Kesempatan menjadi penulis terbuka lebar. Tidak ada alasan untuk tidak menjadi penulis. Begitu kata Prof. Abdul Munir Mulkhan, guru besar filsafat pendidikan Islam ketika menyampaikan materi penulisan ilmiah populer hampir dua tahun lalu.
Karena menulis adalah keabadian maka tugas kita adalah menjaga agar keabadian itu tetap kekal. Begitulah kata yang hingga masih saya ingat. Bagaimana penulis itu bisa menjadi apa saja, dibutuhkan saat tak terduga.
Saya bersykur pernah ikut pelatihan di Omah Petroek dengan tema sekolah kepenulisan kritis menjadi kreatif. Tempat yang sangat kondusif di sisi kali tengger, kali terbesar luapan lahar dingin gunung merapi Yogyakarta menjadi daya tarik tersendiri.
Bagaimana seorang tutor menawarkan begitu banyak motivasi untuk bisa menulis. Saya bersyukur bisa belajar langsung kepada Shindunata, Abdul Munir Mulkhan, Toni d Widiastono, Ashadi Siregar, dan aktivis media lainnya. Ini pengalaman amat berharga bagi saya, terutama pelajaran menulis.
Kepada Shindunata, saya kasih dua empol. Empat jempol kalau bisa. Dia mengawali motivasi kepada saya bahwa menulis membutuhkan ketekunan dan ketenangan. Anda bisa menulis banyak hal, tapi lihat hasilnya. Menulis di tempat yang hening bisa mempermudah menuliskan sesuatu lebih segar dan sistematis.
begitu juga ajarann yang disampaikan pak Toni d Widyastono, mantan wakil pemimpin redaksi Kompas. Dia berujar, menulis adalah tanda intelektual. Ia kemudian berhipotesa bahwa orang yang mempunyai akal mewujudkan sesuatu dengan bentuk tulisan atau menulis, tidak dengan otot. Itulah bedanya penulis dengan yang lain. Dia menggarisbawahi hal itu.
Tentu, ada banyak cara yang bisa diraih ketika memulai menulis. Namun, hal terpenting yang membuat tulisan itu bermakna dengan menganalisa dan membaca buku. Dasar ini akan memudahkan pikiran kita untuk menganalisa semua hal, tentu yang berkaitan dengan cara berfikir kritis.
Membaca dan menganalisa buku adalah satu cara yang paling mudah dan umum digunakan. Meresensi buku termasuk salah satu cara yang umum digunakan. Cobalah cara ini secara konsisten, pasti akan terbantu.
Meski dalam hal lain, meresensi distigmakan subjektif, namun dasar belajar kritis harus ditempatkan dalam ruang yang objektif. Ketika meresensi buku, kita biasanya terjebak pada gagasan yang ditawarkan oleh penulis buku. Padahal, menulis kritis membutuhkan pendapat kita sebesar 70% atau bila tidak gagasan orang lain yang sekiranya relevan untuk menilai suatu karya.
Dasar kekritisan adalah sikap dan pikiran kita. Sikap dan pikiran kita adalah dasar menilai kehidupan, terutama yang berkaitan dengan ruang sosial. Ruang publik adalah cara yang sesungguhnya membuat kita lebih kritis, karena ia adalah representasi dari fakta yang membunuh.
Ashadi Siregar melanjutkan cara berfikir kritis dengan menganalisa posisi kita sat ini. Untuk menjadi kritis, kita juga dituntut untuk lebih mengenal kehidupan dan mengenali latar belakang sosial. Kata Dia, Inside itu berbentuk reality. Tapi outside berbentuk objek reality atau empiris.
Begitu.. Mari Menulis,,,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H