Mohon tunggu...
nayarazfg
nayarazfg Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Mendengar musik🎶

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketika Ayah Menghukum

5 November 2024   18:46 Diperbarui: 5 November 2024   19:06 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sore itu, seperti biasa aku, Alta, Ina, Iky, dan teman-teman lain sedang bermain di mushola. Kegiatan itu sudah menjadi rutinitas kami setiap hari, sebelum dan setelah pelajaran mengaji. Tapi hari itu sedikit berbeda. Kami harus belajar tajwid, pelajaran yang selalu membuat kami merasa bosan. Ditambah lagi, kami sudah terlambat untuk masuk ke kelas. Sepertinya, tidak ada gunanya ikut kelas hari itu. Kami pun memutuskan untuk melanjutkan bermain dan bersenang-senang.

Namun, tak lama setelah kami bermain, Rini yang memang tidak menyukai kami melihat kami melarikan diri. Dengan segera dia melaporkan kami pada Buk Sumi, pengajarku yang selalu tegas. Buk Sumi sudah pasti mengetahui apa yang terjadi, tetapi dia hanya diam saja. Mungkin dia sudah terbiasa dengan kenakalan kami. Meski begitu, aku tetap merasa sedikit cemas.

Keesokan harinya Buk Sumi memanggil kami "Kemana kalian kemarin? Seru cabutnya?" Buk Sumi menceramahi panjang lebar dengan nada sindiran.

Malam minggu, aku dan Alta, sepupuku berencana untuk menghabiskan waktu bersama setelah ngaji malam. Aku sudah merencanakan untuk tidur di rumah Alta. Kami bersama teman-teman bermain di mushola lagi, kemudian pergi makan sate. Sate yang awalnya hanya jadi acara makan malam biasa, malah menjadi momen penuh tawa dan cerita. Kami terlalu asyik ngobrol dan bercanda, sampai lupa waktu. Ketika kami akhirnya ingin pulang, malam sudah begitu larut.

"Alta, cepat! Ini sudah tengah malam, bagaimana kalau kita terkunci di luar? Ayah dan bunda pasti sudah mencari dari tadi!" kataku, cemas.

Alta dengan wajah santai seperti biasa menjawab, "Tenang aja, Na. Tadi sore aku sudah buka jendela kamarku, jadi kita bisa masuk diam-diam."

Kami berjalan kembali, mengantarkan teman-teman ke rumah mereka karena mereka takut pulang sendiri. Kami berdua tak merasa terburu-buru. Angin malam yang sejuk membuat kami berbincang santai, meski sebenarnya ada rasa cemas yang menghantui. Sesampainya di rumah Alta, aku panik. Jendela kamar Alta terkunci, dan kami tak bisa masuk. Dengan berat hati, kami terpaksa mengetuk pintu rumah.
Ayah membuka pintu dengan wajah marah, dan tanpa berkata banyak langsung bertanya "Sudah puas mainnya?"

Kami hanya diam. Ayah menatap kami, lalu berkata dengan nada tinggi, "Ayah sudah bilang jangan pulang terlalu larut! Lihat jam di tanganmu!"

"Kalian pikir, kalian bisa masuk tanpa sepengetahuan ayah?" tambahnya dengan suara yang lebih tegas.

Bunda yang berdiri di samping ayah, berbicara dengan nada lembut namun penuh kekhawatiran. "Tidak baik untukmu, Nana, pulang jam segini. Alta, seharusnya kamu tidak membawa Nana dalam kenakalanmu kali ini. Kami khawatir pada kalian. Buk Sumi dan Buk Ila bahkan sudah repot mencari kalian berdua."

Tanpa aku sadari, air mataku menetes. Aku merasa sangat bersalah. Ayah tampak sangat marah. Wajahnya memerah, dan urat-urat lehernya terlihat jelas. Semua yang terjadi malam itu seperti mimpi buruk yang harus aku terima.

Bunda menyuruh kami untuk ganti baju dan beristirahat. Kami hanya bisa diam, terlarut dalam kesalahan yang telah kami buat.
Keesokan paginya, Buk Sumi memanggil orangtua kami dan teman-teman yang lain. Dia menceritakan semua kenakalan kami belakangan ini. Aku merasa kesal, merasa Buk Sumi terlalu mengompori ayah.

"Kenapa Buk Sumi tak lebih mengerti?" pikirku dengan hati yang penuh emosi.

"Sepertinya kenakalan Nana sudah menjadi-jadi, Buk," kata ayah dengan wajah kecewa. "Untuk sementara ini, biarlah Nana mengaji di rumah saja."

Buk Ila mencoba menenangkan suasana dengan suara lembutnya. "Nana hanya perlu bimbingan, Pak. Mungkin ini karena pergaulan mereka. Wajar saja, mereka sedang masa labil."

Aku merasa kesal dan cemas. Tapi, di sisi lain, aku juga merasa menyesal. Kami memang salah. Teman-temanku juga tampak sedih. Kami tahu, inilah konsekuensinya.

Dengan suara gemetar, aku berkata, "Ayah, maafkan aku."

Ayah hanya diam, menatapku dengan tatapan yang sulit aku mengerti---entah itu tatapan marah, kecewa, atau keduanya.

"Aku tidak ingin berhenti mengaji, Ayah," kataku dengan suara parau. "Aku butuh mengaji. Aku tak ingin dilarang bertemu atau bermain dengan Alta dan teman-temanku. Aku..."

"Ayah bilang cukup, Nana," kata ayah. "Jangan buat ayah makin marah. Ayah tahu apa yang terbaik untukmu. Ini hukumanmu. Seharusnya kamu lebih banyak berpikir sebelum melakukan hal bodoh itu!"

Aku hanya bisa diam, lalu menangis. Hariku tanpa mengaji terasa hampa. Selama sebulan, aku jauh dari teman-temanku dan dari kegiatan yang selalu membuatku merasa dekat. Aku mencoba mengisi kehampaan itu dengan berbagai kegiatan, meski hatiku merasa kosong.

Namun, bulan berikutnya Buk Ila memberi kabar bahwa ada acara khatam Al-Qur'an di akhir bulan ini. Ayah dan bunda, setelah banyak pertimbangan akhirnya mengizinkanku kembali mengaji. Amarah mereka sudah mereda, dan aku merasa sangat bersyukur.

"Terima kasih, Ayah, Bunda. Aku janji akan lebih baik," kataku dengan penuh semangat.

"Jangan buat rasa kepercayaan ini hilang, Nana" jawab ayah, menatapku dengan penuh harapan.

Meski agak sulit beradaptasi setelah sebulan tak mengaji, aku berusaha keras. Teman-temanku sudah mempersiapkan khatam mereka sejak beberapa minggu lalu, dan aku merasa tertinggal. Tapi berkat tekad dan kerja keras, aku berhasil meraih juara umum saat khatam Al-Qur'an.

" Ayah bangga pada mu, Nana" kata ayah dengan wajah bahagia, penuh kebanggaan.

"Terima kasih, Ayah. Ini semua berkat dukungan kalian," jawabku dengan wajah berseri-seri.

Aku memeluk Buk Ila, terharu. "Terima kasih banyak, Buk Ila."

Buk Ila membalas pelukanku. "Terbayar sudah, Na. Ibu bangga padamu. Buat mereka terbungkam dengan pencapaianmu."

Alta, yang juga mendapatkan peringkat di bawahku bersama teman-teman yang lain turut merayakan pencapaian kami. Kami semua bahagia dengan kelulusan kami yang tinggi. Aku merasa beruntung bisa memiliki teman-teman baik seperti mereka---teman-teman yang tidak hanya ada saat senang, tetapi juga saat kami menghadapi masa-masa sulit.

Kenakalan kami, prestasi kami---semuanya menjadi bagian dari perjalanan hidup yang tak bisa dilupakan. Rasanya, rasa kecewa yang kurasakan waktu itu, akhirnya bisa diganti dengan rasa bangga yang lebih besar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun