Apakah kalian memiliki kebiasaan mengerjakan semua tugas yang dimiliki dalam suatu waktu? Apakah kalian merasa resah ketika tidak melakukan suatu yang produktif? Atau kalian tidak pernah merasa cukup atas pencapaian yang dimiliki, maka dari itu kalian selalu mengambil kesempatan untuk berbuat lebih? Jika kalian menjawab iya pada seluruh pertanyaan tersebut, kemungkinan besar kalian mengimplementasikan hustle culture.
Hustle culture banyak diperkenalkan lewat karya di media sosial dimana hal tersebut bisa memicu seseorang untuk melakukan yang lebih untuk mencapai suatu prestasi.
Mungkin hanya sekadar melihat seseorang yang meromantisasikan bekerja hingga larut malam di platform media sosialnya juga bisa memicu pemikiran “Apakah seharusnya saya juga melakukan hal yang sama ya?”. Terkadang faktor ekstrinsik yang dapat membangunkan motivasi memang dibutuhkan, tetapi jika menghasilkan output yang membuat seseorang merasa lelah atau tidak pernah puas juga akan membahayakan kesehatan mental, bahkan fisik.
Hustle Culture, Seperti Apa Sih?
Salah satu ciri yang dialami oleh seseorang yang melakukan hustle culture adalah menetapkan target yang tidak realistis untuk mereka lakukan. Tidak realistis di sini dapat bersifat “terlalu susah dilakukan dalam waktu singkat,” sesuai dengan pengertian kata hustle yang berarti “cepat” atau “terburu-buru” maka orang-orang tersebut akan menggunakan waktu luang ataupun waktu istirahat mereka demi mencapai target tidak realistis mereka.
Penelitian yang dilakukan oleh Ramadhani et al (2022) juga menjelaskan mengenai ciri-ciri hustle culture, yakni remaja ataupun pekerja kerap merasa cemas dan bersalah ketika mereka beristirahat sesuai dengan aturan jam kerja normal, yakni 5-7 jam per hari atau 5-6 hari dalam seminggu. Selain itu, remaja ataupun pekerja juga akan merasakan kelelahan atau burnout karena terlalu memaksakan diri melakukan pekerjaan yang signifikan tanpa istirahat yang cukup.
Dikutip dari Alodokter bahwa waktu istirahat atau tidur yang ideal untuk dewasa dan remaja adalah sekitar 7 hingga 8 jam. Jika waktu istirahat dikorbankan, maka akan menyebabkan komplikasi seperti melemahnya sistem imun, penyakit kardiovaskular, tekanan darah tinggi, dan stroke.
Kekurangan tidur atau istirahat juga akan menurunkan kemampuan kognitif, dimana seseorang akan susah fokus dalam melakukan suatu pekerjaan, ini akan menjadi bahaya jika mereka melakukan kegiatan yang berisiko tinggi, seperti bekerja di laboratorium.
Selain menyebabkan dampak buruk untuk kesehatan fisik, hustle culture juga dapat berdampak pada kesehatan mental. Stress dan depresi dapat disebabkan oleh perasaan tidak pernah puas terhadap diri sendiri.
Seseorang akan terus mencari-cari kesalahan dari sesuatu yang mereka kerjakan dan mencoba untuk memperbaiki hal tersebut. Terkadang jika hasil tersebut tidak sesuai ekspektasi, seseorang akan mengalami panic attack atau merasakan kecemasan yang berlebihan. Hingga secara tidak langsung, overthinking yang mereka alami akan berdampak kepada kesehatan fisik mereka.
Cara Mencegah Hustle Culture
Lalu, bagaimana cara menghindari diri kita dari sikap toksik ini? Ada beberapa cara yang dapat kita lakukan, yakni sebagai berikut:
Jangan membandingkan progres sendiri dengan orang lain
Salah satu faktor yang membuat seseorang menerapkan hustle culture adalah perasaan ingin mengikuti progres orang lain. Kita harus mengingat bahwasanya setiap orang memiliki waktu masing-masing, hanya karena orang lain telah mendapatkan penghargaan tertentu bukan berarti kita tidak dapat melakukan hal yang sama. Hanya saja waktu kita berbeda dengan orang lain, mungkin saja kita membutuhkan usaha yang lebih extra.
Mengerti kapasitas dan kapabilitas sendiri
Terkadang kita melakukan sesuatu secara berlebihan karena kita berorientasi pada hasil dan bukan pada proses kita mendapatkan hal tersebut. Seseorang yang menerapkan hustle culture suka mengacuhkan rasa lelah mereka ketika bekerja.
Maka dari itu, sangat penting bagi kita untuk berhenti melakukan pekerjaan jika kita sudah merasakan ngantuk ataupun lelah. Hindari juga mengonsumsi makanan dan minuman yang menyebabkan tubuh kita terjaga, seperti kafein pada kopi, teh, maupun coklat yang berlebihan. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah komplikasi kesehatan.
Memberikan waktu untuk healing
Terlalu fokus terhadap pekerjaan juga dapat menjauhkan diri kita dari realita. Kita harus mengingat bahwa keseharian kita bukan hanya mencapai suatu penghargaan atau pencapaian yang fantastis, tetapi juga untuk menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman dekat.
Kita harus sisihkan waktu untuk setidaknya mengobrol santai dengan keluarga atuapun memberikan self-reward setelah melakukan pekerjaan. Dengan membiarkan diri kita untuk melakukan hal yang kita sukai, kita juga dapat meningkatkan derajat kesenangan kita dan mengurangi kemungkinan untuk stress ataupun kewalahan.
Referensi:
Getting Know Hustle Culture that Often Happens to Employees - BFI. (2022). Bfi.co.id. https://www.bfi.co.id/en/blog/sering-terjadi-kenali-apa-itu-hustle-culture-dan-cara-menyikapinya#toc-3
Why is Hustle Culture Toxic | Dangers of Hustle Culture. (2024). Rutherfordsearch.com. https://www.rutherfordsearch.com/blog/2021/09/what-are-the-dangers-of-hustle-culture
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H