Kearifan lokal di Wonosobo merupakan warisan yang harus selalu ada disetiap generasinya. Wonosobo yaitu daerah yang kaya akan kearifan lokal. Namun, tidak banyak masyarakat Indonesia mengetahui. Tapi, sekitar bulan Desember 2023 hingga saat ini kekayaan Wonosobo mulai terekspos di segala media sosial. Hal ini merupakan dampak yang bagus dengan adanya perkembangan teknologi. Banyak para wisatawan dari luar daerah, bahkan luar negeri yang mengunjungi daerah yang biasanya di juluki "Negeri Diatas Awan". Julukan ini sudah sangat melekat dengan Wonosobo. Pasalnya Wonosobo terletak pada 2,612 kaki diatas permukaan laut. Selain itu, terdapat beberapa gunung yang terletak mengelilingi Wonosobo, yaitu gunung yang sangat ikonik biasanya disebut dengan Gunung Kembar, karena letaknya yang terlihat bersebrangan dan terlihat mirip, namun bedanya dapat dilihat dari cekungan puncak gunung dari kejauhan, yaitu Gunung Sumbing (3.371mdpl), dan Gunung sindoro (3.153mdpl). Kemudian terdapat Gunung yang biasanya didaki oleh para pendaki pemula yaitu, Gunung Prau (2.590mdpl), Gunung Kembang (2.320mdpl), dan Gunung Cilik (1.550mdpl). Tidak heran, Wonosobo memiliki suhu yang termasuk dingin, apa lagi ketika bulan Agustus dengan suhu 18 C, dan dengan suhu tertinggi hanya 26 C.Â
Gunung Sumbing terletak di Jawa Tengah, Indonesia. Gunung Sumbing mencapai ketinggian 3.371 mdpl di atas permukaan laut, menempatkannya sebagai gunung tertinggi ketiga di Pulau Jawa setelah Gunung Semeru dan Gunung Slamet. Gunung Sumbing, bersama dengan Gunung Sindoro, membentuk bentang alam gunung kembar, Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, apabila dilihat dari arah Temanggung. Gunung ini memiliki pemandangan yang indah serta memiliki jalur yang sangat terjal dari basecamp hingga puncak Rajawali. Masih dapat terlihat sedikit aktivitas vulkanik di kawahnya, bekas letusan satu-satunya yang diketahui terjadi pada 1730. Gunung Sindoro bersama Gunung Sumbing membentuk bentang alam gunung kembar, seperti Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, apabila dilihat dari arah Temanggung. Celah antara gunung ini dan Gunung Sindoro dilalui oleh jalan provinsi yang menghubungkan kota Temanggung dan kota Wonosobo. Jalan ini biasa dijuluki sebagai "Kledung Pass". Jalur Kledung paling sering didaki dari utara dari basecamp di desa Garung, yang sangat dekat dengan Kledung di mana terdapat hotel yang layak. Transportasi umum dari Yogyakarta sangat lambat sehingga kawasan ini lebih baik dijangkau dari Semarang jika Anda tidak menggunakan mobil pribadi. Namun terdapat bus yang sering melewati Kledung yang beroperasi antara Semarang dan Purwokerto. Dulu Gunung Sumbing dulunya disebut Gunung Sembung, hal ini berdasar dari Manuskrip Bujangga Manik ketika dia melewati dataran tinggi Dieng. Gunung sumbing memiliki jalur pendakian paling favorit, yaitu Pendakian Gunung Sumbing paling banyak dilakukan melalui pos Garung. Desa Garung terletak di Jalur Kledung di bagian utara Gunung Sumbing. Untuk pendakian ke Gunung Sindoro, ada basecamp di dekat Desa Garung. Selain itu, ada jalur tambahan seperti Bowongso, Cepit, Lamuk, Banaran, Butuh Kaliangkrik, dan Mangli Kaliangkrik. Pendaki dapat menempuh pendakian dengan estimasi Pendaki berpengalaman harusnya bisa mencapai tepi kawah dalam waktu 5-6 jam karena meski jalurnya terjal, panjangnya hanya 7 km. 'Jalur baru' yang lebih baik sebagai sumber air karena aliran sungai mengalir sejajar di sebelah barat. Di jalur baru tempat terakhir untuk mendapatkan air adalah sungai besar di tepi perkebunan pada ketinggian 1.900 mdpl. Jalur baru memiliki Pos 1 Malim pada ketinggian 1.922 mdpl dan Pos 2 Gatakan di ketinggian 2.235 mdpl yang keduanya merupakan kerangka kayu yang sangat sederhana. Tempat-tempat tersebut akan melindungi pendaki dari hujan namun tidak banyak manfaatnya sebagai tempat untuk berkemah. Ada banyak tempat untuk mendirikan tenda dalam perjalanan ke atas, tetapi sebagian besar tempat hanya dapat menampung paling banyak 2 atau 3 tenda.
Di deretan atau bahkan di sampingnya ada Gunung Sindoro. Gunung Sindoro, yang juga dikenal sebagai Sindara atau Sundoro, memiliki ketinggian puncak 3.136 meter di atas permukaan laut. Temanggung adalah kota terdekat Gunung Sindoro, sebuah gunung volkano aktif di Jawa Tengah, Indonesia. Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro berdekatan. Gunung ini bisa dilihat dari puncak sikunir dieng di Wonosobo. Antara sisi barat laut dan selatan gunung terdapat kawah dengan jurang yang terbesar disebut Kembang. Puncak gunung berapi terdiri dari kubah lava kecil. Sejarah letusan Gunung Sindara yang telah terjadi sebagian besar berjenis letusan freatik ringan sampai sedang. Nama Gunung Sindoro berasal dari bahasa Sansekerta, "sundara", yang artinya indah, dan "sundari", sebuah istilah lain untuk wanita dari Sindoro, yang artinya cantik. Di dalam karya kuno yang dikenal sebagai Manuskrip Bujangga Manik, yang menceritakan tentang perjalanannya melewati dataran tinggi Dieng, ditemukan bahwa nama itu berasal dari sana. Sekarang orang lebih mengenal gunung tersebut dengan nama Gunung Sindoro. Namanya berasal dari Kereta Api Argo Sindoro, yang merupakan kereta api eksekutif argo yang melayani rute Semarang Tawang-Gambir. Sultan Hamengkubuwana II, raja kedua Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, dikatakan dilahirkan di lereng gunung ini pada 7 Maret 1750. Tidak banyak informasi tentang sejarah letusan Gunung Sindoro, tetapi baru-baru ini tercatat sejak abad ke-19. Berdasarkan sejarah dan endapan letusan, diperkirakan letusan strombolian mendominasi. Namun pada 2011 Gunung Sindoro sempat berstatus awas. Meningkatnya aktivitas kegempaan dan visual, terutama Gempa Vulkanik Dalam dan Dangkal, menunjukkan peningkatan aktivitas Gunung Sindoro. Pada 30 Maret 2012, status Gunung Sindoro kembali diturunkan menjadi Aktif Normal (Level I). Setelahnya belum ada aktivitas yang terpantau berbahaya. Dilihat dari ukurannya, Sindoro merupakan jalur pendakian yang mudah dan bisa menjadi pengantar yang bagus untuk pendakian di Indonesia. Dari puncak, kita dapat melihat pemandangan yang indah ke arah Sumbing, Merapi, Merbabu, Ungaran, Slamet, dataran tinggi Dieng, Gunung Prau, dan pantai utara Jawa. Pemandangan matahari terbit di Gunung Sindoro sangat luar biasa sehingga layak untuk didaki semalaman.
Di deretan selanjutnya ada Gunung Prau. Gunung Prau, juga dikenal sebagai Gunung Parahu, adalah salah satu gunung di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah, Indonesia, dengan ketinggian puncak 2.590 meter di atas permukaan laut (mdpl). Gunung Prau merupakan batas empat kabupaten di Jawa Tengah yaitu Batang, Kendal, Temanggung, dan Wonosobo. Padang rumput yang luas membentang dari barat ke timur dari puncak gunung Parahu. Pada puncaknya terdapat bukit-bukit dan sabana dengan sedikit pepohonan. Gunung ini menjadi salah satu tujuan pendakian utama di Dataran Tinggi Dieng karena merupakan salah satu tempat favorit pendaki untuk melihat matahari terbit. Masih banyak hal tentang Gunung Prau selain lokasi dan ketinggiannya. Untuk pendaki pemula, jalur pendakian Gunung Prau melalui Patak Banteng adalah yang tersingkat dan termudah. Sementara itu, jalur pendakian Gunung Prau melalui Dwarawati adalah yang tercepat untuk mencapai puncak Gunung Prau. Di lereng Gunung Prau yang mengarah ke Kendal dan Batang, hutan lebat. Di sana, tumbuhan kantong semar endemik Jawa, Nepenthes gymnamphora, banyak tumbuh bersama pakis resam (Glichenia linearis). Bunga edelweiss Jawa (Anaphalis maxima dan Anaphalis longifolia) ditemukan di sekitar puncak. Binatang khas Jawa seperti macan tutul jawa (Panthera pardus melas), sigung jawa (Mydaus javanensis), dan elang jawa (Nisaetus bastelsi) juga ditemukan di hutan Parahu. Karena desa Dieng sudah sangat tinggi, maka pendakian menuju puncaknya relatif singkat dan mudah (2.600m). Pemandangannya benar-benar spektakuler saat menyambut fajar matahari, mungkin jadi pemandangan terbaik di Jawa Tengah. Gunung Prau bisa ditempuh dalam waktu singkat, bahkan melalui jalur Patak Banteng hanya 2 jam saja untuk naik. Para pendaki tak harus berkemah, dari basecamp sejak sebelum subuh sudah dapat mulai melakukan perjalanan mendaki dan sampai tepat saat matahari di cakrawala. Uniknya lagi, jika sudah mencapai puncaknya maka pendak bisa melihat pemandangan indah dari atas yaitu Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro tepat di depannya. Kebanyakan pendaki Gunung Prau lebih suka mengambil foto Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing daripada mengambil foto ke arah Gunung Prau. Namun, jika cuaca cerah, lima gunung yaitu Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Merapi, Gunung Merbabu, dan Gunung Lawu bisa dilihat langsung saat menghadap timur. Selain itu, jika pendaki melihat ke arah barat, mereka dapat melihat Gunung Slamet. Pendaki dapat menemukan kristal es menempel pada permukaan tanah di beberapa tempat saat pagi hari pada musim kemarau, saat suhu udara di wilayah Gunung Prau mencapai titik terendah. Meski sebenarnya fenomena ini juga ditemui di berbagai gunung lainnya di Indonesia, tapi di Daratan Tinggi Dieng, Gunung Prau termasuk hampir selalu terjadi setiap tahun. Apabila pendaki memutari menara yang ada di Gunung Prau, maka kita sudah menginjakkan kaki di 5 kabupaten, yaitu Kabupaten Kendal, Banjarnegara, Wonosobo, Batang, dan Temanggung. Sementara itu dalam penyebutannya, Gunung Prau bagi orang awam saat mendengar nama Gunung Prau masih menganggap bahwa Gunung Prau ini adalah Tangkuban Perahu yang ada di Bandung. Sebagian lagi bahkan lebih sering menyebut dengan Gunung Dieng, karena letaknya di Dieng. PT Perhutani yang mengawasi Gunung Prau sebagai hutan lindung. Para pendaki harus membeli tiket sekitar Rp10.000 per orang untuk memasuki kawasan hutan lindung tanpa Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI). Selain itu, kebanyakan pendaki Gunung Prau tidak akan menemukan bunga edelweiss. Secara berkala, Gunung Prau ditutup pada awal tahun untuk memulihkan lingkungannya dari 5 Januari hingga 5 April. Ini menyebabkan banyak pendaki datang ke malam tahun baru.
Disebelahnya pula ada Gunung Kembang. Gunung Kembang, mungkin kurang terdengar familiar di telinga beberapa orang dibandingkan dengan gunung besar lainnya. Namun jangan salah, gunung yang terletak di Dukuh Blembem Kaliurip, Desa Damarkasihan, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo ini memiliki panorama yang tak kalah eksotis dengan gunung-gunung lainnya. Dengan perbedaan ketinggian, masing-masing gunung memiliki pesona keistimewaannya tersendiri yang mampu membelalakkan mata pengunjung, mulai dari jalur pendakian, ciri khas alamnya, hingga cerita yang menyelimuti di dalamnya. Gunung Kembang pada tahun 2017 memiliki ketinggian sekira 1.200 mdpl dan sekarang tingginya tengah mencapati 2.340 mdpl. Hal ini terjadi karena letaknya yang berada di sebelah Gunung Sindoro dengan aktivitas magma yang akhirnya meluap ke Gunung Kembang. Ada dua jalur pendakian, yaitu via Blembem dan via Lengkong. Sepanjang awal pendakian akan disuguhkan perkebunan teh milik PT Tambi. Setelah menapaki Pos Simpang Tiga akan diberi tali yang akan membantu pendakian karena medannya yang semakin curam. Tak hanya namanya, nyatanya gunung ini juga dipenuhi dengan beragam jenis bunga yang mempercantik gunung. Dengan suhu yang dingin, gunung ini dihiasi dengan banyak tanaman bunga anggrek dan beragam vegetasi lainnya.
Di deretan gunung terakhir ini yaitu ada Gunung Cilik. Gunung Cilik Kaliurip merupakan sebuah bukit yang menyerupai bentuk gunung. Bukit gunung ini berbentuk kerucut yang menyerupai gunung api berukuran kecil, maka dari itu inilah alasan masyarakat menamai gunung ini Gunung Cilik. Gunung Cilik Kaliurip menyajikan pengalaman petualangan yang pastinya tak terlupakan bagi para pencinta alam dan petualang. Ukurannya yang lebih cocok disebut sebagai bukit menjadikan Gunung Cilik Kaliurip adalah tempat yang cocok untuk hiking atau haiking bagi pendaki pemula. Gunung Cilik Kaliurip yang memudahkan perencanaan berkunjung dan menjadikan pengalaman berwisata lebih baik. Gunung Cilik Kaliurip terletak di Dusun Kaliurip, Desa Damarkasiyan, Kecamatan Kretek, Kabupaten Wonosobo. Lokasi gunung ini berada dalam satu jalur berdekatan dengan destinasi populer lain di area Bedakah, seperti Garden Tea Bedaka, Telaga Bedakah, dan The Moby Park. Gunung Cilik Kaliurip ini viral, dikarenakan ada salah satu saudara warga Dusun Kaliurip yang datang dari Jogja untuk berkunjung, meminta untuk diantar ke puncak bukit gunung cilik. Setelah diupload ke sosial media, respons netizen membludak, sehingga membuat wilayah ini menjadi wisata hits di Jawa Tengah-Jogja, khususnya Wonosobo. Untuk mencapai puncak Gunung Cilik Kaliurip, membutuhkan waktu kurang lebih selama 10 menit dari parkiran. Bagi medan tempur pendakian gunung sendiri terbilang tidak terlalu sulit. Jalan sudah dibuat berundak dan dikombinasikan dengan batu agar meminimalisir slip para wisatawan. Setelah turun dari puncak gunung, wisatawan dapat menikmati kopi hangat ataupun menu lainnya yang disajikan di tempat makan yang berada di sekitar Gunung Cilik Kaliurip. Segala keindahan yang ada di Gunung Cilik Kaliurip ini dikelola oleh masyarakat lokal melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) Damarkasiyan. Pihak pengelola juga menyediakan fasilitas seperti toilet, lahan parkir, gazebo, camping ground area, dan warung makan.
Keunikan lainnya yaitu ketika memasuki musim dengan suhu terendah, di daerah Dataran Tinggi Dieng akan muncul salju-salju kecil. Hal ini menjadi salah satu daya tarik wisata atau pariwisata. Kabupaten Wonosobo tidak hanya memiliki iklim yang dingin, tetapi juga terletak di wilayah pegunungan dengan ketinggian antara 250 meter dan 2.250 meter di atas permukaan air laut (mdpl). Dari Juli hingga Agustus, suhu udara rata-rata turun menjadi 12-15C pada malam hari dan 15-20C pada siang hari. Pada siang hari, suhu turun menjadi 24-30C. Kondisi tanah Wonosobo sangat subur, dengan curah hujan rata-rata 3.400 mm dalam 196 hari per tahun, sehingga sangat cocok untuk pertanian. Di Kabupaten Wonosobo, ada tiga jenis tanah yaitu Tanah Andosol (25%), Tanah Regosol (40%), dan Tanah Podsonik (35%). Selain itu, kemiringan tanah berkisar antara 15 hingga 40 persen, yang meliputi 54.641 ha, atau 56,37% dari seluruh kecamatan. Dengan lokasi dan iklimnya, Kabupaten Wonosobo memiliki banyak potensi sumber daya alam, terutama dalam hal pertanian. Karena sebagian besar warga Wonosobo bekerja dalam bidang pertanian, sektor pertanian memainkan peran penting dalam potensi ekonomi Wonosobo, menyumbang rata-rata 48,96% dari PDRB selama empat tahun terakhir. Sektor pengolahan berada di urutan kedua dengan kontribusi rata-rata 11,12%. Industri ini membuat lapangan usaha semakin meningkat setiap tahun karena masyarakat Wonosobo mulai tertarik dengan industri ini. Sektor pertambangan dan penggalian berada di urutan terakhir, dengan kontribusi rata-rata hanya 0,72% dalam 4 tahun terakhir. Ini karena sektor ini belum tergarap sepenuhnya. Salah satu komoditas pertanian utama Wonosobo adalah padi, teh, tembakau, kopi, dan berbagai jenis sayuran dan tanaman perkebunan. Suhu udara 14,3-26,5C dianggap ideal untuk budidaya jamur, carica, pepaya, asparagus, dan beberapa jenis kayu untuk ekspor non-migas. Selain itu, ada beberapa tanaman khas Wonosobo, seperti kayu putih, Purwaceng, dan Gondorukem. Selain itu, produksi pertanian, terutama tanaman padi, buah-buahan, dan palawija, mengalami peningkatan, tetapi nilai jual sayur-sayuran turun karena para petani merasa rugi. Produk pertanian utama para petani di kabupaten Wonosobo termasuk kentang, yang diproduksi sekitar 500 ribu kuintal per tahun di Kecamatan Kejajar dan Garung, kubis/kol, sayuran seperti sawi, daun bawang/uncang, bawang putih, dan buah-buahan seperti salak, nanas, duku, dan carica. Wonosobo juga sangat cocok untuk menanam berbagai jenis bunga potong. Pabrik teh PT. Perkebunan Tambi, yang merupakan hasil unggulan BUMD, mampu memproduksi sekitar 2.000 ton teh setiap tahun dan mengekspor 70% produknya ke sejumlah negara di Eropa, Australia, Amerika, Asia, dan Timur Tengah. Vanili, yang mulai tahun 2000 dibudidayakan kembali setelah tenggelam karena petani beralih ke tanaman cengkih, adalah hasil perkebunan lain yang potensial. Selain untuk pelestarian mata air, juga mampu menjadi hutan produksi, hutan wisata, hutan lindung, dan hutan suaka alam. Produksi tahunan dari hutan rakyat termasuk kayu pertukangan lebih dari 5.000 meter kubik, kayu bakar lebih dari 1.000 meter kubik, gondorukem lebih dari 4.500 ton, terpentin lebih dari 900 ribu liter, dan getah pinus lebih dari 1.100 ton per tahun. Wonosobo memiliki tanah yang subur, sayur sayuran sangat mudah berkembang biak karena didukung dengan suhu, tanah, dan curah hujan yang bagus. Sayuran yang tumbuh subur di Wonosobo, yaitu Kentang, merupakan salah satu aset terpenting petani di Wonosobo. Bahkan, terdapat pasar yang dinamakan "Pasar Kentang" yang terletak di Desa Binangun, Kecamatan Kertek. Kentang Wonosobo memiliki kualitas yang bagus, sehingga terjual hingga berbagai luar daerah. Kemudian, terdapat buah Carica yaitu buah yang hamper mirip seperti papaya, Carica adalah makanan khas dari daerah Wonosobo. Nama buah carica berasal dari bahasa Latin, yakni Vasconcellea Cundinamarcensis. Buah ini masuk dalam Family Caricaceae yang berasal dari Pegunungan Andes, Amerika Selatan. Ketika masih mentah kulit buah carica berwarna hijau, kemudian menguning ketika matang. Buah ini memiliki harum dan bau yang khas, sehingga disebut buah para dewa. Tinggi pohon carica tumbuh mencapai 10 meter seperti pohon pepaya. Tetapi ukuran buah lebih kecil sekitar 6-16 cm. Ketika dimakan langsung, rasa buah agak sepat. Berbeda dengan buah pepaya yang manis ketika dimakan. Buah carica biasanya diawetkan terlebih dahulu untuk dijadikan sirup lalu dimasak. Daging buah yang sudah diawetkan ini teksturnya seperti mangga, bukan pepaya. Buah carica tumbuh di dataran tinggi, seperti Pegunungan Dieng di Kabupaten Wonosobo. Setiap 100 gram buah carica mengandung 1 gram serat, yang membantu pencernaan. Selain mengandung serat, buah carica mengandung sembilan puluh persen air, yang berguna untuk mengatasi masalah buang air besar. Buah ini unik, karena memiliki getah yang mengandung papain yang bersifat propeolitik, yang menyebabkan iritasi kulit pada sentuhannya. Hal ini menjadikan carica sebagai salah satu oleh oleh khas Wonosobo, yang biasanya di olah menjadi manisan.Â
Anak-anak berambut Gimbal tidak berasal dari komunitas reage atau rasta seperti Bob Marley, jika Anda melihat mereka di sekitar Dataran Tinggi Dieng. Mereka memiliki rambut gimbal yang berasal dari alam atau dari lahir dan bukan dari permak salon. Rambut Gimbal, anak kecil Lereng Dieng, memiliki latar belakang yang menarik. Rambut gimbal alami ini hanya tumbuh pada rambut anak-anak tertentu di dataran tinggi Dieng. Banyak orang di dataran tinggi Dieng percaya bahwa rambut gimbal membawa rezeki atau masalah di kemudian hari, jadi harus diruwat. Itu sebabnya ritual budaya seperti Ruwatan Rambut Gimbal, yang biasanya diadakan setahun sekali. Sebelum anak berambut Gimbal dicukur rambutnya, ia diminta untuk mengatakan apa yang dia inginkan agar rambutnya dapat dipotong. Jika tidak, rambut Gimbal akan tetap tumbuh di kepalanya bahkan setelah dipotong berkali-kali akan terus tumbuh seperti itu. Sebelum upacara pemotongan rambut, beberapa tempat akan melakukan upacara doa untuk memastikan acara semuanya berjalan dengan lancar. Tempat-tempat tersebut di antaranya adalah Candi Dwarawati, kompleks Candi Arjuna, Sendang Maerokoco, Candi Gatot Kaca, Telaga Balai Kambang, Candi Bima, Kawah Sikidang, kompleks Pertapaan Mandalasari (gua di Telaga Warna), Kali Pepek, dan lokasi pemakaman Dieng. Malamnya, upacara Jamasan Pusaka dilanjutkan dengan pencucian pusaka yang dibawa saat kirab anak-anak rambut gimbal yang akan dicukur. Kirab baru dilakukan keesokan harinya menuju tempat pencukuran. Dimulai dari rumah sesepuh pemangku adat, perjalanan berakhir di dekat Sendang Maerokoco atau Sendang Sedayu. Anak-anak rambut gimbal ini dikawal oleh sesepuh, tokoh masyarakat, paguyuban seni tradisional, dan masyarakat saat mereka berkeliling desa. Upacara Ruwatan Rambut Gimbal, yang diadakan setiap tahun pada tanggal 1 Suro menurut kalender Jawa bertujuan untuk membersihkan atau membebaskan anak anak berambut gimbal dari sukerta atau sesuker, yang berarti kesedihan, kesedihan, atau mala petaka. Kepercayaan masyarakat menyatakan bahwa rambut gimbal hanya boleh dipotong jika anak tersebut memintanya. Uniknya, ruwatan ini hanya dapat dilakukan setelah orang tua memenuhi permintaan anak dalam "apapun". Sebagian orang percaya bahwa jika pemotongan rambut gimbal tidak dilakukan secara ritual, rambut gimbal akan kembali tumbuh dan anak akan lebih mungkin mengalami sakit.Â
Masyarakat Wonosobo memiliki sebuah tari yang dianggap sakral. Tari tersebut adalah tari Topeng Lengger. Tari Topeng Lengger menceritakan kisah cinta Galuh Candra Kirana dan Panji Asmoro Bangun. Galuh Candra Kirana adalah putri Prabu Lembu Ami Joyo, raja Jenggolo Manik, dan Panji Asmoro Bangun adalah putra Prabu Ami Luhur, raja Cenggolo Puro. Dengan menikahkan anak-anak mereka, kedua kerajaan ini ingin mempererat hubungan mereka. Sayang, upaya Galuh Ajeng anak dari selirnya, Prabu Lembu Ami Joyo hampir menggagalkan pernikahan tersebut. Galuh Candra Kirana harus meninggalkan kerajaan dan bekerja sebagai penari lengger. Panji Asmoro Bangun suatu hari mengundang kelompok tari lengger Galuh Candra Kirana untuk tampil di Kerajaan Cenggolo Puro. Galuh Candra Kirana memutuskan untuk membuka penyamarannya saat tampil di depan tunangannya. Panji Asmoro Bangun jatuh cinta saat melihat Galuh Candra Kirana cantik. Pasangan itu akhirnya menikah. Tari Topeng Lengger dimainkan berpasangan, seperti namanya dan kisahnya. "Topeng" merujuk pada pria, dan "lengger" merujuk pada wanita. Namun, secara filosofis, "lengger" berasal dari kependekan dari elingo ngger marang gusti pangeran, yang dapat diartikan sebagai "Ingatlah kamu kepada Sang Pencipta", yang berhubungan dengan sejarah tari topeng lengger. Konon, Sunan Kali Jaga membuat tarian ini sebagai salah satu cara untuk menyebarkan agama Islam. Di masa lalu, mereka selalu memasukkan ajaran Islam dalam tarian ini, menarik perhatian masyarakat, dan akhirnya mereka membangun sebuah tempat untuk beribadah. Tempat itu disebut langgar. Jumlah topeng yang digunakan dalam tari ini berjumlah 120 buah--sesuai jumlah tokoh dalam wayang. Hanya saja, tidak semua topeng digunakan dalam setiap pertunjukan. Digunakan atau tidaknya sebuah topeng dalam pertunjukan sangat bergantung pada penimbal (pawang). Peran penimbal dalam tari ini sangat penting. Dia berperan seperti dalang dalam pertunjukan wayang kulit. Sebelum dimulai, penimbal akan menyerahkan sesaji dan membaca doa agar pertunjukan dapat berjalan lancar dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diharapkan. Setelah berdoa, penimbal akan mempersilakan para penari masuk ke panggung. Di sinilah penimbal mengatur topeng-topeng yang akan tampil. Hanya saja, yang pasti tampil adalah tokoh Galuh Candra Kirana dan Panji Asmoro Bangun sebagai tokoh utama dan topeng barong (yang tampil sebagai penutup). Setiap penari dalam tarian ini dapat memainkan peran yang berbeda. Perempuan dapat menggambarkan karakter pria, begitu pula sebaliknya. Tidak ada waktu khusus untuk pertunjukan tarian ini, meskipun dianggap sebagai tarian sakral. Tari topeng lengger dapat dipertunjukkan di mana saja dan kapan saja dengan memberikan sesajen sebelum pertunjukan dimulai. Selain itu, tidak disarankan untuk mengenakan pakaian berwarna merah jika Anda ingin menyaksikan tarian ini. Para penari akan kerasukan selama pertunjukan, dan mereka akan mengejar siapa pun yang mengenakan pakaian berwarna merah. Tari Topeng Lengger ini terdapat di beberapa daerah di Jawa Tengah, namun bedanya dengan yang ada di Daerah Wonosobo terdapat di alat musiknya, jika di Daerah Banyumas menggunakan alat musik calung, di Wonosobo menggunakan alat musik gamelan. Tari Topeng Lengger ini memiliki makna, yang berasal dari kata "eling ngger", dimana "eling" yang berarti ingat, dan "ngger" berarti sebutan untuk seorang anak. Sehingga tari ini bertujuan untuk mengingatkan seorang anak pada kebesaran Tuhan. Biasanya, Tari Topeng Lengger dipentaskan pada acara tradisional, seperti pernikahan adat, upacara adat, dan perayaan. Tari lengger ini pernah menjadi sorotan, pasalnya pada tanggal 24 Juli 2018, terdapat 5.000 penari Topeng Lengger. Mereka menari bersama dengan tujuan mengangkat citra Tari Topeng Lengger yang semula dipandang negatif.
Uniknya, di Wonosobo memiliki aplikasi di daerahnya, yaitu aplikasi informasi teknologi yang digunakan dalam pengembangan pariwisata di Wonosobo antara lain yaitu, e-TDUP ini adalah aplikasi pelayanan pariwisata di Wonosobo, elektronik yang memungkinkan para pencari layanan masyarakat untuk mencari informasi mengenai kelengkapan berkas layanan pengajuan yang dapat diakses secara online melalui aplikasi tersebut. Kemajuan teknologi informasi memungkinkan masyarakat untuk mudah mengakses informasi tentang kearifan lokal di Wonosobo. Berbagai informasi seperti resep kuliner tradisional, seni budaya, dan tradisi dapat ditemukan melalui internet dan aplikasi digital. Dengan banyaknya kemajuan yang ada di Wonosobo ini pasti ada efek negatif dari kemajuan teknologi dan informasi terhadap kearifan lokal yaitu kemajuan teknologi dan informasi dapat mengubah arah budaya dan kearifan lokal, sehingga masyarakat dapat lebih mudah berekspresi dan mengakses informasi yang tidak semestinya. Dengan ini, untuk meminimalisasi efek negatif dari kemajuan teknologi dan informasi terhadap kearifan lokal di Wonosobo, penggunaan teknologi digital yang cerdas dan bijak dapat membantu masyarakat lebih mudah mengakses dan mengenal kearifan lokal, sehingga dapat memperkuat budaya dan kearifan lokal di Kabupaten Wonosobo.
Kearifan lokal memiliki peran penting dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, serta dalam meningkatkan kesejahteraan dan kesejahteraan masyarakat. Melestarikan kearifan lokal adalah proses mengumpul dan mengembangkan pengetahuan, praktik, dan kemahasiswaan masyarakat tentang budaya, tradisi, dan lingkungan yang ditunjukkan oleh masyarakat lokal.