teknologi terbesar sepanjang sejarah kemanusiaan ini.

Algoritma dalam internet terus bekerja dan mempelajari apa saja yang kita cari dan kita sukai. Dengan begitu, akan memudahkan media sosial untuk merekomendasikan hal-hal apa saja yang kita sukai. Kita akan terus diberikan hal-hal apa saja yang kita mau dan kita sukai, begitu juga halnya dengan orang lain. Internet dan media sosial lebih tahu apa yang kita sukai disbanding dengan diri kita sendiri.

Saat kita mencari sesuatu di internet, kita akan diberikan sesuatu yang kita sukai dan kita cari. Begitu juga dengan orang lain. Seseorang yang dengan yang lain mendapatkan hasil pencarian yang berbeda dikarenakan minat dan kesukaan yang berbeda. Di sisi lain, internet akan menghubungkan orang-orang bagi yang mempunyai minat dan kesukaan yang sama.

Dari semua yang dimiliki teknologi tentang manusia, hingga melebihi sifat yang dimiliki dari manusia, semua akan bermuara kepada skakmat kemanusiaan atau hancurnya kemanusiaan yang diakibatkan produk ciptaannya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun