Mohon tunggu...
Nugroho Dewayanto
Nugroho Dewayanto Mohon Tunggu... profesional -

Lahir dan besar di Yogyakarta tigapuluhan tahun silam. Memilih nama pena Nayantaka karena mengagumi tokoh Ki Lurah Semar Bodronoyo dalam kisah pewayangan. Saat ini sedang menempuh studi lanjut di bidang Teknik Kimia di sebuah universitas di negeri jiran. Beberapa tulisan di sini adalah repost dari artikel yang pernah dipublish di blog-blog pribadi terdahulu.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pasetran Gandamayit

25 November 2009   01:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:12 1108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_29007" align="alignleft" width="209" caption="Bethari Durga (koleksi Sanggar Nirmala Sari @ flickr.com)"][/caption] Jalan setapak itu sudah ada sejak aku belum lahir. Menyusur sepanjang tepian kali Progo. Berawal dari ujung kampung, merupakan akses tersingkat menuju ke pangkalan gethek yang melayani penyeberangan ke Sentolo, salah satu kota kecamatan yang cukup ramai di Kulon Progo. Jalan setapak itu bermula dari sebelah kandang sapi Pakdhe Karyo Dubruk, menurun menyusuri kontur tepian sungai, kemudian sedikit berbelok menghindari akar pohon jangkang yang mungkin sudah berusia ratusan tahun. Setelah pengkolan itu, setapak terputus oleh grojogan kecil yang mengalirkan air buangan dari kebun tebu di utara kampung. Sebagai penghubung, oleh warga sekitar dipasang dua batang glugu yang ditebang dari tepi kuburan yang berada tepat di atas grojogan itu. Selepas sudut kuburan, jalan setapak sedikit berbelok, tertutup pohon preh yang tak kalah besarnya dengan pohon jangkang di dekat grojogan. Dua belokan, serta keberadaan pohon raksasa di ujung belokan tersebut, dengan sempurna menutup akses pandangan mata pejalan kaki yang berada di antara dua pengkolan itu. Setelah pengkolan pohon preh, dua ratus meter kemudian, sampailah pada tambatan gethek yang akan menyeberangkan penduduk kampung ke dunia luar. Setiap pagi, jalan setapak itu selalu ramai. Setidaknya ada tiga kategori pelintas jalan setapak itu. Yang pertama adalah anak sekolah. Banyak anak-anak kampungku yang melanjutkan SMP di seberang sungai. Pelintas kedua adalah para ibu-ibu yang hendak ke pasar Sentolo. Mereka kebanyakan para bakul kecil yang hendak menjual hasil kebunnya, atau makanan kecil yang dibuatnya, atau juga yang hendak kulakan untuk dijual kembali di warung rumahannya. Kelompok ini akan dominan pada saat hari pasaran, yaitu Pahing dan Wage. Kelompok terakhir adalah bapak-bapak. Mereka biasanya adalah para blantik, ditandai dengan dua atau tiga ekor kambing yang mereka tuntun. Atau juga petani yang hendak ngrabuk paculnya ke tukang pande. Kategori ini punya hari keramat setiap Kliwon, dimana pasar Sentolo mendadak menjadi pusat transaksi hewan, mulai dari gemak sampai kerbau. Semakin meningkatnya mobilitas penduduk kampung, serta semakin banyaknya anak-anak sekolah, maka semakin terasa sempit jalan setapak itu. Jalan yang hanya cukup untuk satu orang, sangat meyulitkan apabila harus berpapasan dari arah yang berlawanan. Terlebih lagi jika harus berhadapan dengan mbok bakul yang menggendong sekarung brambang atau lombok kulakan dari pasar. Atau berpapasan dengan blantik yang menggiring kambing peranakan etawa. Maka rembug kampung memutuskan untuk memperlebar jalan setapak itu, setidaknya bisa untuk berpapasan dengan leluasa. Konsekuensinya, pohon jangkang dan pohon preh haruslah ditebang, karena akar-akarnya telah menyita ruang di sekitar jalan setapak. Diputuskanlah secara bulat, besok Nga’at Legi, akan dilakukan gugur gunung untuk melebarkan jalan setapak. Mas Panjul bahkan sudah tempah sinso pada Koh I Ngin untuk menebang pohon preh dan jangkang. Hari itu Jumat Wage. Dua hari menjelang gugur gunung. Warga sudah melakukan persiapan. Gergaji, pacul, arit dan linggis sudah diasah. Pakde Sastro dan Mbah Karto sudah membuat welit yang nanti akan sangat berguna untuk menebang pohon. Di rumah Pak Dukuh, simbok-simbok sudah sibuk membungkus dele yang sudah diusari, agar besok Nga’at sudah jadi tempe yang siap dimasak untuk pemasok tenaga para suami mereka. Dan hal yang tak terduga pun terjadi! Selepas subuh, Mbok Kromo dan Yu Tinah, seperti biasa, beriringan menuju ke pasar. Hari masih gelap. Memasuki pengkolan jangkang, mak jegagig! Langkah mereka berdua terhenti. Kerongkongan mereka bagai tercekat. Detak jantung serasa berhenti, sementara paru-paru mereka seolah macet menyedot oksigen dari udara. Sejenak tertegun, mereka berdua berteriak kencang, membalikkan badan dan lari sekencang-kencangnya menuju kampung. Sipat kuping. Tak perduli cemplon dan lenthuk di atas tenggok yang digendongnya berloncatan keluar. Tak perduli kaki mereka berkali-kali terantuk kerikil atau akar pepohonan. Mereka hanya ingin berlari, dan berlari. Meninggalkan sesosok tubuh yang tergantung di dahan jangkang. Bergoyang-goyang dengan kaku. Kedua kakinya menjuntai ke tanah. Seisi kampung terbangun oleh teriakan mereka berdua. Sejurus kemudian, hebohlah kampung kecil yang adem ayem itu. Berita segera menjalar ke kampung tetangga. Semua berbondong menuju pengkolan jangkang. Kami, anak-anak yang dianggap belum cukup umur, hanya bisa mendekati lokasi hingga sebelah kandang Pakdhe Karyo. Tak seorang dewasapun membolehkan kami mendekat. Selain itu, rasa takut juga terbersit di hati kami. Bahkan Mbethu, yang biasanya paling kendel, kali ini tak punya nyali untuk dekat-dekat dengan pengkolan jangkang. Dua orang polisi serta seorang berpakaian putih-putih, kami mengira mantri dari puskesmas, datang ke lokasi. Diiringi oleh pak jogoboyo dan beberapa pejabat kelurahan. Kami tak tahu apa yang dilakukan mereka. Namun akhirnya berita itu pun sampai ke kami. Kang Basiyo, anak sulung Mbah Goprak, menggantung diri. Dari sepucuk surat yang ditemui di kantung bajunya, diketahui bahwa dia patah hati akibat sir-sirannya, Mbak Sinem, kawin dengan Slamet, pedagang wungkal dari kampung sebelah. Rencana melebarkan jalan setapak pun berantakan. Jangankan menebang, tak seorangpun berani mendekati pohon jangkang itu. Anak-anak sekolah, simbok bakul atau para blantik, memilih memutar melalui jalanan tepi sawah. Meskipun lebih jauh, namun terasa lebih nyaman dan tidak menakutkan. Tak ada yang berani melewati setapak itu. Dua tahun telah berlalu. Setapak itu telah dipenuhi belukar. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Bahkan, apabila ada ayam penduduk kampung yang tersesat ke sekitar pengkolan itu, jangan harap bisa pulang. Jalmo moro jalmo mati, sato moro sato mati. Mitos dan cerita pun semakin berkembang. Pengkolan itu menjadi sasana berkumpulnya para jin setan peri prayangan. Berbagai jenis lelembut, sering sebo ke tempat itu. Maka tak heran, orang kampung kemudian menjulukinya sebagai pasetran gandamayit. Tempat Bethari Durga bersemayam. * * * * * Aku baru selesai memompa petromaks ketika Mbethu, Dabul dan Ogling datang. Kami memang bersepakat untuk nyuluh sepanjang sungai. Musim kemarau telah tiba. Debit Progo sudah berkurang banyak. Ikan-ikan sudah mulai keluar dari kedhung, dan berkeliaran di sepanjang sungai. Saat inilah yang dinanti oleh anak-anak kampungku. Pesta ikan. Beragam cara mereka lakukan untuk menangkap ikan. Mancing, nggrabyak, tawu, bendung atau mecak. Nyuluh adalah salah satu metode favorit kami. Berbekal lampu petromaks dan arit cinthuk, kami memulai perjalanan selepas Isya dari hilir menuju ke hulu. Ikan-ikan akan mendekati cahaya petromaks, dan tanpa ampun, mata arit cinthuk akan menebas putus tubuh ikan yang malang itu. Mbethu, yang tak mahir memainkan arit cinthuk, telah bersiaga di belakang kami dengan embernya untuk menangkap dan menampung ikan yang sirno margolayu tersebut. Biasanya kami nyemplung sungai dari dekat buk jumbleng, sebuah muara anak sungai di hilir kampung kami, dan setelah dua jam kami akan mentas di belakang rumah Pakde Karyo, tepat sebelum pasetran gandamayit. Salah satu alasan mengapa kami begitu tergila-gila dengan nyuluh ini, karena kami selalu dapat hasil sampingan, berupa rampasan mangga atau ketela pohon yang tertanam di sepanjang sungai. Hukum yang berlaku di kampung kami saat itu, mencuri mangga adalah halal, sepanjang tidak ketahuan atau tertangkap tangan. Maka, kadang kami pulang dengan segenggam wader atau kutuk, namun ember tetap penuh dengan mangga lemampo hasil rampasan di kebun Pakde Wito. Malam ini, kami agak telat nyemplung. Maka kami putuskan untuk tidak turun di buk jumbleng, tapi di belakang rumah Mbah Arjo, agar kami tidak kemalaman saat mentas. Sial, begitu kami turun, kami melihat telah ada sekitar tiga kerlip lampu petromaks yang bertebaran di sepanjang sungai. Kami telah keduluan kelompoknya Jendul, Glebos dan Klembak. Tandanya, kami tak akan kebagian ikan lagi, karena sudah kocar-kacir digurah mereka. Maka, sasaran pun segera dirubah. Mbethu mengajak kami untuk langsung menuju ke kebun Mbah Wito, untuk nyuluh mangga. Kami mengangguk setuju. Lampuk petromaks pun dimatikan, dan kami berjalan dalam kegelapan. Bulan tanggal 5 tidaklah cukup terang untuk bisa membedakan mana jalan berlubang atau bongkahan batu. Beruntung kami telah terlatih untuk menggunakan mata hati kami sebagai panduan berjalan dalam kegelapan. Seperempat jam kemudian, kami sampai ke tepian kebun Mbah Wito. Ada lebih dari sepuluh batang pohon mangga di sana. Petromaks kelompok-kelompok kompetitor kami masih jauh di hilir. Kami berbisik-bisik mengatur strategi. Mbethu dan Dabul kebagian tugas untuk memanjat pohon mangga. Mereka memang sangat jago dalam memanjat pohon. Kethek ogleng pun mungkin akan kalah. Ogling bertugas mengumpulkan manga yang dipetik Mbethu dan Dabul. Sementara aku, yang memang betul-betul tak bisa memanjat, bertugas sebagai telik sandi, yang mengawasi sekitar dan memberikan kode bagi seluruh anggota pasukan untuk segera ngacir apabila keadaan dirasa berbahaya. Kami mengendap-endap memasuki kebun. Semuanya berjalan lancar. Sampai akhirnya Mbethu terperosok dalam lubang, yang kelihatannya memang dibuat sebagai jebakan. Betapa kagetnya kami, ternyata di atas lubang yang ditutupi dedaunan, terdapat dadhung yang terhubung dengan kaleng-kaleng yang tergantung di atas pohon mangga. Tak ayal, suara gedombrengan membahan memecah keheningan malam. Tanpa dikomando, kami berlari sekencang-kencangnya. Di belakang, Mbah Wito keluar dari pintu rumah sambil mengacung-acungkan gembel ke arah kami. Tak lupa pisuhan-pisuhan khasnya keluar dari mulutnya. Kami terus berlari. Tanpa sadar, ternyata tinggal aku dan Mbethu yang berlari bersama. Aku tak tahu di mana Ogling dan Dabul. Entah mereka telah tertangkap Mbah Wito dan sudah dirajang-rajang, ajur sewalang-walang, atau lolos entah kemana. Aku tak sempat berpikir tentang mereka. Lari dan terus berlari. Yang penting lolos dari lubang jarum. Setengah jam sudah kami berlari. Tak kami rasakan perihnya kaki kami tergores batuan atau tertusuk duri rendhet. Suasana telah sepi. Tak terdengar lagi teriakan Mbah Wito. Kami berhenti berlari. Terduduk di akar pepohonan. Terengah-engah. Kami menenangkan hati. Diam. Dalam keheningan. Sesaat. Kami berpandangan. Menoleh ke sekeliling. Mendongak ke atas. Lebatnya daun pohon jangkang menaungi kami. Sulur-sulurnya bagaikan hendak merengkuh kami, membelai dan menenangkan hati kami. Seolah berkata, kalian aman di sini, damailah bersamaku di sini. JANGKANG! Satu-satunya pohon jangkang di kampung kami adalah di …. PASETRAN GANDAMAYIT!!! Jalmo moro jalmo mati!!! Daun-daun jangkang di atas kami seakan hendak menimbun tubuh kami. Sementara sulur-sulurnya bagaikan tangan dewi Medusa yang hendak membelit kami. Kami segera berlari. Lebih kencang dari yang tadi. Tanpa menyadari bahwa kami salah arah. Kami berlari ke arah pohon preh, bukan ke arah kampung. Kami tak sempat menoleh lagi ke belakang. Seolah seribu satu bayangan mengejar kami. Pohon preh selangkah lagi di depan kami. Dan hal yang tak terduga pun terjadi! Sebuah sosok muncul dari balik pohon preh! Bruukk! Tak ayal lagi kami menabraknya. Kami terpental dan jatuh tersungkur. Sejenak kami tak sadarkan diri. Kami pasrah. Menjadi tawanan para jin setan peri prayangan pasetran gandamayit. Pulang tinggal nama. Perlahan aku membuka mata. Gelap di sekeliling. Mataku nanar. Menatap berkeliling. Tak ada genderuwo, tak ada glundhung pringis. Tak ada pula wewe gombel. Sepi. Hanya tubuh Mbethu yang masih diam, serta sesosok tubuh yang tadi menabrak kami. Hantu macam apakah dia? Rambutnya njewowok, tangannya sedikit cekot, gigi-giginya agak tonggos. “Walah, le, bengi-bengi kok klayapan tekan kene. Nanti bopo biyungmu bingung nyari kamu lho. Ayo tak antar pulang” Aku bernapas lega. Sangat lega. Dia bukan sejenis lelembut. Dia adalah Lik Marto, tukang mancing dari kampung sebelah. Orangnya memang terkenal sangat pemberani. Bahkan dhemit ora ndulit, setan ora doyan. Mbethu menggeliat bangun. Sempat terkejut, namun setelah melihat kami, dia pun tenang kembali. Dan kami pun pulang. Melalui pasetran gandamayit. Yang tak terasa menakutkan lagi. Catatan: gethek = rakit bambu; pengkolan = belokan; grojogan = air terjun; glugu = batang pohon kelapa; jangkang, preh = pohon besar semacam beringin; bakul = pedagang; blantik = pedagang kambing/sapi; ngrabuk pacul = menajamkan cangkul; pande = penempa besi; gemak = puyuh; brambang = bawang merah; Nga’at = berasal dari kata Ahad, minggu; gugur gunung = kerja bakti; tempah = pesan; sinso = chain saw, gergaji mesin; welit = tali dari kulit bambu; dele = kedelai; usar = ragi tempe; mak jegagig = sekonyong-konyong; sipat kuping = berlari sekencang-kencangnya dengan penuh ketakutan; cemplon, lenthuk = jajanan pasar berbahan baku ketela; tenggok = keranjang bambu; kendel = pemberani; jogoboyo = bagian kemananan; sir-siran = tambatan hati; wungkal = batu asah; jalmo moro jalmo mati, sato moro sato mati = semua makhluk hidup yang datang akan pulang tak bernyawa; jin setan peri prayangan, lelembut = hantu, makhluk halus; pasetran gandamayit = dalam cerita pewayangan, adalah tempat bersemayamnya Bethari Durga, dewi segala kejahatan, pasetran identik dengan kuburan, gandamayit berarti berbau mayat; nyuluh = mencari ikan di malam hari dengan penerangan lampu untuk mengundang ikan mengerumuni lampu; kedhung = lubuk; nggrabyak = menggiri ikan ke daratan dengan menggunakan pelepah daun kelapa; tawu = menguras air; mecak = menangkap ikan dengan jaring yang dibentuk seperti ayakan arit cinthuk = semacam sabit berujung runcing, seperti clurit tapi lebih kecil sirno margolayu = mati buk = gorong-gorong jumbleng = tempat buang air besar mentas = naik ke daratan; gurah = dikacaukan; kethek ogleng = monyet gila; telik sandi = mata-mata; dadhung = tali yang terbuat dari rami; gembel = semacam kenop, tongkat pemukul pisuhan = umpatan rajang = iris ajur sewalang-walang = hancur berkeping-keping rendhet = duri kecil-kecil glundhung pringis = hantu berbentuk kepala tanpa badan, yang senantiasa tertawa meringis; wewe gombel = hantu perempuan; dhemit ora ndulit, setan ora doyan = hantu tak mau menyentuh, setan tak doyan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun