Mohon tunggu...
Nayla Adeliyanti
Nayla Adeliyanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Islam Sultan Agung. Dosen Pengampu: Dr. Hj. Ira Alia Maerani, S.H.,M.H.

Cewek Gemini, hobinya makan sambil baca novel romance; humor

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ketimpangan Sosial yang Dialami Guru Honorer dengan Nilai Sila Kedua Pancasila

24 Desember 2024   16:00 Diperbarui: 24 Desember 2024   16:11 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Ketimpangan sosial yang dialami oleh guru honorer di Indonesia mencerminkan  bagaimana berjalannya nilai keadilan dan kemanusiaan berdasarkan kandungan nilai sila kedua Pancasila.

Sebagai pilar pendidikan bangsa, guru honorer mengemban tanggung jawab yang sangat besar. Mereka mengabdikan diri untuk mencerdaskan anak bangsa dengan penuh dedikasi, bahkan sering kali diberikan tugas yang melampaui tanggung jawab mereka. Ironinya, mereka sering kali dihadapkan pada perlakuan tidak adil, baik dalam segi upah, perlindungan kerja, maupun pengakuan sebagai profesional.

Di tengah banyaknya berita yang beredar di media sosial, kasus Supriyani, seorang guru honorer yang dituduh melakukan penganiayaan, menjadi sorotan utama. Kasus ini mendesak kita untuk merenungkan ketimpangan sosial terkait dengan pengamalan sila kedua Pancasila. Supriyani, yang telah mengabdikan 16 tahun hidupnya di SDN 4 Baito, dituduh memukul seorang siswa kelas 1 berinisial MC, yang merupakan anak personel Kepolisian di Polsek Baito.

Meski diberitakan seperti itu, Supriyani yang sempat ditahan, tetap bersikukuh tidak pernah melakukan pemukulan terhadap MC, didukung oleh sejumlah saksi yang membuktikan ketidakbenaran tuduhan itu. Pihak LBH Himpunan Advokat Muda (HAMI) sebagai kuasa hukum Supriyani, menemukan  banyak kejanggaalan dalam kasus ini.

Salah satu titik perhatian dalam kasus ini adalah pengakuan awal MC pada ibunya yang menyatakan luka di pahanya ia dapat karena jatuh di sawah. Namun setelah mendapat tekanan dari Ayahnya, anak tersebut mengubah pengakuan dan menyatakan ia telah dianiaya oleh Supriyani.

Tuduhan itu terjadi pada pukul 10. 00 Wita, padahal menurut LBH, di waktu tersebut tidak mungkin terjadi, karena pada hari itu  Supriyani sedang berada di kelas lain dan seluruh siswa telah dipulangkan.

Supriyani mengungkapkan bahwa ia diminta untuk mengakui tuduhan penganiayaan selama proses penyidikan. Ia menegaskan bahwa ia tidak pernah melakukan penganiayaan terhadap korban, dan permintaan maaf yang ia sampaikan disalahartikan oleh pihak pelapor sebagai pengakuan atas perbuatan tersebut.

Sebelum dilakukan penyidikan, Upaya mediasi telah dilakukan beberapa kali, namun pihak pelapor menolak berdamai sehingga proses hukum pun berlanjut.

Dalam kasus Supriyani juga tercium dugaan pemerasan, hal ini terkait dengan adanya permintaan dari pihak pelapor untuk membayar denda sebesar Rp. 50 juta jika ingin berdamai. Karena pihak sekolah menyanggupi untuk membayar Rp 10 juta, pihak pelapor menolak berdamai karena tuntutan denda yang dimintanya tidak dapat dipenuhi.

Kasus ini menunjukkan ketimpangan sosial yang dialami oleh guru honorer, yang sangat bertentangan dengan cita-cita keadilan dan kemanusiaan yang dijunjung tinggi dalam Pancasila.

Reaksi atau intervensi yang dilakukan Orangtua MC terhadap Suryani dinilai berlebihan dan tidak proporsional karena dapat membahayakan berjalannya proses Pendidikan.

Saat ini, para guru menghadapi beban yang sangat berat dan berbagai tantangan dalam membimbing siswa. Mereka sering kali kekurangan kekuatan untuk memberikan sikap disiplin yang diperlukan, karena fenomena di mana orang tua cenderung memperbesar masalah secara hukum alih-alih menyelesaikannya dengan pendekatan kekeluargaan.

Terlebih lagi, minimnya honor guru honorer, permintaan denda sebesar Rp 50 juta, jelas mencerminkan ketidakpedulian yang sangat memprihatinkan terhadap harkat dan martabat seorang pendidik. Bahkan banyak di antara mereka yang terpaksa mencari pekerjaan sampingan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, karena gaji yang diperoleh tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokok.

Jika setiap Tindakan yang diterapkan guru selalu mendapatkan sorotan dan dipertanyakan, hal ini akan berdampak buruk pada perkembangan moral generasi muda di Indonesia. Siswa kehilangan rasa tanggung jawab, karena merasa bahwa orangtua akan selalu melindungi meskipun sang anak telah berbuat kesalahan.

Pemberitaan kasus Supriyani dan ketidakadilan yang dialami oleh guru honorer menjadi sebuah seruan bagi Masyarakat untuk lebih peduli terhadap Nasib tenaga pendidik. Pemerintah juga dihimbau untuk merancang sistem Pendidikan yang seimbang, antara hak guru untuk mendisiplinkan siswa dan hak orang tua untuk melindungi anak anak mereka.

Di samping itu, pemerintah sebaiknya menyediakan tunjangan kesejahteraan seperti asuransi kesehatan dan jaminan pensiun kepada guru honorer, agar mereka dapat meningkatkan kualitas hidup. Pelatihan dan kesempatan pengembangan profesional juga perlu diberikan, sehingga para pendidik dapat meningkatkan kemampuan mengajar dan memperoleh keterampilan berharga yang meningkatkan daya saing mereka di dunia kerja.

Langkah-langkah perlindungan ini harus dilaksanakan dengan cermat untuk mengatasi ketimpangan sosial yang dihadapi oleh guru honorer, sejalan dengan prinsip-prinsip Pancasila, khususnya sila kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

Dari kasus Supriyani,terdapat pesan moral yang mengingatkan kita akan pentingnya menghormati dan mendukung tenaga pendidik dalam menjalankan tugas mereka untuk mencerdaskan anak-anak bangsa, baik secara intelektual maupun moral.

Dalam kitab Ta'lim Muta'allim diterangkan bagaimana adab seorang santri terhadap gurunya. Diantaranya adalah: 1). Menghormati dan ta'zhim kepada guru, meskipun hanya mengajarkan satu huruf; 2). Tidak berjalan di depan guru, sebagai bentuk penghormatan; 3). Mencari keridhaan guru dengan menjalankan perintahnya dan menghormati sanak keluarganya; 4). ) Menghindari tindakan yang dapat melukai hati guru agar memperoleh keberkahan dari ilmunya; 5) Memberikan hadiah kepada guru sebagai bentuk penghormatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun