Mohon tunggu...
NAYLA AMALIA FITRI
NAYLA AMALIA FITRI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Hubungan Internasional Universitas Tanjungpura

Saya adalah seorang Mahasiswa Hubungan Internasional di Univeritas Tanjungpura

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kekuasaan dan Kemanusiaan: Konflik Antara SAF dan RSF di Sudan

24 Mei 2024   17:29 Diperbarui: 24 Mei 2024   17:30 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: CNBC Indonesia)

Ketegangan antara Sudanese Armed Forces (SAF) dan Rapid Support Forces (RSF) yang menjadi sorotan dunia, memperlihatkan situasi politik dan militer di Sudan serta dampak bagi kehidupan rakyatnya. Negara yang terletak di Afrika Utara ini kini terjebak dalam krisis kemanusiaan yang parah. Ribuan orang kehilangan nyawa dan jutaan orang terpaksa mengungsi demi keselamatan.

Sejak kemerdekaannya dari Inggris dan Mesir pada tahun 1956 Sudan sudah diwarnai oleh konflik internal dalam negeri seperti perebutan kekuasaan, serta intervensi militer yang tak kunjung usai. Pemerintahan yang kerap kali berubah melalui kudeta atau revolusi juga meninggalkan jejak ketidakstabilan dalam struktur negara tersebut.

Pada tahun 2013, mantan Presiden Omar al-Bashir membentuk Rapid Support Forces (RSF) sebagai tanggapan terhadap pemberontakan di Darfur. RSF awalnya merupakan kelompok militan yang sering dikenal sebagai Janjaweed. Pemerintah mengakui RSF sebagai kekuatan resmi untuk menjaga keamanan. Namun, langkah ini justru memperburuk krisis kemanusiaan di Darfur, kelompok militant ini malah sering terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia, termasuk pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pengusiran paksa penduduk sipil.

Pada tahun 2015, RSF diangkat menjadi pasukan reguler oleh pemerintah Sudan, memperkuat peran mereka dalam militer negara tersebut. Ini menimbulkan kekhawatiran serius dari masyarakat internasional karena reputasi RSF yang penuh kebrutalan. Meskipun pemerintah berusaha melegitimasi RSF sebagai penjaga perdamaian, kenyataannya kehadiran mereka membawa lebih banyak penderitaan bagi rakyat Sudan yang terlantar.

Pada tahun 2017, RSF diberi status sebagai pasukan keamanan independen, yang memberi mereka kekuatan lebih besar untuk beroperasi di seluruh Sudan. Hal ini memicu perdebatan luas tentang peran RSF dalam struktur keamanan negara tersebut. Banyak yang menuduh RSF menggunakan kekuatan mereka untuk kepentingan politik dan finansial pribadi, daripada untuk kepentingan nasional.

Di sisi lain, Sudanese Armed Forces (SAF), yang telah menjadi kekuatan dominan dalam politik Sudan sejak kemerdekaannya, menghadapi tantangan yang serius dari RSF. Dulu dianggap sebagai penjaga stabilitas dan keamanan negara, SAF kini terjebak dalam pertarungan kekuasaan dengan RSF, menciptakan ketegangan dan konflik internal yang semakin memburuk.

Pada tahun 2019, SAF memainkan peran kunci dalam penggulingan rezim al-Bashir setelah berabad-abad berkuasa. Protes massal yang dipimpin oleh warga Sudan dari berbagai lapisan masyarakat menuntut perubahan politik dan demokratisasi yang sejati. Meskipun penggulingan al-Bashir dianggap sebagai langkah positif menuju demokratisasi, kevakuman kekuasaan yang dihasilkan telah menciptakan kekacauan politik di Sudan, memperdalam ketegangan antara SAF dan RSF.

Puncak ketegangan antara SAF dan RSF terjadi pada April 2023 di ibu kota Sudan, menandakan bahwa konflik internal Sudan semakin sulit untuk diatasi. Bentrokan bersenjata antara kedua pasukan ini bukan hanya mengancam stabilitas politik negara, tetapi juga memicu krisis kemanusiaan yang lebih dalam. Ribuan warga Sudan menjadi korban, baik akibat kekerasan langsung maupun dampak tidak langsung seperti kelaparan, penyakit, dan kehilangan tempat tinggal.

 Dalam konfrensi pers PBB di Jenewa, yang diadakan pada hari Jumat 17 Mei 2024, Shible Sahbani perwakilan World Health Organization (WHO) di Sudan melaporkan, setidaknya terdapat 16.000 korban jiwa dan 33.000 lainnya mengalami luka-luka, Sahbani juga melampirkan krisis pengungsian terbesar di dunia yang dimana mencapai 17%  populasi berpindah dari tempat tinggal asalnya.

Krisis kemanusiaan di Sudan semakin diperburuk oleh kekurangan pasokan makanan, air bersih, dan perawatan medis yang memadai. Banyak wilayah di Sudan mengalami kelaparan dan kekurangan air bersih, meningkatkan risiko malnutrisi dan penyebaran penyakit yang sebenarnya bisa dicegah. Pemerintah Sudan dan lembaga bantuan internasional berusaha keras menyediakan bantuan, tetapi akses yang terbatas dan kondisi keamanan yang buruk terus menghambat upaya penyelamatan.

Dari perspektif geopolitik, konflik di Sudan menarik perhatian banyak negara dan organisasi internasional. Sudan memiliki posisi strategis di Afrika, dan stabilitas politiknya memiliki dampak luas di kawasan tersebut. Negara-negara tetangga seperti Mesir, Ethiopia, dan Eritrea memiliki kepentingan strategis di Sudan, baik dalam hal keamanan, perdagangan, maupun sumber daya alam.

Selain itu, negara-negara di Timur Tengah seperti Uni Emirat Arab dan Arab Saudi juga memiliki kepentingan ekonomi dan politik di Sudan. Sudan memiliki cadangan air yang besar dan potensi pertanian yang besar, membuatnya menjadi target investasi bagi negara-negara Teluk yang mencari sumber daya alam dan pasar baru untuk ekspansi ekonomi mereka. Keterlibatan aktor-aktor regional ini dapat memperumit konflik Sudan dengan meningkatkan rivalitas politik dan persaingan kepentingan di negara tersebut.

Di sisi lain, organisasi internasional seperti PBB, Uni Afrika, dan Uni Eropa juga memainkan peran penting dalam upaya penyelesaian konflik di Sudan. PBB telah mengirimkan misi perdamaian dan bantuan kemanusiaan ke Sudan untuk membantu menstabilkan situasi dan memberikan bantuan kepada warga yang terkena dampak konflik. Uni Afrika juga terlibat dalam upaya mediasi antara pihak-pihak yang bertikai untuk mencapai kesepakatan damai yang berkelanjutan.

Namun, meskipun upaya-upaya ini telah dilakukan, kesulitan tetap ada dalam mencapai perdamaian yang berkelanjutan di Sudan. Tantangan terbesar adalah ketidaksepakatan antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, serta kepentingan eksternal yang memperumit situasi. Selain itu, ketegangan antara SAF dan RSF, dua kekuatan militer terbesar di negara itu, mempersulit upaya untuk mencapai kesepakatan politik yang stabil.

Untuk mengatasi konflik di Sudan, penting untuk mengadopsi pendekatan yang inklusif dan berkelanjutan. Hal ini melibatkan semua pihak yang terlibat dalam konflik, termasuk pemerintah Sudan, kelompok oposisi, kelompok etnis, dan masyarakat sipil, dalam proses perdamaian. Selain itu, diperlukan dukungan penuh dari komunitas internasional, termasuk negara-negara tetangga dan organisasi internasional, dalam mendukung upaya perdamaian di Sudan.

Salah satu langkah konkret yang dapat diambil adalah dengan memperkuat peran PBB dan Uni Afrika dalam mediasi konflik di Sudan. PBB dapat meningkatkan kehadiran dan kapasitas misi perdamaian mereka di Sudan untuk membantu menjaga perdamaian dan keamanan di negara tersebut. Sementara itu, Uni Afrika dapat memperluas peran dan mandat Komite Tinggi untuk Sudan dalam mendukung upaya perdamaian di negara itu.

Selain itu, diperlukan juga upaya untuk meningkatkan dialog politik antara pemerintah Sudan dan kelompok oposisi untuk mencapai kesepakatan politik yang inklusif dan berkelanjutan. Dialog politik ini harus melibatkan semua pihak yang terlibat dalam konflik dan memperhitungkan kepentingan semua kelompok etnis dan agama di Sudan.

Dalam jangka panjang, pembangunan institusi politik yang kuat dan inklusif di Sudan adalah kunci untuk menciptakan perdamaian yang berkelanjutan di negara itu. Ini termasuk memperkuat lembaga-lembaga demokratis, membangun kepercayaan antara berbagai kelompok etnis dan agama, serta mempromosikan hak asasi manusia dan keadilan sosial.

Selain itu, sangat penting untuk mengatasi akar penyebab konflik di Sudan, termasuk ketidaksetaraan ekonomi, ketidakadilan politik, dan ketegangan antar kelompok etnis dan agama. Diperlukan langkah-langkah konkret untuk meningkatkan akses pendidikan, pekerjaan, dan layanan dasar bagi semua warga Sudan, serta mempromosikan inklusi sosial dan politik bagi semua kelompok di negara tersebut.

Di tingkat internasional, komunitas internasional harus terus mendukung upaya perdamaian di Sudan dengan memberikan bantuan kemanusiaan, pembangunan, dan rekonsiliasi. Negara-negara tetangga dan organisasi internasional juga harus bekerja sama dalam memperkuat peran PBB dan Uni Afrika dalam mediasi konflik di Sudan, serta mempromosikan dialog politik dan perdamaian di negara tersebut.

Dengan kerja sama dan komitmen global, Sudan dapat mencapai perdamaian yang berkelanjutan dan stabil untuk kebaikan semua warga negara. Hanya dengan menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif, Sudan dapat membangun kembali masyarakat yang damai dan sejahtera bagi generasi mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun