Pulau Rempang yang terletak di provinsi Kepulauan Riau yang dalam beberapa bulan  terakhir menjadi sorotan di Indonesia. Pulau ini menjadi pusat sengketa lahan antara masyarakat setempat, pemerintah, dan PT. Makmur Elok Graha, serta perusahaan swasta yang  terlibat dalam pembangunan dan pngembangan proyek Rempang Eco City. Pembangunan dan pengembangan kawasan industri di Pulau Rempang menimbulkan konflik hak atas tanah, hak asasi manusia, dan kepentingan investasi bagi pemerintah. Dukungan pemerintah terhadap  proyek ini masih menjadi perdebatan.Â
Di satu sisi, proyek ini menawarkan peluang investasi yang signifikan dan menjanjikan bagi pemberdayaan masyarakat setempat sebagai tenaga kerja. Di sisi lain, masyarakat adat setempat menentang pembangunan tersebut karena khawatir akan kehilangan tanah dan warisan budaya mereka.Â
Keputusan pemerintah yang menetapkan Rempang Eco City sebagai proyek strategis nasional berdampak pada masyarakat adat setempat. Pembangunan proyek-proyek strategis nasional, pembangunan lahan dan infrastruktur, menjadi penyebab utama konflik-konflik ini, dan hak asasi manusia yang paling banyak dilanggar adalah hak atas kesejahteraan bagi masyarakat setempat.
Berawal dari rencana pembangunan Proyek Strategis Nasional Rempang Eco City yang akan memanfaatkan seluruh wilayah pulau seluas sekitar 16.500 hektar, hal ini membuat masyarakat setempat menentang kebijakan ini karena investor dan pemerintah akan menggusur atau merelokasi paksa masyarakat setempat. Tentu saja hal ini dapat menimbulkan kekhawatiran dan protes sejumlah masyarakat, beberapa kekhawatiran yang dihadapi masyarakat antara lain:
1. Hilangnya warisan budaya
Penduduk asli Pulau Rempang terdiri dari Suku Melayu, Suku Laut, dan beberapa suku lainnya telah menempati dan mengelola Pulau Rempang selama lebih dari 200 tahun. Tanah di Pulau Rempang telah dianggap milik masyarakat adat secara utuh jika mereka terancam digusur maka hal ini dapat melanggar hak -- hak masyarakat tanah adat, karena jika mereka terelokasi maka warisan budaya asli akan terancam hilang.
2. Ketidakpastian terhadap hukum
Masyarakat Pulau Rempang mengkhawatirkan bahwa relokasi mereka tidak memiliki kekuatan hukum sebelum sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) atas Pulau Rempang diperoleh. Masyarakat Pulau Rempang juga mengkhawatirkan bahwa mereka tidak akan mendapatkan kompensasi yang layak atas tanah dan rumah mereka yang akan direlokasi. Kebijakan pemerintah yang tidak jelas dan terbuka dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan ekonomi bagi semua pihak yang terlibat.
3. Dampak pada mata pencaharian dan pariwisata
Adanya relokasi akibat kebijakan ini, tentunya akan berdampak pada mata pencaharian masyarakat setempat. Apabilla pembangunan Rempang Eco City terealisasikan maka hal ini dapat mengakibatkan keterbatasan akses masyarakat terhadap sumber daya alam yang diperlukan untuk mata pencaharian mereka, seperti perikanan, peternakan dan pertanian. Ketidakpastian tumpang tindih atas status lahan dan konflik agraria menimbulkan ketegangan yang mengancam kesejahteraan sosial dan budaya
4. Sosialisasi searah tanpa mendengar aspirasi warga
Kebijakan pemerintah terkait relokasi dan pembangunan Pulau Rempang Eco City masih belum jelas arahnya dan belum terbuka bagi masyarakat. Sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah dianggap tidak memperhatikan aspirasi dari masyarakat dan lebih bersifat kepentingan sepihak. Demo dan protes masyarakat hingga berujung kericuhan merupakan salah satu upaya masyarakat dalam menuntut keadilan atas tanah adat mereka.
5. Kekhawatiran terhadap pelanggaran HAM
Masyarakat adat yang telah lama menempati dan mengelola pulau ini merasa keberadaan mereka terancam oleh rencana pembangunan tersebut. Ancaman dan intimidasi yang diterima masyarakat Pulau Rempang atas relokasi tersebut semakin memperjelas adanya dugaan pelanggaran HAM. Proyek investasi seharusnya tidak boleh merugikan hak-hak masyarakat adat, dan seharusnya kewajiban konstitusional harus dilindungi dan ditegakkan.
Keputusan yang reaktif dan bersifat searah akan berdampak negatif bagi masyarakat, jelas sangat merugikan bagi masyarakat adat setempat dan lebih lagi hal ini bersifat menguntungkan sepihak. Akibatnya dapat menimbulkan kekhawatiran masyarakat setempat terkait hilangnya warisan budaya, ketidakpastian hukum, berdampak pada mata pencaharian dan pariwisata, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H