Mohon tunggu...
Nazar Nurdin
Nazar Nurdin Mohon Tunggu... -

Hiduplah dengan senyum. Itu sangat mengenakkan. Bener. Coba deh!!!

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Mari Menulis...

28 Agustus 2014   22:45 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:15 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesempatan menjadi penulis terbuka lebar. Tidak ada alasan untuk tidak menjadi penulis. Begitu kata Prof. Abdul Munir Mulkhan, guru besar filsafat pendidikan Islam ketika menyampaikan materi penulisan ilmiah populer hampir dua tahun lalu.

Karena menulis adalah keabadian maka tugas kita adalah menjaga agar keabadian itu tetap kekal. Begitulah kata yang hingga masih saya ingat. Bagaimana penulis itu bisa menjadi apa saja, dibutuhkan saat tak terduga.

Saya bersykur pernah ikut pelatihan di Omah Petroek dengan tema sekolah kepenulisan kritis menjadi kreatif. Tempat yang sangat kondusif di sisi kali tengger, kali terbesar luapan lahar dingin gunung merapi Yogyakarta menjadi daya tarik tersendiri.

Bagaimana seorang tutor menawarkan begitu banyak motivasi untuk bisa menulis. Saya bersyukur bisa belajar langsung kepada Shindunata, Abdul Munir Mulkhan, Toni d Widiastono, Ashadi Siregar, dan aktivis media lainnya. Ini pengalaman amat berharga bagi saya, terutama pelajaran menulis.

Kepada Shindunata, saya kasih dua empol. Empat jempol kalau bisa. Dia mengawali motivasi kepada saya bahwa menulis membutuhkan ketekunan dan ketenangan. Anda bisa menulis banyak hal, tapi lihat hasilnya. Menulis di tempat yang hening bisa mempermudah menuliskan sesuatu lebih segar dan sistematis.

begitu juga ajarann yang disampaikan pak Toni d Widyastono, mantan wakil pemimpin redaksi Kompas. Dia berujar, menulis adalah tanda intelektual. Ia kemudian berhipotesa bahwa orang yang mempunyai akal mewujudkan sesuatu dengan bentuk tulisan atau menulis, tidak dengan otot. Itulah bedanya penulis dengan yang lain. Dia menggarisbawahi hal itu.

Tentu, ada banyak cara yang bisa diraih ketika memulai menulis. Namun, hal terpenting yang membuat tulisan itu bermakna dengan menganalisa dan membaca buku. Dasar ini akan memudahkan pikiran kita untuk menganalisa semua hal, tentu yang berkaitan dengan cara berfikir kritis.

Membaca dan menganalisa buku adalah satu cara yang paling mudah dan umum digunakan. Meresensi buku termasuk salah satu cara yang umum digunakan. Cobalah cara ini secara konsisten, pasti akan terbantu.

Meski dalam hal lain, meresensi distigmakan subjektif, namun dasar belajar kritis harus ditempatkan dalam ruang yang objektif. Ketika meresensi buku, kita biasanya terjebak pada gagasan yang ditawarkan oleh penulis buku. Padahal, menulis kritis membutuhkan pendapat kita sebesar 70% atau bila tidak gagasan orang lain yang sekiranya relevan untuk menilai suatu karya.

Dasar kekritisan adalah sikap dan pikiran kita. Sikap dan pikiran kita adalah dasar menilai kehidupan, terutama yang berkaitan dengan ruang sosial. Ruang publik adalah cara yang sesungguhnya membuat kita lebih kritis, karena ia adalah representasi dari fakta yang membunuh.

Ashadi Siregar melanjutkan cara berfikir kritis dengan menganalisa posisi kita sat ini. Untuk menjadi kritis, kita juga dituntut untuk lebih mengenal kehidupan dan mengenali latar belakang sosial. Kata Dia, Inside itu berbentuk reality. Tapi outside berbentuk objek reality atau empiris.

Begitu.. Mari Menulis,,,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun