Dakwahtainment adalah gabungan dari bahasa Arab dan Inggris, yang berarti ajakan, seruan, panggilan, atau undangan. Dalam etimologi, dakwah juga bermakna do'a. Praktiknya, dakwah adalah penyebaran Islam, yang dalam perspektif Islam merupakan kewajiban bagi umat Islam untuk mengajak orang lain beribadah kepada Allah. Kata "tainment" berasal dari bahasa Inggris "entertainment," yang berarti hiburan atau pertunjukan (Sofjan, 2013:215).
Dalam perkembangan dakwahtainment saat ini, masyarakat Muslim Indonesia mulai memperbincangkan kembali munculnya beberapa film bernuansa dakwah atau setidaknya yang berpenampilan Islami. Film-film seperti Ayat-Ayat Cinta, Kun Fayakun, Para Pencari Tuhan, Mengaku Rasul, Kiamat Sudah Dekat, dan Wanita Berkalung Sorban, telah dianggap oleh masyarakat Islam Indonesia sebagai film Islami. Dengan demikian, tujuan dakwah untuk memperbaiki tatanan masyarakat, baik secara personal maupun sosial, dapat tercapai (Abdul Basit, 2005).
Terlebih lagi di era global saat ini, teknik dan strategi dakwah harus menyesuaikan dengan perkembangan teknologi informasi yang cepat dan perubahan pola budaya masyarakat yang semakin tidak terkendali, mengarah pada hedonisme, kapitalisme, individualisme, dan konsumerisme. Hal ini tentunya membutuhkan perhatian serius dari para pendakwah. Mungkin dalam konteks ini pula, akhir-akhir ini muncul model dan teknik baru dalam berdakwah, seperti dakwahtainment (Muri’ah, 2000:53).
Hamzah Yaqub mengklasifikasikan media sebagai sarana dakwah menjadi tiga jenis: Pertama, "Spoken Words," yakni media dakwah berbentuk ucapan atau bunyi yang ditangkap oleh indera telinga, seperti radio dan telepon. Kedua, "Printed Writing," yaitu media dakwah berbentuk tulisan, gambar, atau lukisan yang ditangkap oleh indera mata. Ketiga, "The Audio Visual," yakni media berbentuk gambar bergerak yang dapat dilihat dan didengar, seperti televisi, film, dan video. Hamzah Yaqub juga membagi media dakwah menjadi media tradisional dan modern. Media dakwah sangat beragam, mulai dari kentongan, beduk, pagelaran kesenian, surat kabar, papan pengumuman, majalah, film, radio, hingga televisi. Semua ini dapat diklasifikasikan sebagai media tulisan atau cetak, visual, aural, dan audiovisual. Untuk mencapai sasaran dakwah, dapat dipilih salah satu atau kombinasi dari beberapa media, bergantung pada tujuan, pesan dakwah, serta teknik yang akan digunakan (Yaqub, 1992).
Penggunaan teknologi untuk memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat Indonesia terus berkembang sebagai konsekuensi modernisasi. Dakwah melalui televisi, radio, dan media elektronik lainnya sudah lazim dalam komunikasi dan penyiaran Islam. Kebutuhan masyarakat akan penguatan spiritual mendorong inovasi dalam metode dakwah yang efektif dan sesuai dengan kebutuhan pasar. Sebagian besar masyarakat Indonesia sudah sangat akrab dengan acara pengajian di berbagai stasiun televisi, baik negeri maupun swasta, yang mengusung beragam tema agama dalam format dakwah satu arah maupun interaktif (Sugandi, 2002).
Keterlibatan dakwah islam dalam industri hiburan bagi sebagian orang mungkin tampak sebuah kewajaran dalam konteks tatanan demokrasi, dimana agama masih berperan besar dan berpengaruh. Kebutuhan masyarakat akan penanaman nilai spiritual sebagai aktualisasi dari pemenuhan kebutuhan pada aspek perkembangan keberagamaan adalah hal yang mutlak dalam suatu pembangunan mental masyarakat. Pemanfaatan teknologi dalam pemenuhan kebutuhan spiritual tersebut terus mengalami perkembangan akan eksistensinya sebagai konskwensi modernisasi zaman.
Dakwahtainment sebagai kemasan dakwah di televise merupakan salah satu warna dari perkembangan media dakwah melalui pemanfaatan teknologi komunikasi massa. Menselaraskan model yang modern dalam kemasan dakwahtainment dengan tetap bersikap konsisten terhadap penegakan nilai-nilai yang dimiliki Islam adalah sikap yang bijak. Usaha yang bijak sebagaisolusi dalam mensikapi dilemma tersebut adalah memposisikan dakwahtainment sebagai model dakwah yang berwibawa, memiliki keagungan dalam performance, konsisten terhadap tujuan yang terdapat dalam dakwah, serta mengedepankan profesionalisme bagi para da’ serta elemen yang terlibat didalamnya. Pada dasarnya melakukan dakwah dengan pendekatan dakwahtainment dalam konteks perspektif Islam memang memiliki keuntungan juga kerugian. Karena kalau kita berkaca dengan cakupan audien pasti lebih banyak memperoleh sambutan dari masyarakat, akan tetapi walaupun begitu feedback yang ditunjukkan oleh masyarakat tentang keterkaitan antara dakwahtainment pastinya kabur dari genggaman seorang da’i, sebab konteks ini audien tidak berhadapan langsung dengan sang da’i. Di sisi lain, dengan fenomena yang terdapat dalam dakwahtainment saat ini, tentunya tidak dapat dipungkiri bahwa model dakwahtainment bila tidak berpijak pada tujuan dari dakwah yang seutuhnya, maka kerap memiliki kekaburan esensi dan tujuan yang ingin di capai dari tujuan dakwah. Interfensi dari hal-hal yang bersifat materialistis, hedonisme, dan kapitalis kerap menjadi kontributor yang ikut mengais sajian dakwahtainment.
Tentunya hal ini akan menjadi ancaman bagi eksistensi nilai dakwah yang luhur dan bermartabat. Memang bukanlah hal yang mudah untuk melepaskan secara utuh peran dari unsur yang bersifat materialistis dalam sebuah model dakwahtainment mengingat tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan suatu acara khususnya di stasiun televisi, maupun media-media elektronik lain sering disandarkan pada peran keikutsertaan iklan sebagai pendukung dari keberlangsungan acara itu sendiri. Disisi lain, menarik tidaknya suatu acara juga sering tidak terlepas dari bagaimana acara itu disajikan oleh elemen-elemen yang terlibat didalamnya seperti penyiar (pembawa acara), artis atau actor, musisi yang terlibat didalamnya. Kondisi tersebut sering menjadi dilematis bagi para dai maupun eksistensi dari nilai dakwah yang di bawakan terlebih bila pelaku dakwah tidak dapat mengatisipasi keberadaannya agar tetap sesuai dengan nilai-nilai yang dimiliki Agama Islam seperti konsistensi dalam berhijab, kesederhanaan dalam (bertabarruj) berhias, zuhud, dan nilai-nilai keluhuran yang terdapat dalam Islam yang harus melekat pada para da’i maupun yang terlibat dari program acara dakwah di media. Hal ini perlu dilakukan di atas kesadaran dakwah melalui media oleh para da’i dan juga oleh para praktisi media. Inilah kesadaran baru yang perlu dijalankan dalam dakwah islamiyah sehingga fenomena social yang berkembang berupa ‘tontonan dadi tuntunan dan tuntunan dadi tontonan’ dapat direkayasa demi mewujudkan masyarakat yang berpegang pada
nilai-nilai luhur agama Islam.
Dengan demikian tuntunan agama secara perlahan akan bisa dilaksanakan karena ditunjukkan secara perlahan melalui media termasuk melalui tayangan dakwahtainment, dakwah yang dikemas dengan nuansa nasehat, bimbingan maupun hiburan sehingga menjadi cermin kehidupan. Sedangkan tontonan menjadi sebuah tuntunan yang baik dalam perspektif Islam, karena tontonan dengan nuansa Islami yang ada merupakan
hiburan yang sehat bagi kita semua. Sebagai salah satu metode dakwah yang cukup strategis, dakwahtainment sangat membantu dalam proses proses pembangunan spiritual bagi sebagian kalangan masyarakat kita.