Dewasa ini, pengguna sosial media mulai menjamur. Mulai dari kalangan anak muda hingga orang dewasa aktif menggunakan sosial media. Sosial media yang digunakan pun sangat beragam dan banyak jumlahnya. Menurut data dari We Are Social, sosial media yang banyak digunakan oleh masyarakat di Indonesia adalah Youtube, Whatsapp, Instagram, Facebook, Tiktok, Twitter. Masih merujuk data dari We Are Social, seseorang mampu menghabiskan waktunya kurang lebih 6 jam dalam sehari untuk berselancar di dunia maya. Dengan waktu tersebut, seseorang bermain sosial media dengan berbagai macam kebutuhan, ada yang menghabiskan untuk mencari informasi, melakukan interaksi dan komunikasi dengan teman pada akun sosial medianya, mencari hiburan, dan masih banyak lagi.
Jika dilihat lebih lanjut, sosial media bisa dikatakan sebagai sarana hiburan seseorang yang sedang mengalami rasa jenuh, capek, sedih, galau, yang di dalamnya terdapat berbagai konten yang bisa dikonsumsi seseorang yang sedang mengalami perasaan tersebut agar merasa terhibur dengan konten yang ada. Misal, ketika seseorang sedang mengalami perasaan sedih dan bingung harus melakukan apa. Seseorang tersebut dapat membuka sosial media pada ponsel yang dimiliki, kemudian mencari konten komedi atau konten apapun itu untuk menghibur dirinya yang sedang sedih dengan konten yang di tontonnya.
Masuk lebih dalam lagi mengenai sosial media, kita sebagai pengguna bukan hanya dapat mengonsumsi konten yang ada di dalam sosial media, tetapi kita juga dapat sebagai orang yang memproduksi konten di dalamnya. Kita dapat membagikan apapun di sosial media yang kita miliki, yang kemudian dapat di konsumsi oleh orang lain. Misal, kita baru saja membeli sebuah baju baru, kemudian kita merekam atau mengambil gambar dari baru yang kita beli, lalu kita bagikan ke sosial media yang kita miliki dengan caption "baju baru". Orang lain yang melihat akan mengetahui kalua kita baru saja membeli baju baru. Atau mungkin, kita baru saja membangun rumah untuk ditempati sendiri dan pisah dari orang tua. Kita mengambil gambar rumah tersebut lalu dibagikan ke sosial media dengan caption "Alhamdulillah sudah bisa ditempati". Orang lain yang melihat akan mempersepsikan gambar tersebut kalau kita baru selesai membangun rumah dan sudah bisa di tempati.
Dari beberapa penjelasan diatas, secara tidak sadar sosial media dapat mempengaruhi diri sendiri maupun orang lain. Sebagai pengguna sosial media, hal-hal atau aktivitas yang kita lakukan atau kita lihat di sosial media ini dapat menjadikan suatu motivasi atau malah sebaliknya.
Â
Quarter Life Crisis
Mungkin bagi beberapa orang ada yang belum mengetahui apa itu Quarter Life Crisis? Atau mungkin ada juga yang belum pernah mendengar apa itu Quarter Life Crisis?
Quarter Life merupakan usia seperempat abad, yakni sekitar usia 25 -- 30 tahun, atau bisa juga disebut dengan masa transisi yaitu dari masa remaja menuju dewasa. Sebagaimana yang diketahui, masa transisi merupakan masa peralihan dari remaja menuju dewasa yang didalamnya ada tugas untuk menjadi mandiri, seperti dengan memulai mengembangkan karier, memilih pendidikan untuk di selesaikan, mencari dan menemukan pasangan yang kemudian membentuk keluarga, lalu diharapkan untuk menjadi mapan secara finansial.
Jika Quarter Life merupakan masa transisi seseorang dari fase remaja menuju fase dewasa, bagaimana dengan Quarter Life Crisis?
Quarter Life Crisis merupakan masa di mana seseorang mencari jati diri yang biasa terjadi di umur 25 -- 30 tahun. Dalam masa ini, seseorang akan bertanya-tanya dalam dirinya, aku ini siapa ya? Aku pengen kerja seperti apa ya nantinya? Kira-kira, nanti aku kuliah dimana ya? Bisa lulus tepat waktu ya? Setelah lulus kuliah, kerja dimana nanti ya? Aku bisa sukses ngga ya setelah lulus kuliah nanti? Dan masih banyak pertanyaan lain yang ditanyakan kepada dirinya sendiri.
Quarter Life Crisis dapat disederhanakan sebagai kecemasan, kekhawatiran akan masa depan yang dialaminya nanti. Seseorang yang mengalami Quarter Life Crisis akan merasa cemas dan khawatir tentang masa depannya, merasa tidak bahagia dengan rutinitas yang dijalaninya, merasa minder (atau saat ini dikenal dengan istilah insecure) dengan lingkungan sekitar, serta merasa tidak sempurna dengan segala hal yang telah dilakukannya.
Sosial media yang merupakan sebagai sarana untuk hiburan, dewasa ini, justru menjadi tempat kompetisi bagi segelintir orang untuk mempublikasikan pencapaian-pencapaian yang telah diraihnya. Orang - orang itu berlomba dengan membagikan pencapaian yang telah diraihnya, seberapa banyak pencapaiannya, apa saja hasil dari pencapaiannya, dan lain sebagainya.
Selain itu, sosial media juga selalu menampilkan seseorang wanita dengan paras wajah cantik dan kulit putih mulus, hidung mancung, berbadan langsing semampai dan masih banyak yang lainnya. Dengan budaya sosial media yang selalu ditampilkan seperti itu, akan mempengaruhi persepsi seseorang bahwa standar kesuksesan itu harus memiliki rumah mewah, mobil mewah, memiliki pekerjaan dengan gaji 2 digit, dan masih banyak lagi. Selain itu, dari sosial media pula dapat mempengaruhi standar kecantikan wanita, yaitu wanita yang cantik apabila memiliki kulit putih mulus, hidung mancung, badan tinggi langsing semampai. Apabila seorang wanita tidak memiliki kriteria tersebut, maka ia tidak bisa dikatakan wanita cantik. Hal tersebut tercipta karena budaya yang ditampilkan oleh sosial media.
Dari apa yang di konsumsi pada sosial media, alih-alih untuk menghibur diri, justru malah membuat seseorang membandingkan pencapaian dirinya dengan pencapaian orang lain di sosial media. Dari apa yang ditampilkan dalam sosial media justru membentuk orang-orang masuk ke dalam fase Quarter Life Crisis.Â
Ketika sedang asyik scroll -- scroll Instagram, kemudian melihat pada postingan influencer yang menampilkan mobil mewahnya. Orang yang melihat itu ketika berada dalam fase Quarter Life Crisis akan berpikiran bahwasanya "kapan ya punya mobil mewah seperti itu". Keluar dari aplikasi Instagram, ganti masuk ke aplikasi tiktok. Ketika sedang scroll -- scroll tiktok, muncul postingan konten seorang wanita putih mulus dengan badan langsing merekomendasikan baju yang baru dibelinya di toko online. Seorang wanita dengan kulit sawo matang dan memiliki badan sedikit agak gemuk akan mempunyai pikiran, "kapan yaa bisa secantik itu dan bisa pake pakaian yang pas di badan". Dengan hal -- hal tersebut, seseorang yang berada dalam fase Quarter Life Crisis akan sibuk membandingkan pencapaian dirinya ataupun membandingkan fisiknya dengan orang lain.
Oleh karena itu, dalam berselancar di sosial media, kita harus lebih bijak lagi dalam melihatnya. Harus bisa membedakan mana yang baik untuk kita konsumsi, dan mana yang kurang baik untuk kita konsumsi. Hal -- hal yang kurang baik untuk kita konsumsi dalam sosial media, cukup kita lewati saja. Daripada sibuk untuk membandingkan diri kita dengan orang lain, lebih baik kita sibuk menggali potensi terpendam yang kita miliki. Dengan begitu, kita akan merasa lebih bahagia dalam menjalani hidup, kemudian bisa terlepas dari belenggu fase Quarter Life Crisis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H