Mohon tunggu...
Naya Nazwa Haliza
Naya Nazwa Haliza Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Penulis

Saya suka menulis dan membaca, menjadikan kegiatan ini sebagai bagian penting dari keseharian saya. Selain itu, saya juga memiliki ketertarikan di bidang multimedia, terutama dalam menciptakan konten visual dan naratif.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Meneropong Nilai Kemanusiaan Di Tengah Maraknya LGBT

10 Januari 2025   17:15 Diperbarui: 10 Januari 2025   17:15 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Meneropong Nilai Kemanusiaan Di Tengah Polemik LGBT (Sumber: Freepik)

LGBT, akronim dari "lesbian, gay, biseksual, dan transgender," telah menjadi isu yang memicu perdebatan panjang dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Berdasarkan survei yang dirilis oleh Centre Intelligence Agency (CIA), Indonesia menempati urutan kelima dengan populasi LGBT terbesar di dunia, setelah China, India, Eropa, dan Amerika. 

Angka ini mengundang perhatian, terlebih dengan data Kementerian Kesehatan pada tahun 2022 yang mencatat terdapat 1.095.970 individu LGBT di Indonesia, setara dengan 0,0044% dari total populasi. Provinsi Jawa Barat mencatat jumlah tertinggi, yaitu 300.198 jiwa.

Statistik ini memunculkan berbagai respons, baik dalam bentuk dukungan maupun penolakan. Di satu sisi, kelompok yang pro-LGBT mengadvokasi penerimaan dan hak-hak individu yang berorientasi seksual maupun identitas gender non-konvensional. Di sisi lain, muncul kelompok yang menganggap LGBT sebagai bentuk penyimpangan orientasi seksual atau gangguan mental, yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama, budaya, dan norma sosial di Indonesia.

Namun, di tengah perdebatan yang memanas, muncul pertanyaan mendasar: Bagaimana menjaga nilai-nilai kemanusiaan tanpa mengabaikan norma dan budaya yang telah mengakar? 

Isu ini bukan hanya tentang orientasi seksual, tetapi juga tentang cara kita memandang manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki hak untuk dihormati.

Data dari Kementerian Kesehatan mencerminkan realitas bahwa keberadaan LGBT bukanlah fenomena yang dapat diabaikan. Angka-angka ini menunjukkan bahwa isu LGBT bukan hanya wacana global, tetapi juga tantangan lokal yang harus dihadapi secara bijak.

 Jawa Barat, sebagai provinsi dengan angka LGBT tertinggi, perlu menjadi sorotan, baik dari segi edukasi masyarakat maupun kebijakan pemerintah.

Namun, bagaimana data ini diterjemahkan dalam tindakan? Apakah dengan menormalisasi keberadaan LGBT, atau justru dengan menguatkan norma yang dianggap mendukung "ketertiban" sosial?

Salah satu isu utama yang sering adalah normalisasi LGBT di masyarakat. Ketika seorang perempuan mengidentifikasi dirinya sebagai laki-laki atau sebaliknya, banyak yang menganggapnya sebagai "kebebasan berekspresi." Namun, kebebasan ini sering kali berbenturan dengan norma sosial yang masih memandang LGBT sebagai penyimpangan. 

Ketika berbicara tentang gender, masyarakat Indonesia pada umumnya sepakat bahwa hanya ada dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Pandangan ini didasarkan pada nilai-nilai agama, norma sosial, serta pemahaman biologis yang mengacu pada jenis kelamin sebagai dasar identitas seseorang. Dalam konteks ini, LGBT sering dianggap bertentangan dengan tatanan yang telah mapan karena mengaburkan batas-batas yang jelas antara laki-laki dan perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun