Mohon tunggu...
Nayla Cahya Apriliani
Nayla Cahya Apriliani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Fokus pada tujuan,bukan hambatan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Jejak Kaki Manusia di Atas Gambut Riau

23 November 2024   07:17 Diperbarui: 23 November 2024   07:19 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Lahan gambut merupakan ekosistem lahan basah yang tergenang air sehingga tanaman yang telah mati tidak dapat terdekomposisi dengan sempurna. Pengertian lainnya dari lahan gambut adalah jenis lahan basah yang terbentuk dari timbunan berbagai material organik seperti sisa-sisa pohon,rerumputan,serta jasad hewan yang tidak membusuk sepenuhnya di dalam tanah sehingga membuat produksi bahan organic menjadi lebih banyak dari proses pembusukan yang terjadi sehingga membentuk akumulasi bahan gambut.Tanah gambut memiliki karbon yang lebih tinggi dari hutan tanah mineral di seluruh dunia.

Menurut Muhjad&Redhani (2023), dalam bukunya yang berjudul "Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut" menyatakan bahwa lazimnya di dunia, disebut sebagai gambut apabila kandungan bahan organik dalam tanah melebihi 30%. Akan tetapi hutan-hutan rawa gambut di Indonesia umumnya mempunyai kandungan melebihi 65% dan kedalamannya melebihi dari 50 cm. Tanah dengan kandungan bahan organik antara 35-65% biasa disebut muck.

Berdasarkan laporan kinerja tahun 2021 Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), luas kawasan gambut di Indonesia adalah 13,34 juta hektar. Ini merupakan luas lahan terbesar keempat di dunia setelah Kanada, Rusia dan Amerika Serikat, dan terluas di Asia Tenggara. Asia Tenggara menjadi kawasan pemilik lahan gambut tropis terbesar di dunia dengan luas 56% dari total lahan gambut tropis dunia. Indonesia sendiri menyumbang 47% dari luas lahan gambut tropis dunia. Penyebaran lahan gambut di Sumatera, khususnya terdapat di dataran rendah sepanjang Pantai timur dengan luas 7,2 juta hektar. Riau merupakan provinsi dengan lahan gambut terluas di Pulau Sumatera yaitu sekitar 4,04 juta Ha atau 56,1% dari luas total lahan gambut di Sumatera ( Setiani et al. 2023).

Kondisi gambut Riau terus terjadi penurunan dan semakin menipis ketersediaannya. Kerusakan gambut ini ditandai dengan kebakaran hutan dan lahan akibat kekeringan atau akibat dari ulah manusia yang dengan sengaja membakarnya dengan berbagai tujuan, salah satunya adalah pembukaan lahan sebagai penyediaan tempat pemukiman,industri,atau alih fungsi lahan lainnya. Alih fungsi lahan dapat memberikan nilai ekonomi yang lebih tinggi, tetapi jika tidak dikendalikan, hal ini akan berdampak buruk bagi daya dukung lingkungan di masa depan.

Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Nomor SK.40/PPKL/PKG/PKL.0/3/2018 tentang Penetapan Status Kerusakan Ekosistem Gambut, kondisi gambut di Provinsi Riau banyak mengalami kerusakan, meliputi kondisi rusak ringan seluas 82,44%, kondisi rusak sedang seluas 13,20%, kondisi rusak berat seluas 3,80%, kondisi rusak sangat berat seluas 0,08%, dan hanya menyisakan seluas 0,48% yang dalam kondisi baik.

Kerusakan gambut di Riau Sebagian besar disebabkan oleh aktivitas manusia. Pembukaan lahan untuk perkebunan dan industri seringkali melibatkan pembakaran lahan gambut yang menyebabkan gambut menjadi kering dan mudah terbakar. Sistem drainase yang buruk juga dapat mempercepat pengeringan gambut. Selain itu, eksploitasi gambut yang berlebihan untuk bahan bakar atau industri merusak struktur gambut dan dapat mengurangi kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan air. Dampak dari kerusakan gambut sangat luas, mulai dari kebakaran hutan yang sulit dipadamkan, polusi udara, emisi karbon tinggi, hingga hilangnya keanekaragaman hayati. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan Upaya restorasi gambut, pencegahan kebakaran, dan pemanfaatan gambut yang berkelanjutan.

Selama ini kewenangan merestorasi lahan basah ada di tangan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Lembaga ini mendapatkan mandat untuk merestorasi lahan gambut seluas 1,2 juta hektar. Usaha dalam restorasi lahan gambut yang dilakukan di Indonesia antara lain pembasahan ulang (rewetting), penanaman kembali (revegetasi), dan revitalisasi penghidupan masyarakat yang mendukung restorasi.

Berdasarkan hasil kajian analisis data yang ada, prioritas restorasi adalah lahan bekas terbakar. Restorasi perlu dilakukan untuk mencegah kebakaran berulang dan memperlambat degradasi gambut. Pada lahan gambut yang rusak dan berada di area konsesi, tentu tidak memungkinkan dilakukan penanaman kembali (revegetasi) lantaran lahannya sudah berubah menjadi perkebunan atau hutan tanaman.  Praktik yang mungkin dilakukan adalah manajemen muka air gambut melalui pembuatan sekat kanal.

Masyarakat di sekitar lahan gambut memiliki peran yang sangat penting dalam Upaya mencegah kerusakan gambut. Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk membantu restorasi lahan gambut antara lain :

  • Pembentukan kelompok masyarakat peduli gambut yang berperan aktif dalam melakukan patroli untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan, serta melakukan kegiatan penanaman Kembali tanaman khas gambut.
  • Penerapan sistem pertanian ramah lingkungan yang tidak merusak gambut, seperti pertanian organik dan sistem tumpang sari.
  • Pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan secara bijaksana, tidak berlebihan, dan memperhatikan kelestarian lingkungan.
  • Peningkatan kesadaran masyarakat melalui berbagai kegiatan sosialisasi dan edukasi sehingga masyarakat semakin memahami pentingnya menjaga kelestarian gambut dan dampak negative dari kerusakan gambut.
  • Kerjasama dengan pemerintah dan Lembaga swadaya masyarakat dalam melaksanakan program program pelestarian gambut.

Mengapa restorasi lahan gambut perlu dilakukan? Hal ini dikarenakan gambut memiliki banyak fungsi penting bagi kelestarian lingkungan maupun masyarakat. Gambut mampu menjaga lingkungan dari perubahan iklim dengan luas gambut yang hanya 3% di seluruh dunia mampu menyerap sebanyak 550 gigaton karbon atau sekitar 30% karbon yang berada di tanah di seluruh dunia. Hutan gambut memiliki daya serap yang tinggi, bahkan mampu menampung air sebanyak 450-850% dari bobot keringnya atau kurang lebih 90% dari volumenya sehingga mampu mengurangi dampak buruk akibat banjir dan kemarau. Selain itu, manfaat gambut lainnya adalah tumbuhnya berbagai jenis tanaman bernilai ekonomi tinggi di lahan gambut. Bahkan, tanah gambut merupakan habitat alami beberapa tanaman seperti rotan, karet, nanas, rumbia, tebu, sagu, kalapapa, kapur naga, dan lain lain.

Restorasi gambut bukan hanya tentang memperbaiki kerusakan, tetapi juga tentang membangun masa depan yang lebih baik. Setiap Tindakan kecil kita, seperti tidak membakar lahan dan mendukung produk ramah lingkungan, berkontribusi besar dalam menyelamatkan ekosistem gambut. Mari kita tingkatkan kesadaran akan pentingnya gambut dan mendorong pemerintah, perusahaan, serta masyarakat untuk terlibat aktif dalam upaya restorasi lahan gambut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun