Bayangkan anda baru saja menyelesaikan karya seni anda, karya tersebut butuh waktu selama berbulan-bulan hingga akhirnya mencapai hasil yang sempurna. Namun, dalam hitungan beberapa menit ada seseorang yang menggambil karya anda kemudian mengklaim karya tersebut sebagai karya mereka kepada banyak orang. Bagaimanakah perasaan anda? Rasanya tidak etis bukan, mengambil karya orang lain tanpa izin lalu mengambil kredit atas karya tersebut? Begitulah hal yang menjadi tantangan pada komunitas menggambar digital. Banyak orang yang salah memanfaatkan artificial intellenge dalam pembuatan karya seni. Karya seni merupakan hasil dari ide manusia dan "karya" buatan artificial intellegence tidak masuk ke dalam kategori tersebut.
Bagaimana orang-orang bisa sampai salah dalam pemanfaatan teknologi artificial intellegence? Semudah mengetikan beberapa kata yang disebut prompt dan muncul beberapa hasil gambar, kemudian mengunggah gambar tersebut ke media sosial dan mengambil klaim atas kepemilikikan gambar tersebut. Kalimat "teknologi mempermudah segalanya" sangat nampak jelas dalam konteks ini. Alih-alih belajar caranya menggambar dan menciptakan karya, orang-orang yang salah memanfaatkan artificial intellegence malah mencari jalan instan untuk membuat karya mereka.
Tindakan miris ini semakin diperparah dengan tingkah laku para pelaku yang menyetarakan diri mereka seperti seniman lainnya. Mereka merasa penggunaan artificial intellegence pada konteks ini adalah hal yang sah-sah saja dan merupakan hal yang sama dengan apa yang dilakukan seniman lainnya. Disaat orang lain bersusah payah membuat karya mereka dalam waktu yang tidak singkat serta memerlukan banyak keahlian yang mereka capai dan merupakan hasil dari kemampuan yang telah mereka latih, pelaku pengguna artificial intellegence yang hanya mengetikan beberapa kata pada prompt tentu tidak bisa disetarakan usahanya.
Fenomena "Seniman" Artificial Intellegence
Layaknya suatu perdebatan, fenomena ini menimbulkan dua kubu, yakni kubu pro dan kontra pada AI Art. Contoh kasusnya adalah @RogerHaus pada platform X, ia memposting gambar seorang perempuan dan seekor kucing hitam. Postingan ini mendapat disukai 148 ribu orang dan 1.200 komentar yang datang dari masing-masing sisi, ada beberapa pengguna yang mensupport apa yang Roger posting dan ada pula yang membencinya hingga menimbulkan tren "AI HATE" dengan menggambar hal yang sama dengan apa yang Roger poster tetapi dari berbagai versi dan tentunya merupakan hasil dari karya buatan manusia.
Juga pada platform yang sama di tanggal 23 mei 2024, akun dengan username @petravoice mengunggah sebuah tweet dengan caption "art vs artist" yang kemudian menuai banyak komentar dari masing-masing sisi pula. Petra adalah contoh seorang "seniman" yang salah dalam pemanfaatan artificial intellegence. Dalam postingan tersebut ada orang-orang yang memuji hasil "karya" petra dan ada juga yang mengatakan bahwa apa yang Petra hasilkan bukanlah suatu karya. Contohnya pada komentar dari @Bweefi "get outta here you're not an artist when you use ai generated imaged" jika diartikan menjadi "kamu bukanlah seorang seniman jika kamu menggunakan  gambar yang dihasilkan ai". Banyak dari postingan Petra yang memiliki gaya yang mirip, hal ini menimbulkan pertanyaan, siapakah seniman asli yang memiliki gaya menggambar seperti itu?  Miris bila dibayangkan seorang seniman yang telah susah melatih keahliannya, akhirnya tidak mendapat atensi yang seharusnya mereka dapatkan atas karyanya, malah seseorang yang hanya mengetikan beberapa kata dan mengaku menjadi seorang seniman yang mendapat banyak perhatian dari internet.
Greg Rutkowski, merupakan seniman asal Polandia yang memiliki gaya dalam menggambar yang unik dan namanya menjadi populer digunakan untuk membuat prompt di artificial intellegence. Contohnya coba anda ketikan prompt "naga terbang dan kastil di belakangnya Greg Rutkowski" di mesin penghasil gambar artificial intellegence, maka akan keluar gambar seperti yang telah diketikkan pada prompt dan gambar tersebut memiliki gaya yang Rutkowski biasa gambarkan. Dikutip dari technologyreview.com pada artikelnya yang berjudul "This artist is dominating AI-generated art. And he's not happy about it" Rutkowski mengatakan "It's been just a month, what about in a year? I probably won't be able to find my work out there because (the internet) will flooded with AI art, that's concerning". Pernyataan tersebut seperti mimpi buruk bagi para seniman, saat karya mereka terlalu banyak di salin oleh AI hingga saat dicari di mesin pencarian Google kebanyakan yang muncul bukan lagi karya mereka, melainkan karya AI
Kesalahan Persepsi dan Teori Public Sphere
Fenomena ini secara tidak langsung menciptakan kesalahan persepsi yang berujung pada pembohongan publik. Kesalahan persepsi disini datang dari orang awam yang tidak begitu mengerti tentang seni, mereka yang melihat karya artificial intellegence ini menjadi berfikir "ini adalah karya yang bagus" tanpa tahu bahwa karya tersebut bukanlah buatan manusia. Seniman pemula yang ingin belajar gaya menggambar yang serupa jadi jatuh dalam perangkap ini juga. Orisinalitas karya seni menjadi pertanyaan juga disini, etiskah apabila seseorang yang hanya menggunakan mesin penghasil gambar pada AI mengaku mereka adalah seorang seniman, sedangkan artificial intellegence sendiri dalam menghasilkan gambar menggunakan data yang ada di internet dan merupakan sekumpulan gaya dari seniman lainnya.
Fenomena ini juga menimbulkan teori komunikasi public sphere dimana perdebatan di internet dibagi menjadi dua kubu dan apabila diperhatikan tidak ada kelompok yang dominan disini, masing-masing kubu memiliki pendukung yang sama besarnya. Menjadi pertanyaan mengapa masih ada seseorang yang berpihak pada kubu pro AI. Mereka berpikir inilah masa depan, sama seperti saat komputer pertama kali diciptakan, orang-orang merasa aneh karena tidak seperti mesin ketik yang menghasilkan tulisan dalam bentuk fisik, dalam komputer hanya berbentuk data-data dan sama seperti banyak pekerjaan kasar yang kini mulai tergantikan oleh mesin-mesin. Hal tersebut tentu terdengar menyeramkan, apakah pekerjaan seorang seniman akan tergantikan oleh suatu mesin penghasil data? Apakah di masa depan karya seni hanya sebuah gambar yang dihasilkan suatu mesin tanpa arti yang bermakna?
Semua pertanyaan-pertanyaan itu bagai benang kusut yang tak berujung, semua pertanyaan yang telah terjawab akan menghasilkan pertanyaan lain. Artificial intellegence merupakan mesin yang sudah dilatih untuk menciptakan sesuatu berdasarkan data yang telah ada, maka dapat diambil kesimpulan bahwa gambar yang dihasilkan artificial intellegence merupakan sekumpulan plagiarisme dari karya orang lain. Lalu, apa yang membedakan seseorang ketika menggambar dengan meniru gaya gambar orang lain? Jika meniru secara menyeluruh dan tanpa memberikan kredit, hal itu disebut plagiarisme juga. Tetapi, jika seseorang hanya meniru sebagian dan tetap memberikan kredit kepada seniman yang menjadi inspirasinya tentu akan menjadi cerita yang berbeda. Sebenarnya sah saja memanfaatkan artificial Intellgence dalam membuat karya, seperti mencari teknik terbaik dalam menggambar sesuatu. Dalam konteks ini, AI hanya sebagai alat pembantu dan penciptaan karyanya tetap dilakukan oleh manusia. Namun yang menjadi perdebatan, banyak orang yang sepenuhnya menggunakan AI untuk membuat karya kemudian mengunggahnya di Internet dan mengklaim bahwa itu karya mereka yang sah.
Jujur adalah hal yang utama dalam segala kegiatan. Apabila seseorang mengklaim karya yang bukan hasil dari jerih payahnya sendiri tentu bukan sebuah kejujuran. Perkembangan teknologi nampak makin hari makin terus berkembang dan hal tersebut tak dapat dihindarkan, namun hal itu kembali lagi kepada kita sebagai pengguna, apakah kita dapat memanfaatkan teknologi tersebut dengan sebaik-baiknya. Artificial Intellegence harusnya hanya menjadi alat untuk membantu kita dalam melakukan sesuatu, bukan malah menjadi pengganti pekerjaan kita. Jadi, marilah manfaatkan teknologi artificial intellegence dengan sebaik-baiknya dan jangan membuat "karya" seni hanya dengan mesin penghasil gambar AI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H