Salah satu daerah yang memiliki adat istiadat yang kental hasil dari nenek moyang mereka, ialah Sumatera Barat. Sumatera Barat tidak hanya terkenal dengan daerah yang menyimpan pemandangan alam yang menenangkan mata, tetapi disisi lain menyimpan peraturan-peraturan yang cukup kompleks. Masyarakatnya memegang erat nilai-nilai yang diwariskan oleh generasi sebelumnya. Nilai-nilai yang diwariskan membantu untuk mengatur segala aspek seperti dalam berkeluarga, bersosialisasi, bergurau, berksenian, bersuku, dan lain banyak hal.
Dalam berkaum, setiap anggotanya memiliki posisi masing-masing bahkan penamaan. Hal ini bertujuan untuk memberikan kejelasan posisi di dalam suatu kaum tersebut. Di era modern sekarang khususnya bagi masyarakat yang tinggal di Jakarta, memanggil saudara laki-laki dari ibu atau ayah adalah om. Hal ini membingungkan. ketika ada panggilan om maka kita yang mendengarnya tidak mengetahui dari garis keturunann mana ia bersaudara. Apakah ia bersaudara dari garis ibu atau ayah. Hal ini berbeda di Minangkabau, contohnya saja pada sebutan "mamak" yakni untuk saudara laki-laki dari ibu.
Di Minangkabau peran mamak berguna untuk membantu saudara perempuan nya, apalagi jika ia mempunyai anak. Seorang mamak harus membiayai anak tersebut. Mamak merupakan orang yang membantu jika ada suatu persoalan dan mereka lah yang mencari jalan keluar untuk kemenakannya, sehingga kemenakan tersebut dapat dibimbing olehnya. Selain itu mamak juga mempunyai tugas dalam menjaga harta pusaka milik kaum.
Novel Persiden karya Wisran Hadi memiliki tema, yakni menceritakan permasalahan tokoh Malati yang sulit menemukan jalan keluarnya. Permasalahan ini dibantu oleh para mamak dari Malati. Sesuai peran mamak bagi kemenakannya yang sudah dijelaskan di atas, dalam novel tersebut juga menggambarkan bagaimana peran mamak yang dilakukan oleh tokoh Pa Tandang, Pa Rarau, Pa Ragih, dan Bang Samu. Seperti pada kutipan novel di bawah ini:
"Adat mengajarkan kepada mereka bahwa saudara laki-laki harus bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kelangsungan hidup saudara perempuan beserta anak-anaknya karena dari perempuan itulah garis turunan serta pewarisan harta pusaka ditentukan." (Hadi, 2012)
Kutipan di atas menandakan bahwa ketiga mamak tersebut tahu akan posisinya sebagai mamak yang dalam beradat itu diatur tugas dan fungsinya. Pertama, bertanggungg jawab atas saudara perempuannya, yaitu tokoh Ci Inan. Kedua, bertanggung jawab akan keberlangsungan anak dari saudara perempuannya, yakni tokoh Malati. Ketiga, menjaga harta pusaka kaum, yakni kaum Bagonjong.
Bagian pertengahan atau pada saat munculnya klimaks di dalam novel ini yakni tokoh Malati yang mulai digunjingkan orang kampungnya bahwa ia sudah hamil tetapi tidak tahu siapa yang menghamilinya. Seperti pada kutipan di bawah ini:
"Begitu juga Pa Mikie. Dia mengikuti ketentuan yang dibuat Pa Tandang. Ci inan harus datang sendiri menemuinya, bicara sebagai adik dan kakak seperti dahulu." (Hadi, 2012).
Kutipan novel di atas menunjukan usaha yang dilakukan oleh kakak beradik sebagai mamak dalam usaha mengatasi persoalan Ci Inan. Pada dasarnya semua orang Paratingga mengetahui bahwa Ci Inan dan suaminya, Pa Lendo menutupi kehamilan Malati, anaknya. Tetapi dalam waktu yang bersamaan juga menebak-nebak apakah itu benar atau tidak. Oleh karena itu, saudra laki-laki dari Ci Inan mengajaknya untuk bertemu dan membuka mulut atas permasalahan yang sedang menimpanya. Tindakan ini meunjukan bahwa mereka bertanggung jawab terhadap saudara perempuannya.
Selain itu para mamak juga melakukan tindakan bertanggung jawab kepada kemenakannya. Dalam narasi novel ini, tokoh Malati hamil dan yang menghamilinya adalah seorang guru ngaji yang bernama, Maudian. Setelah Malati melahirkan, anak nya diserahkan kepada keluarga Maudian. Tetapi karena para mamak Malati melaksanakan adat di Minangkabau maka ada usaha untuk mengurus anak tersebut dengan menanyakan keberadaan anak dari Malati kepada keluarga dari Maudian. Sepeti pada kutipan di bawah ini:
"Mereka sudah datang secara baik-baik pada Ma Nenggang ke Lubuk, tetapi tidak mendapat jawaban ya atau tidak, setuju atau tidak. Hal yang mereka usulkan seperti batu jatuh ke lubuk saja." (Hadi, 2012)
Usaha para mamak selanjutnya terkait dengan menjaga harta pusaka kaum. Seperti yang terlihat pada kutipan di bawah ini:
" Kalau suatu kaum punah, maka semua harta pusaka akan jatuh kepada anggota kaum yang lain. Kepunahan ini adalah sesuatu yang sangat mengerikan. Bila bsebuah kaum punah, harta pusakamereka berpindah tangan dan mereka tidak akan pernah lagi disebut-sebut. Kelamutan suatu turunan ditentukan ada atau tidaknya Perempuan di dalam suatu kaum." (Hadi, 2012)
Dalam kutipan diatas, hal ini sejalan dengan usaha para Mamak Malati untuk mengambil kembali anak dari Malati, dengan tujuan menjaga harta pusaka kaum. Anak Malati lah nanti yang akan menjadi pemegang harta pusaka pada generasi selanjutnya. Sehingga sebuah keturunan tetap ada dan terlihat. Lain hal nya jika mereka tidak berusaha untuk mengambil anak Malati, maka keturunan mereka akan punah dan harta pusaka akan di berikan kepada kaum yang lain sedang kaum yang memberi harta pusaka itu tidak akan pernah dikenal namanya.
Nayla Aprilia, Mahasiswi Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Andalas
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI