Mohon tunggu...
Naya Nazwa Haliza
Naya Nazwa Haliza Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Penulis

Ruang ini sebagai perayaan kesadaran, kawah candradimuka yang berorientasi pada hal hal menyenangkan, tidak beraturan dan menuntut isi isu ideal yang dicurahkan melalui pikirian. Dari sebuah resah dan empirisme yang kecil. Namun gemar untuk dibagikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Krisis Intelektual Mahasiwa Dibalik Gelar Akademik

26 Januari 2025   12:26 Diperbarui: 26 Januari 2025   12:26 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Istimewa | Krisis Intelektual Mahasiwa Dibalik Gelar Akademik)

Mahasiswa adalah agen perubahan, insan yang diciptakan untuk menjadi penggerak intelektual dan sosial di tengah masyarakat. Namun, di balik gemerlap gelar akademik yang dikejar dengan penuh ambisi, ada krisis yang semakin memburuk yaitu hilangnya marwah intelektual mahasiswa. 

Kita melihat fenomena di mana nilai-nilai akademik menjadi satu-satunya kompas, sementara misi intelektual terabaikan.

Pemerintah telah membuka banyak peluang untuk mahasiswa melalui program-program beasiswa, magang, hingga pekerjaan jarak jauh. Ironisnya, peluang-peluang ini justru menjadi pisau bermata dua. Alih-alih memicu produktivitas yang bermakna, mahasiswa malah terjebak dalam lingkaran pragmatisme. 

Mereka berfokus pada angka-angka kumulatif dan mengejar predikat "cumlaude", seolah-olah itu adalah kunci utama menuju kesuksesan. Padahal, nilai akademik semestinya hanyalah sarana, bukan tujuan akhir.

Diskusi-diskusi yang dulu menjadi denyut nadi kehidupan mahasiswa kini mulai memudar. Topik-topik mendasar yang esensial -- seperti ketimpangan sosial, keadilan politik, atau keberlanjutan lingkungan -- jarang sekali menjadi perhatian. Mahasiswa lebih sibuk mengatur portofolio LinkedIn mereka daripada menyusun argumen kritis yang dapat memengaruhi perubahan sosial. 

Mereka tak lagi turun ke jalan untuk memperjuangkan suara masyarakat kecil. Sebaliknya, mereka berlomba untuk menjadi roda gigi dalam mesin kapitalisme, mengejar uang tanpa memahami nilai-nilai moral dan tanggung jawab sosial yang menyertainya.

Fenomena ini mencerminkan perubahan paradigma yang mengkhawatirkan. Mahasiswa sekarang lebih peduli pada dirinya sendiri, pada peluang individu, pada kesuksesan pribadi. Mereka mengabaikan realitas kaum marginal, para buruh, dan ketimpangan yang terjadi di sekitarnya. Padahal, esensi dari menjadi mahasiswa bukan hanya belajar di ruang kelas, tetapi juga membangun kesadaran sosial yang mampu mengguncang status quo.

Akademik memang penting, tetapi intelektualitas jauh lebih krusial. Ketika mahasiswa berhenti berpikir kritis, berhenti memperhatikan realitas di luar zona nyamannya, maka gelar akademik yang diraih hanyalah sebuah formalitas belaka. Mahasiswa harus kembali ke akar perannya sebagai agen perubahan. 

Mereka perlu menyadari bahwa tugas intelektual bukan sekadar meraih IPK tinggi, tetapi juga menciptakan perubahan nyata.

Sudah saatnya mahasiswa keluar dari gelembung akademiknya, melihat ke bawah dan memahami jeritan kaum tertindas. Jika tidak, mereka hanya akan menjadi bagian dari sistem yang melanggengkan ketidakadilan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun