Mohon tunggu...
Naya Nazwa Haliza
Naya Nazwa Haliza Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Penulis

Ruang ini sebagai perayaan kesadaran, kawah candradimuka yang berorientasi pada hal hal menyenangkan, tidak beraturan dan menuntut isi isu ideal yang dicurahkan melalui pikirian. Dari sebuah resah dan empirisme yang kecil. Namun gemar untuk dibagikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendekatan Personal Sebagai Fundamental Pengkaderan

29 Januari 2025   10:34 Diperbarui: 29 Januari 2025   10:56 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengkaderan dalam organisasi sering kali dipahami sebagai sebuah sistem yang berulang dari generasi ke generasi. Ia adalah siklus yang terus melahirkan sosok baru, menggantikan mereka yang telah usai berjuang. Namun, dalam perjalanan panjangnya, pengkaderan sering terjebak dalam romantisme kebersamaan yang justru mengaburkan esensi fundamentalnya.

Pendekatan personal sering disebut sebagai fondasi awal dalam pengkaderan. Sebelum menyentuh ranah yang lebih masif, individu terlebih dahulu perlu didekati secara personal. Sebuah konsep yang, jika dilakukan dengan tulus, tentu dapat melahirkan kader-kader yang kuat secara ideologis maupun emosional. 

 Apakah pendekatan personal ini benar-benar terjadi dalam praktiknya? Ataukah hanya sekadar retorika indah yang mewarnai proposal kaderisasi tanpa benar-benar diterapkan?

Karena, setiap individu datang ke organisasi dengan latar belakang, motivasi dan ekspektasi yang berbeda. Idealnya, pendekatan personal harus menjadi jembatan yang menghubungkan organisasi dengan kader secara autentik, Bukan menjadi instrumen perekrutan belaka, yang dimana Individu didekati bukan untuk dipahami, tetapi untuk diarahkan sesuai kebutuhan organisasi. 

Ia tidak dimulai dengan memahami orientasi hidup kader, tetapi lebih sering dipaksakan agar sejalan dengan visi kolektif yang belum tentu relevan dengan dinamika individu. 

Jika penerapannya tidak benar maka Pendekatan personal hanya akan kehilangan maknanya. 

Dimana: kaderisasinya hanya menuntut keseragaman, bukan menerima keberagaman pemikiran. 

Lebih jauh lagi, ada pula narasi bahwa kaderisasi akan berjalan dengan baik ketika kesamaan emosi dan pemahaman telah tercapai. Ini adalah ilusi yang harus segera diurai. Penyamaan emosi bukanlah jaminan keberhasilan pengkaderan, justru dalam perbedaan dan dialektika yang sehatlah seorang kader bisa tumbuh lebih matang. 

Organisasi tidak boleh sekadar menjadi tempat yang menampung individu yang seragam pemikirannya, melainkan harus menjadi ruang yang mampu mengakomodasi keberagaman ide dan perspektif.

Jika pendekatan personal memang diklaim sebagai tahap paling dasar dalam kaderisasi, maka harus ada pergeseran paradigma.

Pendekatan personal yang sejati bukanlah tentang mengarahkan seseorang untuk menjadi bagian dari organisasi semata, tetapi tentang membantu seseorang menemukan potensinya, tentang sebuah pemahaman tentang sudut pandangnya,  entah itu sejalan atau tidak dengan kepentingan organisasi. Sebab, pengkaderan bukan tentang jumlah, bukan tentang kepatuhan, tetapi tentang bagaimana individu mampu menjadi agen perubahan yang sesungguhnya.

Apakah kita benar-benar ingin membangun kader yang mampu berpikir dan bergerak dengan independensi, atau justru ingin menciptakan sekumpulan individu yang tunduk pada satu pola pikir tanpa keberanian untuk mempertanyakan? 

Jika pengkaderan hanya dijadikan sebagai jalan untuk memperbanyak jumlah anggota tanpa membangun kedalaman intelektual dan karakter, maka yang terjadi bukanlah proses kaderisasi, melainkan sekadar proses duplikasi.

Pengkaderan yang efektif tidak boleh berhenti pada tahap pendekatan personal yang hanya menjadi basa-basi interaksi. Ia harus berkembang menjadi sistem yang membangun individu dengan kesadaran penuh akan peran dan tanggung jawabnya. Bukan sekadar memahami seseorang agar ia mau bergabung, melainkan mendampinginya agar ia mampu berdiri tegak dalam pemikirannya sendiri, bahkan jika suatu hari ia harus mengambil jalan yang berbeda dari organisasi.

Maka, sebelum berbicara tentang menyatukan emosi dan menciptakan harmoni, ada baiknya kita bertanya: Apakah pengkaderan yang kita jalankan benar-benar membentuk individu yang berpikir kritis dan bertindak mandiri? Ataukah kita hanya sedang menciptakan barisan panjang individu yang sekadar mengikuti arus, tanpa pernah benar-benar memahami tujuan dari perjalanan ini?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun