Berkaca dari kasus-kasus yang akhir-akhir ini sering terjadi yaitu "kesalahpahaman antara petugas pajak dan pelaku usaha" seperti yang terjadi pada Bapak Pramono selaku pengepul susu yang sudah memiliki mitra kerja yang berjumlah 1300 peternak susu, dimana rekening beliau diblokir oleh kantor pajak dan usahanya nyaris gulung tikar sebab di anggap pajaknya menunggak hingga ratusan juta. Dan membuat banyak peternak susu yang sudah menjadi mitra beliau bingung ingin menjual susu sapinya kemana. Maka dari itu sangat diperlukan pemahaman terlebih dahulu terhadap pajak saat ingin membuka usaha. Semua akan dibahas dalam kesempatan ini
UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah)
Sebelum mengetahui lebih lanjut mengenai pajak yang dibebankan pada UMKM, perlu kita pahami dulu pengertian dan kriteria dari UMKM itu sendiri. UMKM singkatan dari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Usaha ini bisa dijalankan oleh badan tertentu maupun individu (perorangan). Saat ini UMKM juga termasuk dari beberapa hal yang membantu pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Maka dari itu, penting bagi pemerintah mendukung UMKM yang ada di Indonesia, baik yang dijalankan oleh individu maupun suatu badan. Beberapa kriteria UMKM berdasarkan Pasal 35 PP No.7 Tahun 2021 yaitu
1. Usaha Mikro: Usaha dengan modal dibawah 1 M dan memiliki omzet penjualan dibawah 2 M
2. Usaha Kecil: Usaha dengan modal diantara 1 M-5 M dan memiliki omzet penjualan sebesar 2 M-5 M
3. Usaha Menengah: Usaha dengan modal diantara 5 M-10 M dan memiliki omzet penjualan sebesar 15 M-50 M
Wajib Pajak UMKM
Pertama kita harus tau dulu pajak apa yang dikenakan untuk UMKM di Indonesia. Pajak yang dikenakan untuk UMKM adalah PPh (Pajak Penghasilan). Ada beberapa jenis pajak yaitu pajak pusat, pajak daerah, pajak langsung, pajak tidak langsung, pajak objektif, dan pajak subjektif. Nah, PPh ini masuk kedalam kriteria pajak subjektif yaitu pajak yang dikenakan dengan memerhatikan pada kondisi subjeknya (wajib pajak). Subjek dari PPh itu sendiri ada 4, yaitu orang pribadi, badan, warisan belum dibagi, dan bentuk usaha tetap. Ada 2 cara penghitungan dan pemotongan dalam PPh yaitu PPh final dan PPh non final. Yang dimaksud PPh UMKM adalah PPh final yaitu PPh dengan tarif sederhana, perhitungan sederhana, dan dikenakan langsung pada objek pajaknya.
Namun, apakah artinya UMKM itu wajib menggunakan PPh final?
Jawabannya adalah tidak. Pada awal UMKM mendaftarkan usahanya terhadap Perusahaan pajak, UMKM di perbolehkan memilih pajak mana yang dikehendakinya. Mereka memiliki 2 pilihan yaitu tarif PPh final dan tarif umum PPh pasa 17 UU PPh. Jadi boleh saja UMKM itu tidak menggunakan tarif PPh final. Pada awal pendaftarannya sebagai WP (Wajib Pajak). Dan ada ketentuan - ketentuan lain yang membuat UMKM sudah tidak di perbolehkan menggunakan tarif PPh final. Maka dari itu mari kita kupas informasi mengenai PPh final.
PPh final UMKM dikenakan atas penghasilan dari usaha yang diterima WP orang pribadi maupun badan dengan jumlah peredaran bruto maks. Rp4,8 miliar setahun, tidak termasuk penghasilan dari jasa pekerjaan bebas, penghasilan dari luar negeri, penghasilan yang sudah dikenai PPh final, dan penghasilan bukan objek. Peredaran bruto adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari usaha sebelum dikurangi biaya-biaya maupun potongan-potongan (diskon). Tidak semua subjek PPh dapat dikenai PPh final. Mereka yang tidak dapat dikenai PPh final yaitu pemilik UMKM itu seorang yang memiliki keahlian khusus seperti dokter, badan itu menyediakan jasa sejenis seperti konsultan, Badan Usaha Tetap, WP sudah memilih dikenai tarif umum Pasal 17 UU PPh, dan WP badan yang sudah menggunakan tarif PPh lain. PPh final ini juga mengalami beberapa perubahan PP dalam mengaturnya. PP pertama yang mengatur adalah PP 46/2013 dalam PP ini tarif PPh final masih 1% selanjutnya digantikan dengan PP 23/2018 dimana tarif diturunkan menjadi 0,5% dan tarif ini berlaku sampai sekarang. PP ini juga sudah memuat peraturan lengkap mengenai hal-hal sehubungan dengan PPh final ini. Lalu, PP ini disempurnakan lagi oleh PP 55/2022.